Kepulauan Batu merupakan sebutan untuk wilayah Kecamatan Pulau-pulau Batu dan sekitarnya, merupakan wilayah di luar pulau nias yang terdiri dari gugusan pulau-pulau kecil di selatan pulau Nias. Kebanyakan desa-desa di kecamatan Pulau-pulau Batu berada di pulau-pulau kecil yang saling terpisah satu sama lainnya. Daerah kepulauan ini memiliki sumberdaya laut yang potensial, sebagian besar masyarakatnya adalah sebagai nelayan. Rata-rata kehidupan nelayan di kepulauan ini adalah menengah ke bawah dan bahkan sebagian besar tergolong miskin, hal ini menjadi pertanyaan jika kita bandingkan dengan kekayaan alam yang ada, kenapa demikian?
Masih ingatkah kita dengan istilah “Tanah Surga”, lirik lagu Koes Plus? Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkat kayu tanam menjadi tanaman, lirik ini menggambarkan sebuah kebangaan akan negeri ini dengan kekayaan sumberdaya alam yang menjanjikan. Namun sayangnya dalam beberapa tulisan yang penulis baca, istilah ini sudah berubah penggunaanya, tidak lagi untuk menterjemahkan sebuah kebangaan akan sebuah negeri yang makmur, tetapi malah menjadi sebuah istilah untuk “mengolok-olok” keadaan dari sebuah kenyataan terbalik dari gambaran “tanah surga”. Kenapa tidak, masyarakat yang hidup di tengah kekayaan alam yang melimpah ini justru hidup dalam kemiskinan. Istilah ini melekat juga di Pulau ini, kepulauan dengan sumberdaya alam laut yang kaya, bahkan mempunyai peluang pengembangan yang besar yang bila dimanfaatkan bisa menjadi sumber kesejahteraan masyarakatnya, tapi kenapa kemiskinan masih menjadi bagian kehidupan nelayan? Bicara kemiskinan dan keterbelakangan tidak hanya terjadi di pulau ini, fenomena tanah surga bahkan Indonesia sendiri disebut tanah surga, sebuah kebanggaan yang menjadi tanda tanya.
Bendera Putih dan Ironi Kemiskinan Nelayan
Bendera putih? Mungkin pembaca mempertanyakan hal ini, bendera putih dalam hal ini penulis terjemahkan sebagai lambang “menyerah”, dan disini penulis mengangkat suatu pemikiran bahwa kondisi nelayan sekarang ini sedang menantang bendera putih atau “menyerah” berkibar, kenapa harus menyerah? Kita tidak bisa memungkiri bahwa kemiskinan sudah dianggap nasib oleh masyarakat tanpa ada gagasan untuk mengubah keadaan tersebut dan masyarakat seakan menyerah terhadap keadaan tersebut, bahkan berbagai program peningkatan kesejahteraan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah maupun pihak lain seperti tak ada artinya melihat keadaan nelayan masih minim dalam hal peningkatan kesejahteraan.
Sebuah ironi kehidupan masyarakat pesisir yang notabene adalah nelayan, yakni hidup miskin di tengah kekayaan potensi sumber daya perikanan yang ada di sekitarnya. Berbagai pertanyaan bermunculan yang intinya mempertanyakan kenapahal ini bisa terjadi? Apakah ini semata-mata karena natural resource curse (kutukan sumber daya alam), yakni suatu fenomena dimana wilayah dengan sumber daya alam yang melimpah justru mengalami pertumbuhan ekonomi yang lamban dan pada akhirnya penduduknya sebagian besar hidup dalam kemiskinan.
Secara umum, Kemiskinan masyarakat pesisir, terutama nelayan merupakan permasalahan serius dan sangat perlu mendapat perhatian. Banyak ahli yang mengatakan bahwa kemiskinan neayan berasal dari dua sumber yaitu
1) Kemiskinan Kultural, yang disebabkan oleh factor budaya dimana sebagian nelayan dianggap suka hidup boros dan kurang memperhatikan atau mempersiapkan kehidupan untuk masa depan. Pada musim banyak ikan ketika nelayan mendapatkan banyak uang maka sebagian besar dihabiskan untuk berfoya-foya tanpa memikirkan masa depan sehingga menjadi sebuah kemiskinan ketika musim paceklik bagi nelayan.
2) Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh factor struktur social ekonomi masyarakat nelayan. Sebagian besar masyarakat nelayan tidak mampu memanfaatkan potensi sumber daya pesisir dan laut yang ada di sekitarnya untuk meningkatkan kesejahteraanya. Kesenjangan ini berkaitan erat dengan struktur social ekonomi masyarakat nelayan, penguasaan dan ketersediaan asset produksi perikanan yang masih terbatas, nelayan mengalami kesulitan meningkatkan armada penangkapan ikan.
