Iweddudul, 6 November 2010
Cinta Mama
In the first time I falling in Love with You
“Dewi kamu adalah seorang ibu, seorang ibu tidak boleh egois dan memikirkan dirinya sendiri . Dia harus selalu melihat gerbong yang di bawanya yaitu anak-anak dan suami”
Begitu pesan Mama kepada saya. Sesaat setelah ratusan penat sempat membuat saya menyerah.
Dia adalah segalanya. Yang mengiringi setiap detik langkah saya dengan doa-doa dan pengharapan. Serta jutaan cucuran keringat dan air mata.
Mama yang saya kenal adalah seorang yang tegar, keras, kuat dan sangat mandiri. Tahun-tahun sulit bersama Papa telah selesai dilalui. Tugas terakhirnya adalah mengantarkan Papa menuju peraduannya yang terakhir dengan loyalitas yang tinggi hingga sampai dengan hari ini, dihatinya tidak pernah terbersit untuk menggantikan almarhumah Papa dengan yang lain, walapun saya tahu beberapa orang telah mencoba menarik hatinya.
Pun kami anak-anak tidak pernah melarang beliau menikah lagi.
Namun cinta yang besar (dalam kacamata saya) membuat Mama teguh berdiri di atas kakinya tak tergoyah mestipun banyak cobaan silih berganti menghias hidupnya sepeninggalan Papa.
Dalam rangkaian perjalanannya dia telah jutaan kali menepis goda dan ujian, tanpa didampingi Papa tercinta karena waktu itu tengah bertugas sebagai kuli minyak keliling Indonesia, dengan kalimat yang cantik dan santun.
Ibaratnya seseorang berkata “Aku telah terjerat pesonamu dan hendak memilihmu”, lalu kata beliau “Satu cinta telah mematri hatiku hingga kedalaman rasa dan aku tak bisa menyambut tangan yang lainnya tanpa persetujuan dan ridhoNya.”
Kali ini ratusan takjub membuat saya berpikir jika beliau bisa kenapa saya tidak?
RA. Kartini.
Sungguh arti emansipasi yang digembar-gemborkan perempuan sekarang tentang gairah yang di bawa Kartini telah banyak disalah artikan.
Berapa banyak perempuan yang semu dengan istilah emansipasi, mengorbankan harga diri dan juga jiwanya hanya untuk sekedar diakui sederajat.
JIka Kartini wanita hebat yang setahu saya adalah wanita Jawa dengan kultur kental yang hanya ingin agar perempuan tidak diperlakukan semena-mena dalam kehidupan rumah tangganya pun dalam kehidupan pada kaca mata masyarakat feodal jaman itu.
Wanita yang diinginkan Kartini adalah memiliki hak yang sama dengan laki-laki dalam berbicara, bergerak, berprestasi, menentukan pilihan baik melanjutkan pendidikan atau terkait dengan pemilihan jodohnya, kemudian mengasah kemandirian wanita lewat canting, alat tenun, dan alat lukis. Untuk membantu menopang ekonomi keluarga, agar ketika sepeninggal suami mereka masih bisa menggantungkan hidup dengan kemampuannya sendiri.
Sangat setuju dengan pola pikir Kartini bahwa PEREMPUAN HARUS MANDIRI. Karena jika seumur hidup perempuan terus bergantung pada seseorang maka dia tidak akan bisa menjadikan anak-anaknya menjadi kuat dan mandiri.
Kemandirian seorang perempuan tidak perlu harus dengan keluar rumah atau berperan layaknya laki-laki atau menyamai laki-laki.
Kartini tentu terkejut jika melihat peran laki-laki dewasa ini yang telah banyak terganti oleh perempuan hingga kemudian melahirkan perempuan-perempuan egois yang hanya memikirkan karier dan dirinya sendiri hingga mengabaikan keluarga, menutup rasa cinta pada suami dan anak-anaknya.
Perempuan yang kemudian menjadikan dirinya seakan-akan bisa mencapai puncak karier tanpa bantuan dan dukungan dari keluarganya.
Pun Kartini akan lebih menangis jika melihat banyak perempuan masa kini yang menggadaikan harga dirinya hanya untuk sesuatu yang bersifat duniawi. Memajang tubuhnya hanya untuk kepentingan komersial dan menjulukinya sebagai profesionalitas.
