Ketidakadilan dan kecurangan dalam penyelenggaraan pesta demokrasi seperti Pilpres akan menihilkan maksud dan tujuan demokrasi itu sendiri.
Semuanya menjadi sia-sia karena hasil yang diperoleh adalah kotoran demokrasi bukan buah manfaat demokrasi, sekaligus membuktikan demokrasi memang hanya fatamorgana.
Dalam kaitan ini sebagaimana telah kita ketahui bersama, Yusril Ihza Mahendra salah sebagai Guru Besar Hukum Tata Negara saat bersaksi di MK kemarin mengatakan bahwa :
MK seharusnya memainkan peran lebih substansial dalam menangani perselisihan hasil pemilihan umum.
Jika hanya mempermasalahkan penghitungan suara, MK akan menjadi lembaga kalkulator, karena yang dimasalahkan hanya berkaitan dengan penghitungan suara-angka belaka tanpa menilai apakah perolehan suara itu dilakukan dengan atau tanpa pelanggaran sistematik terstruktur serta masif atau tidak.
http://hukum.kompasiana.com/2014/08/15/saksi-mk-bukan-kalkulator-668718.html
Sementara landasan dan tujuan dibentuknya MK tetap dipayungi oleh konstitusi atau UUD 1945, dan dengan landasan ini dicita-citakan tercapainya kepentingan substansial untuk menentukan suatu perkara (Pilpres) sudah konstitusional atau tidak.
Pedoman dan tujuan MK tersebut adalah :
Pasal 45 ayat (1) UU MK yang berbunyi,
‘Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim’
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945,
‘Bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan’
Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,
‘Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum’
Gugatan Prahara dalam surat pengajuannya memastikan hal-hal yang membuat pelaksanaan Pilpres berada pada pelangaran hukum yang serius sehingga jelas-jelas mengabaikan pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum.
Inilah fakta hukum yang menjadi pertimbangan utama atau keberpihakan MK pada keadilan yang disampaikan Tim Hukum Prahara, yakni :
1. Para ahli hukum mayoritas menyatakan DPKTb bertentangan dengan UU
2. Saksi KPU Jawa Timur sama-sama mengakui mengabaikan rekomendasi Bawaslu
3. Saksi KPU DKI Jakarta mengakui banyak penyimpangan dalam daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb)
4. Saksi KPU Papua mengakui tidak tahu pengiriman logistik dan mengakui tidak ada pemungutan suara
5. Saksi nasional KPU akui tidak ada pembagian form DD2 (form keberatan hasil rekapitulasi)
6. 3.000.0000 lembar dokumen bukti Prabowo Hatta telah menguatkan dalil-dali yang diajukan.
Bagaimana mungkin MK dapat mengabaikan fakta-fakta hukum diatas, kecuali kehawatiran publik atas adanya ‘sesuatu’ diluar pertimbangan konstitusional yang harusnya menjadi landasan kuat MK memutuskan setiap perkara yang ditanganinya.