Permasalahan dan Strategi Penanggulangan
Kepulauan Batu dan sekitarnya dengan sumberdaya laut yang berpotensi seakan menggambarkan kenyataan terbalik jika melihat keadaan masyarakat nelayan lebih dekat, mengingat nelayan di kepulauan ini masih berada di bawah garis kemiskinan. Mengalami kesulitan menaikan taraf hidup di tengah kekayaan sumber daya alam, berbagai program dari pemerintah maupun swasta dalam bentuk pemberdayaan masyarakat seakan tidak menjawab tuntuntan peningkatan taraf hidup masyarakat yang saat ini menjadi perhatian.
Selain masalah cultural, Beberapa hal yang menjadi penyebab dari permasalahan ini adalah
1) Maraknya penangkapan ikan tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak, potassium,dll sehinga ekosistem terumbu karang hancur yang berlanjut dengan menurunnya hasil tangkapan ikan.
2) Armada penangkapan ikan yang terbatas dan masih tradisional, sehingga nelayan Pulau Tello dan sekitarnya (P.P. Batu) harus bersaing dengan nelayan dari luar daerah seperti Sibolga dan Padang yang memiliki armada penangkapan ikan yang lebih modern, sehingga nelayan local hanya menjadi penonton di daerah sendiri, ini merupakan sebuah kondisi kepemilikan yang bersifat common property dibarengi dengan rezim akses terbuka dalam eksploitasinya yang menimbulkan masalah eksternalitas, misalnya perebutan fishing ground, penggunaan alat tangkap yang bisa merugikan atau meminimkan efektivitas alat tangkap yang lain, seperti Dinamit, potassium.
3) Bentuk bantuan dari pemerintah terkesan asal jadi karena minimnya pemberdayaan, terkesan memanjakan nelayan dengan berbagai bantuan seperti alat tangkap ikan yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan nelayan, hanya sekedar menyelesaikan target program tanpa hasil yang nyata. 4) Nelayan semakin bertambah sementara hasil tangkapan ikan semakin menurun, usaha perikanan yang bersifat irreversible (susah ditarik kembali), pada saat usaha mengalami peningkatan nelayan tergoda untuk menambah armada penangkapan ikan, namun capital ini tidak mudah ditarik kembali ketika pendapatan mulai menurun.
Dalam hal ini beberapa solusi pemikiran yaitu
1) Peningkatan pengamanan lingkungan laut dan nelayan tidak sekedar asal-asalan, aparat terkait harus meningkatkan patroli dan inspeksi untuk meminimalisir penangkapan ikan yang tidak ramah lingkungan, beberapa isu yang beredar di masyarakat nelayan mengatakan bahwa aparat terkesan menjadi “beking” dalam beberapa kasus penangkapan ikan tidak ramah lingkungan, sehingga nelayan cenderung “malas” berkoordinasi dengan aparat, hal ini tidak boleh dibiarkan berlarut-larut.
2) Adanya sebuah regulasi oleh pemerintah daerah berupa rasionalisasi dalam mengurangi akses effort dengan membatasi kapal dari luar daerah dan mengenakan pajak untuk melindungi hasil tangkapan nelayan dan juga sebagai sumber PAD.
3) Bantuan dan penyuluhan dari pemerintah harusnya tidak hanya sekedar menyelesaikan program tetapi juga harus mempunyai hasil nyata, pemetaan kebutuhan nelayan, sehingga bantuan atau pemberdayaan yang diberikan benar-benar sesuai dengan apa yang nelayan butuhkan, perlunya sosialisasi dalam setiap informasi perkembangan perikanan untuk menambah wawasan dan pengetahuan nelayan serta penyuluhan perikanan kepada nelayan.
4) Perlunya penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL) untuk melindungi ekosistem laut sehingga tetap terjaga kontinuitasnya.
5) Mata pencaharian alternative (MPA) sehingga nelayan tidak bergantung pada pada cuaca saja atau musim untuk berusaha.
Uraian diatas merupakan sebuah gambaran umum sekilas keadaan nelayan khususnya di Kepulauan Batu dan sekitarnya, hanyalah sebuah identifikasi masalah dan solusi yang sederhana dan mungkin hanya sebagian kecil dari sebagian besar permasalahan yang ada, untuk itu sebagai daerah kelautan sangat wajarlah bila nelayan mendapat perhatian lebih dan juga rumusan strategis yang terpadu untuk mengembangkan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat nelayan. Siapa anak Nelayan? Mari menantang bendera putih untuk tidak berkibar, kibarkan bendera semangat akan masa depan yang cerah, mari peduli mari bersama membangun dan mengubah fenomena “tanah surga” bukan sekedar “olok-olok”, tetapi “tanah surga” yang nyata, nelayan sejahtera, Kepulauan Batu Jaya !