Tidak ingin menjudge seesorang, hanya saja perempuan sekarang telah kehilangan alat-alat produksi yang mampu menopang jiwa-jiwa kartini.
Canting, alat tenun, alat lukis, dan juga keterampilanya telah musnah dan hanya menjadi budaya serta komuditas untuk diperjual belikan saja, tapi jiwa-jiwa perempuan pembatik, penenun, pelukis dan lain-lain tidak ada didalamnya.
Dari Kartini kita meloncat ke seorang lagi yang istimewa dan sangat bertolak belakang dari Kartini dari gaya perjuangannya yang lembut dan feminis menuju……….gaya perjuangan kuat dan keras penuh sisi –sisi maskulinitas seorang wanita.
Laksamana Malahayati
Sekelumit tentang Malahayati
Malahayati, adalah salah seorang perempuan pejuang yang berasal dari Kesultanan Aceh. Pada tahun 1585-1604, memegang jabatan Kepala Barisan Pengawal Istana Panglima Rahasia dan Panglima Protokol Pemerintah dari Sultan Saidil Mukammil Alauddin Riayat Syah IV.
Malahayati memimpin 2.000 orang pasukan Inong Balee (janda-janda pahlawan yang telah tewas) berperang melawan kapal-kapal dan benteng-benteng Belanda tanggal 11 September 1599 sekaligus membunuh Cornelis de Houtman dalam pertempuran satu lawan satu di geladak kapal, dan mendapat gelar Laksamana untuk keberaniannya ini, sehingga ia kemudian lebih dikenal dengan nama Laksamana Malahayati.
Fragmen Malahayati seakan berkata “Kawan-kawan senasib sepenanggungan para suami tercinta telah meninggal, maka tinggal kita para perempuan yang hanya bisa menentukan pilihan menjadi diam disini tak berbuat apa-apa atau mengangkat rencong-rencong untuk berperang membantu sekuat tenaga demi kepentingan nusa dan bangsa”
Malahayati seorang perempuan, janda yang telah ditinggal suaminya gugur di medan laga dan menjadi pahlawan. Tampil menghunus pedang dengan kekuatan seorang ibu.
Pembentukan Inong Balee sendiri adalah hasil buah pikiran Malahayati. Malahayati juga membangun benteng bersama pasukannya dan benteng tersebut dinamai Benteng Inong Balee.
Karir militer Malahayati terus menanjak hingga ia menduduki jabatan tertinggi di angkatan laut Kerajaan Aceh kala itu. Sebagaimana layaknya para pemimpin jaman itu, Laksamana Malahayati turut bertempur di garis depan melawan kekuatan Portugis dan Belanda yang hendak menguasai jalur laut Selat Malaka.
Di bawah kepemimpinan Malahayati, Angkatan Laut Kerajaan Aceh terbilang besar dengan armada yang terdiri dari ratusan kapal perang. Adalah Cornelis de Houtman, orang Belanda pertama yang tiba di Indonesia, pada kunjungannya yang ke dua mencoba untuk menggoyang kekuasaan Aceh pada tahun 1599. Cornelis de Houtman yang terkenal berangasan, kali ini ketemu batunya. Alih-alih bisa meruntuhkan Aceh, armadanya malah porak poranda digebuk armada Laksamana Malahayati. Banyak orang-orangnya yang ditawan dan Cornelis de Houtman sendiri mati dibunuh oleh Laksamana Malahayati pada tanggal 11 September 1599.
Selain armada Belanda, Laksamana Malahayati juga berhasil memukul mundur armada Portugis. Reputasi Malahayati sebagai penjaga pintu gerbang kerajaan membuat Inggris yang belakangan masuk ke wilayah ini, memilih untuk menempuh jalan damai. Surat baik-baik dari Ratu Elizabeth I yang dibawa oleh James Lancaster untuk Sultan Aceh, membuka jalan bagi Inggris untuk menuju Jawa dan membuka pos dagang di Banten. Keberhasilan ini membuat James Lancaster dianugrahi gelar bangsawan sepulangnya ia ke Inggris.
Ketika Negara-negara maju dan kita sendiri sering kali masih berteriak dengan masalah-masalah kesetaraan gender yang kemudian menjamur di era keterbukaan informasi terutama pada Negara yang berkembang dewasa ini, tanpa kita sadari wilayah nusantara telah lama mempunyai pahlawan gender yang luar biasa. Laksamana perang wanita pertama di dunia.
Nama Malahayati saat ini terserak di mana-mana, sebagai nama jalan, pelabuhan, rumah sakit, perguruan tinggi dan tentu saja nama kapal perang. KRI Malahayati, satu dari tiga fregat berpeluru kendali MM-38 Exocet kelas Fatahillah. Bahkan lukisannya diabadikan di museum kapal selam surabaya. Meskipun demikian, entah kenapa tak banyak yang mengenal namanya. Laksamana Malahayati “grande dame” (perempuan yang agung) begitu julukan Protugis terhadapnya sebagai wujud penghormatan. Pahlawan emansipasi yang terlupakan.
Lihatlah perempuan tanpa jari-jari kuat dan tubuh berotot, perempuan dengan kelembutannyapun mampu berperang melebihi kemampuan laki-laki bahkan menjadi pemimpin ratusan prajurit.
Jiwa keibuannya melahirkan sebuah kepemimpinan yang handal dan kelembutannya mampu mengayunkan pedang menghunus tepat dijantung lawan.
Kemudian kita meloncat pada tokoh lainnya yang juga luar biasa
Benazir Bhutto
Namanya diambil dari bahasa Urdu, dia lahir di Karachi, 21 Juni 1953 – meninggal di Rawalpindi, Pakistan, 27 Desember 2007 pada umur 54 tahun adalah perempuan pertama yang memimpin sebuah negara Muslim di masa pasca-kolonial. Bhutto yang karismatis terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan pada 1988, namun 20 bulan kemudian ia digulingkan oleh presiden negara itu yang didukung militer, Ghulam Ishaq Khan, yang secara kontroversial menggunakan Amandemen ke-8 untuk membubarkan parlemen dan memaksa diselenggarakannya pemilihan umum. Bhutto terpilih kembali pada 1993 namun tiga tahun kemudian diberhentikan di tengah-tengah berbagai skandal korupsi oleh presiden yang berkuasa waktu itu, Farooq Leghari, yang juga menggunakan kekuasaan pertimbangan khusus yang diberikan oleh Amandemen ke-8.
Benazir lahir di era di mana perempuan masih menjadi kasta kedua pada masyarakat patriarki kental dinegaranya.
Yang tidak memperbolehkan perempuan keluar seenaknya dari rumahnya tanpa kawalan laki-laki, yang memposisikan perempuan hanya untuk mengabdi sebagai istri dan tidak boleh berkarier pun berpolitik diluar rumahnya, kemudian perempuan yang hanya boleh bersekolah di sekolah-sekolah khusus perempuan.
Nilai kepatuhan perempuan adalah mutlak sekalipun dengan kepatuhannya perempuan di era Benazir banyak yang meregang nyawa karena kekolotan budaya bangsanya.
Saat itulah Benazir tampil memberi warna, walaupun banyak yang tidak menyukai keberadaan perempuan kuat yang juga anak seorang politikus. Terkait kapasitanya yang hanya seorang Perempuan.
Tapi lewat ide-ide politiknya dan kecerdasaannya yang memanfaatkan kapasitas (jumlah penduduk) perempuan yang lebih banyak dari laki-laki untuk menarik simpati di negaranya maka Partai Rakyat Pakistan yang dipimpinnya selama di pengasingan bisa memperoleh suara terbanyak di Dewan Nasional Pakistan yang kemudian mengantarkannya menjadi Perdana Menteri wanita dalam 2 periode berbeda di Pakistan. Meskipun banyak cobaan menerpanya tapi dia tetap tegar. Dia pernah di penjara, diasingkan, dikucilkan bahkan yang ironis adalah kematiannya yang berakhir tragis karena di bunuh.
Masa-masa tragis lainnya dialami bersama suaminya mereka telah mengalami 90 kasus ditahan bahkan dalam penahanan berkepanjangan yang dialami suaminya, konon dia mengalami serangkaian siksaan fisik, dan juga intimidasi untuk mengakhiri karier politiknya dan menjauhi dunia politik. Tapi Benazir dengan dukungan suaminya bergeming. Mereka tetap melanjutkan perjuangannya.
Dalam banyak hal Benazir pernah mengambil sebuah keputusan kontroversial terkait masalah Taliban. Padahal Taliban jelas-jelas sangat bertolak belakang dengan visi dan misinya terutama keberadaannya sebagai perdana menteri yang sangat membela kepentingan perempuan, Dia mengatakan dalam sebuah pidato politiknya “Bahwa dengan pemerintahan Taliban, dia melihat kondisi Afganistan dinilai lebih stabil dan memberikan kemudahan terhadap akses-akses ekonomi ke Asia Tengah”. Walaupun dukungan diberikan kepada pemerintah Taliban secara penuh, namun sekali lagi terkait keberadaannya sebagai perempuan yang menurut aturan-aturan Taliban, tidak berhak menjadi seorang pemimpin di negaranya, Taliban malah menentangnya (tidak mendukung). Padahal sewaktu menjadi perdana mentri dia telah banyak menyuplai kepentingan Taliban lewat dukungan militer dan keuangan hingga mengirimkan pasukan Pakistan ke Taliban untuk merebut kekuasaan di Kabul.
Perjuangannya untuk membantu permasalahan sosial yang di alami perempuan di negaranya juga sempat mengalami kendala sekalipun dia mengumbar janji-janji itu dalam kampanye politiknya. Dalam dua periode masa kepemimpinanya beberapa janji politiknya belum semua terlaksana oleh karena kerasnya tekanan-tekanan dari pihak oposisi.
Hingga akhir hidupnya Benazir masih ingin memperjuangkan beberapa janji politiknya terhadap perempuan yang belum bisa tergenapi, namun sebuah peluru menembus tepat di lehernya hingga dia meninggal dunia.
Dari Benazir kita bisa berkaca tentang bagaimana seorang perempuan konsisten terhadap perjuangan hidupnya hingga akhir hayatnya demi tujuan mulia untuk kaumnya.
Suatu contoh betapa seorang perempuan mampu tampil sebagai pemimpin dan menjadi setegar karang jika itu sebuah keharusan.
Perempuan lainya adalah……………..
Fatimah Azhara.
Satu dari sekian peristiwa yang jarang di ketahui orang bahwa Fatimah adalah anak kesayangan Rasulullah SAW.
Dia adalah bukti bahwa feminisme lahir dari kerangka berpikir Islam bukan dari dunia barat yang selama ini di gembar-gemborkan. Lewat Fatimahlah Rasulullah SAW mengajarkan tentang betapa istimewanya seorang perempuan.
Dia mencium dan menyayangi Fatimah secara terbuka di tempat umum, saat seorang anak perempuan pada masa itu terlahir sebagai aib bagi keluarganya.
Sebuah syair di arab tentang perempuan begitu miris di dengar telinga kira-kira begini “wanita terlahir sebagai aib bagi keluarga, daripada dia lahir kemudian dewasa dan hanya akan menyusahkan keluarga dengan menikah kemudian disiksa suaminya, lebih baik dikubur hidup-hidup”
Sikap Rasulullah SAW yang sangat mencintai puterinyapun menjadikan sebagian besar publik arab di jaman jahiliyah itu terheran-heran.
Sepeninggal Rasulullah SAW banyak orang tidak tahu dan mengenal karakter Fatimah yang diwarisi dari ayahdanya tercinta.
Dia selain cerdas, penghulu perempuan di suraga, juga seorang yang tabah dan sabar luar biasa, tidak pernah sedikitpun dia menyusahkan suaminya Ali bin Abi Thalib terkait permasalahan dalam rumah tangganya. Tentang ketidak mampuan Ali dalam mencukupi kebutuhan hidupnya. Fatimah tidak pernah sekalipun mengeluh.
Pun ketika dia berusaha untuk mendapatkan hak waris ayahnya berupa sebidang tanah yang dikenal dengan nama tanah Fadak.
