Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

MPR Mencabut TAP MPRS No.33/1967, Jokowi Tegaskan Soekarno Pahlawan RI

9 September 2024   16:18 Diperbarui: 9 September 2024   16:38 69 0
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) menegaskan tidak berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno. Dalam ketetapan itu di bagian 'menimbang' disebutkan bahwa Presiden Sukarno melindungi tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI).Jokowi menyatakan tak perlu ada tindakan hukum lebih lanjut mengenai hal yang diatur dalam Tap MPRS itu. Dia beralasan pencabutan telah dilakukan pada 2003."Perlu kami tegaskan bahwa ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 menyatakan bahwa TAP MPRS Nomor 33/MPRS/1967 sebagai kelompok Ketetapan MPRS yang dinyatakan tidak berlaku lagi dan tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut," ucap Jokowi melalui video yang diunggah Sekretariat Presiden, Senin (7/11).
Isi Tap MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 adalah pencabutan kekuasaan presiden dari Sukarno. Peraturan itu menyinggung keterlibatan Sukarno dalam peristiwa G30S.
Bagian pertimbangan Tap MPRS itu menyebut Sukarno membuat keputusan yang menguntungkan gerakan G30S. Selain itu, Sukarno disebut melindungi para tokoh PKI.
"Bahwa ada petunjuk-petunjuk, yang Presiden Sukarno telah melakukan kebijaksanaan yang secara tidak langsung menguntungkan G-30-S/PKI dan melindungi tokoh-tokoh G-30-S/PKI," dikutip dari poin ketiga pertimbangan Tap MPRS itu.
Pada video itu, Jokowi menegaskan Sukarno tak pernah mengkhianati negara. Hal itu dibuktikan dengan penyematan gelar pahlawan proklamator bagi Sukarno pada 1986.
Pemerintah, kata Jokowi, juga menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Sukarno pada 2012."Artinya, Insinyur Sukarno telah dinyatakan memenuhi syarat setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara yang merupakan syarat penganugerahan gelar kepahlawanan," ungkap Jokowi.
Pernyataan Jokowi itu disambut baik oleh anak Sukarno, Guntur Soekarnoputra. Dia menilai pernyataan Jokowi meredam gerakan desukarnoisasi yang berkembang di Indonesia.
"Pernyataan dari Pak Jokowi ingin membersihkan nama Sukarno bahwa dirinya tidak terlibat G30S sehingga jelas Sukarno bukan PKI, bukan komunis, dia adalah nasionalis dan patriot sempurna," ucap Guntur di Istana Kepresidenan Jakarta, Senin (7/11), seperti dikutip CNN Indonesia.
Sementara itu, Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) telah menerima surat dari Pemerintah RI yang mana telah disampaikan Pemerintah melalui Surat Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia perihal tidak lanjut tidak berlakunya TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967, dan MPR telah mengabulkan ketidakberlakuan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tersebut.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan bahwa setelah menerima surat dari Pemerintah dan selanjutnya MPR melakukan rapat dan pimpinan memutuskan untuk mengabulkan hal tersebut.
"TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 telah dinyatakan sebagai kelompok Ketetapan MPRS yang tidak perlu dilakukan tindakan hukum lebih lanjut, baik karena bersifat einmalig (final), telah dicabut, maupun telah selesai dilaksanakan," kata Bambang Soesatyo dalam sambutanya di acara penyerahan surat pimpinan MPR RI tentang tidak lanjut tidak berlakunya lagi TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 kepada keluarga Soekarno di gedung Nusantara V, gedung MPR/DPR/DPD, kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (9/9/2024), sebagaimana diberitakan Kompas.TV pada hari ini (9/9).
Surat itu diterima langsung oleh sejumlah anak Soekarno, antara lain Guntur Soekarnoputra, Megawati Soekarnoputri, Sukmawati Soekarnoputri, dan Guruh Soekarnoputra.
Ketua MPR menjelaskan, dengan dicabutnya TAP MPRS tersebut, tidak terbukti atau gugur dengan sendirinya tuduhan Presiden Soekarno telah memberikan kebijakan yang mendukung pemberontakan dan pengkhianatan G-30-S/PKI pada 1965 yang lampau.
Terlebih, kata dia, tuduhan tersebut tidak diproses dan dibuktikan secara hukum hingga Sang Proklamator itu wafat 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Jakarta.
Menurut Bambang Soesatyo, tuduhan terhadap Bung Karno telah bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai negara yang berdasar atas hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945.
Dalam prinsip hukum berlaku 'Omnis Idemnatus pro innoxio legibus habetur' atau setiap orang yang tidak dapat dinyatakan bersalah sebelum dinyatakan sebaliknya oleh hukum.
"Sebuah maxim yang bermakna bahwa seseorang yang dituduh melakukan kejahatan/tindak pidana adalah tidak bersalah sampai kemudian dapat dibuktikan sebaliknya dalam suatu pengadilan yang fair/adil atau dengan kata lain bahwa seseorang tidak dapat dihukum tanpa proses hukum yang adil dan fair," jelas Bambang Soesatyo.
Selain itu, kata dia, pada 2012 Presiden ke-7 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui Keputusan Presiden Nomor 83/TK/Tahun 2012 telah menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Almarhum Dr. (H.C.) Ir. Soekarno.
Pertimbangan pemberian gelar pahlawan nasional tersebut antara lain adalah Bung Karno merupakan putra terbaik yang pernah dimiliki oleh bangsa Indonesia.
Pasal 25 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 Tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan menyebutkan salah satu syarat pemberian gelar Pahlawan Nasional  yaitu setia dan tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara.
Artinya, lanjut dia, seseorang yang semasa hidupnya pernah melakukan penghianatan kepada bangsa dan negara tidak akan pernah memenuhi syarat untuk mendapatkan gelar pahlawan nasional.
"Dengan demikian, ditetapkannya keputusan penganugerahan gelar pahlawan nasional oleh negara kepada Bung Karno secara administrasi dan yuridis Bung Karno memenuhi syarat tidak pernah mengkhianati bangsa dan negara," terang Bambang Soesatyo. (yas)

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun