Hari kamis kemarin anakku memang sedang menempuh ujian praktek untuk mata pelajaran Olahraga, dan mungkin karena dia kurang suka akan mata pelajaran itu menyebabkan nilainya kurang bagus. Ada empat orang anak yang katanya nilainya kurang bagus, dan anakku menyebut sejumlah rupiah yang sudah menjadi kesepakatan mereka untuk dikasih ke gurunya.
Aku coba cek ke salah satu mama temennya, temennya ini bukan yang termasuk nilainya jelek tapi mamanya termasuk yang aktif datang ke sekolah. " Pak itu memang sudah biasa begitu, ntar aja ngasihnya kalo ujian renang " Aku tambah melongo terheran heran, 6 tahun anakku sekolah disitu dan berita seperti ini baru aku dengar. Aku memang jarang banget datang ke sekolah bahkan undangan rapat juga jarang aku datangi karena susah ijin dari kantor.
Ujian berenang baru akan dilaksanakan nanti tanggal 1 Mei, dan sudah dipastikan nilai anakku bakalan jelek lagi karena memang dia tidak bisa berenang dengan baik. Kalo amplopnya dikasih sekarang ntar kalo nilai berenangnya jelek bakal ada permintaan amplop lagi. Ada benarnya juga!
Aku belum memutuskan mau ngasih apa ngga amplop itu, kalo papanya udah langsung ngga setuju. Biarkan saja nilai dia apa adanya, biar dia tahu kekurangannya dan berusaha memperbaiki.
Pikiranku mundur ke enam tahun berselang, dengan menyekolahkan anakku di SD yang ber SSN ( Sekolah dengan Standar Nasional ) aku berharap mendapatkan kualitas pendidikan yang sedikit lebih daripada apabila sekolah di SD Reguler tapi terjangkau, waktu itu belum ada Pendidikan Gratis sehingga untuk masuk kesitu juga perlu biaya yang lumayan untuk ukuran kantongku. Apalagi melihat kondisi saat ini agak susah masuk kesitu karena adiknya ngga diterima di sekolah itu tahun kemarin.
Apa karena sekolah ber-Standar Nasional maka dituntut untuk semua anak didiknya bernilai bagus. Tapi kenapa harus orang tua yang menyediakan amplop untuk nilai bagus itu. Jadi sebenarnya tanggung jawab siapa nilai itu. Memang orang tua tidak boleh menyerahkan tanggung jawab keberhasilan anaknya di sekolah sepenuhnya ke tangan guru tapi setidaknya guru juga harus memperhatikan kekurangan anak didiknya dan tentunya si anak itu sendiri juga harus belajar lebih giat untuk menutupi kekurangannya, Jadi seharusnya bukan amplop solusinya.
Kalo nilai bisa di beli disitu lantas gelar SSN nya berarti palsu. Ya memang sich, mungkin tidak semua guru di sekolah itu bersedia menerima amplop, tapi cara Pak Guru Olah Raga memperbaiki nilai sudah merusak citra rekan rekan Guru disitu. Dan ini tentunya salah orang tua juga, Kalo cara ini sudah membudaya berarti para orang tua selama ini tidak ada yang keberatan,"Yang penting nilai anakku bagus, Toh isi amplopnya ngga seberapa" mungkin ini yang ada di benak para orang tua. Memang jumlah rupiah yang disebut anakku sama dengan yang disebut mama temennya untuk isi amplop yang biasa dikasih ke Pak Guru. Dan jumlah ini mungkin tidak berarti untuk ukuran para orang tua murid yang rata rata bermobil itu.
Aku jadi tak habis pikir, apa sebenarnya yang ingin di ajarkan oleh Pak Guru dengan memberi kemudahan perbaikan nilai juga para orang tua yang dengan mudah menyodorkan uang untuk menyelesaikan masalah. Anak tidak di ajarkan untuk berusaha, semua bisa diselesaikan dengan uang. Pantas saja budaya suap menyuap di Indonesia tidak bisa hilang, jika sedari kecil anak sudah diajarkan menyuap gurunya untuk merubah nilai yang kurang bagus menjadi bagus.
Aku tidak berani menyebutkan nama guru dan sekolahnya disini, takut terjadi apa apa dengan anakku yang sedang menuju kelulusan. Jangan karena satu mata pelajaran membuat dia kesulitan. Sempat tergoda juga untuk memberikan amplop itu karena rengekan anakku, masa iya yang lain bagus Olah Raga jelek. Tapi dia mau terima ketika aku beri pengertian.
Jadi berpikir dua kali untuk memindahkan adiknya kesitu