Dengan tegar dia naik diatas mimbar ketika masa khotbah Jum’at membuka cadarnya memperlihatkan aura yang luar biasa pada khalayak kemudian dia mulai berkotbah dengan beraninya di atas mimbar tentang bagaimana seharusnya ketentuan hukum waris dan mewarisi yang seharusnya didapat pula oleh keluarga Rasulullah SAW. Salah satu pidato kontroversialnya yang masih saya ingat tentang tanah Fadak adalah “ Jika dalam Al-Qur’an terdapat ketentuan dari sebuah cerita tentang Sulaiman as yang mewarisi harta ayahnya Nabi Daud as, kenapa saya sebagai anak Rasulullah SAW tidak bisa mewarisi sebidang tanah milik ayah saya yang telah diwariskan kepada saya, bagiamana sebuah ayat yang ketentuanNya (ketentuan ALLAH) yg hukumnya diatas hadist, bisa diruntuhkan, dan bagimana pula hadist yang sumbernya dari Allah telah menghapus ketentuan dari Al-Qur’an?” disini Fatimah jelas-jelas mengkritisi tentang banyak hal, salah satunya adalah kritiknya atas bermunculannya hadist-hadist dhoif yang tumbuh subur selepas kepergian Rasulullah SAW (setelah Rasulullah SAW meninggal dunia) untuk kepentingan politis semata.
Ratusan Jema’ah yang berbondong-bondong memenuhi mimbar khutbah Fatimah terkesima dengan kecerdasan perempuan puteri kesayangan Rasulullah SAW. Mereka silau dengan aura wajah yang terpancar dari wajah Fatimah sebagai gambaran ketaatannya kepada Allah.
Dimasa sulit sepeninggal Rasulullah SAW pun Fatimah mendampingi Ali bin Abi Thalib dengan tabah, pun ketika tak banyak tahu pada peristiwa setelah khutbahnya itu, rumahnya dibakar oleh segerombolan orang yang merasa tersinggung dan terusik kepentingannya. Fathimah memeluk kedua anaknya Husein dan Hasan dengan kedua tangannya melindungi mereka berdua ketika pintu dibuka paksa oleh massa yang datang hendak membakar rumahnya dan memaksa keluar keluarga Fatimah, dimana Ali waktu itu sedang tidak berada ditempat, hingga Fatimah terkena pintu yang terbuka paksa dan patah tulang rusuknya.
Pun demikian dia tidak pernah mengeluh ketika sakit yang teramat sangat itu membebani pekerjaannya untuk menunaikan tugasnya sebagai ibu sekaligus istri yang baik, Ali tidak mengetahui luka yang dialami Fatimah hingga Fathimah meninggal dunia selesai menunaikan sholat.
Dari Fatimah kita juga bisa memetik banyak pelajaran, tentang kecerdasaan yang di gunakan tepat pada waktunya, tentang ketabahan, ketaatan dan juga kekuatan seorang ibu dalam menghadapi setiap badai dalam kehidupannya.
5 cerita tentang perempuan yang saya kagumi telah bergulir, kelima-limanya adalah pejuang yang tangguh di era/masanya. Sekarang pertanyaannya mampukah kita menjadi separuh saja dari kelima perempuan hebat diatas?.
Wallahualam bisawab.
Semua melewati takdirnya masing-masing, hanya saja dari banyak peristiwa dan sejarah yang pernah terukir, harusnya itu bisa dijadikan kaca benggala sebagai barometer kehidupan kita kedepan.
Dari sini saya ingin kita semua sadar. Bahwa perempuan tidak bisa menaklukkan masa yang keras lewat kecantikan, gemulai tubuh, kegenitannya ataupun potensi fisiknya semata. Karena kerasnya masa atau waktu akan menggiringnya memasuki jebakan umur dan kelunturan fisik.
Namun jika dia mengandalkan hati dan fikirannya maka semua yang ada pada dirinya adalah daya tarik yang luar biasa. Perempuan diakui sebagai pribadi, tidak dari bagaimana dia mengumbar seluruh potensi fisiknya tapi adalah bagaimana dia membawakan dirinya tampil bersahaja, smart, dan indah jiwanya, semua terpancar dari tutur bahasanya yang santun, lemah lembut, dan ketegasan sikapnya terhadap berbagai macam rintangan dalam hidupnya. Mudah-mudahan kita bisa menjadi perempuan-perempuan yang didamba dan mampu menghantarkan kita menuju jannah amin ^^.