Founding Father Bangsa Indonesia, Ir Soekarno pernah menyatakan bahwa bangsa kita bukan bangsa tempe. Tentu pernyataan tersebut merupakan bahasa kiasan yang bermakna bahwa Bangsa Indonesia adalah bangsa yang kuat. Namun, sungguh tidak kita sangka, walaupun bangsa kita bukan bangsa tempe, akhir-akhir ini kita diributkan dengan permasalahan tahu dan tempe.
Buntut dari permasalahan ini adalah melonjaknya harga bahan utama dari pembuatan tahu dan tempe tersebut, yakni kedelai. Lonjakan harga kedelai dalam beberapa hari terakhir yang mencapai 40% dari semula harga kedelai hanya Rp5.500 per kg menjadi Rp7000 per kg. Situasi ini membuat para pengrajin tempe dan tahu yang tergabung dalam Forum Komunikasi Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (FKKPTTI) bersepakat melakukan mogok produksi.
Bayangkan bagaimana nasib jutaan produsen makanan kecil seperti tahu dan tempe yang selama ini kita kenal sebagai pekerja sektor informal. Kita ketahui bahwa sektor ini lah yang menciptakan lapangan pekerjaan terbesar di negeri ini.
Produk yang mereka jual sebagian besar ditujukan untuk masyarakat kelas menengah ke bawah. Di sektor ini, persaingan pasar sangat ketat. Dan salah ciri konsumen pasar ini sangat peka terhadap kenaikan harga, sehingga apabila harga naik, permintaan akan mudah turun.
Lalu apa yang mereka lakukan apabila harga bahan pokok produksi yang dibutuhkan terus melonjak? Pada satu sisi mereka tidak mudah menaikkan harga jual produksinya dan di sisi lain biaya ongkos produksi sulit ditekan serta biaya-biaya lainnya seperti biaya perijinan, pungutan dan lain sebagainya.
Sebagai alternatif, pihak produsen yang tidak ikut serta dalam aksi mogok produksi, memproduksi ulang dengan memperkecil ukuran tahu-tempe 20 persen hingga 50 persen seperti yang dilakukan produsen tahu-tempe di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Utara. Namun alternatif seperti ini tidak akan bisa berlangsung lama. Bukan tidak mungkin kerugian pun akan terus menghantui para produsen tahu-tempe tersebut.
Harapan yang sebetulnya mereka inginkan hanya sederhana, yaitu ketersediaan bahan-bahan baku dan stabilitas jumlah dan harga. Kita mungkin miris dengan kondisi seperti ini. Pada kondisi normal saja kehidupan mereka sudah susah, apalagi jika kondisi harga bahan baku produksi terus melonjak naik. Bukankah ini potret buram yang sangat menyedihkan? Lalu apa peran pemerintah kita?.
Kebijakan Pemerintah
Polemik lonjakan harga bahan baku tahu tempe bukan sekali ini saja terjadi. Tampaknya pemerintah belum belajar dari kejadian klasik yang juga terjadi di bulan Februari 2011. Sebuah ironi bagi negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi.
Langkah pemerintah memberikan insentif bebas bea masuk dari semula 5 persen menjadi 0 persen guna mengatasi lonjakan harga kedelai dinilai sudah tepat. Tapi ada pekerjaan besar yang belum di tuntaskan oleh pemerintah, yakni menciptakan swasembada kedelai. Pemerintah di nilai belum bersungguh-sungguh dalam mewujudkan hal tersebut.
Lebih tegas, anggota Komisi Pangan DPR S Nabil Al Musawa mengatakan krisis kedelai adalah indikasi Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa dan pemerintah pada umumnya tidak bersungguh-sungguh dalam mencapai swasembada kedelai.
Swasembada kedelai penting untuk segera di wujudkan. Hal ini merupakan sebagai langkah menanggulangi dampak lanjutan akibat dari kebijakan pemerintah untuk menghilangkan bea masuk impor kedelai. Dampak lanjutan tersebut adalah ketergantungan impor yang akan menimbulkan melemahnya ketahanan pangan nasional.
Jadi, hemat penulis, kebijakan pemerintah saat ini hanya bersifat kebijakan sementara. Yang menjadi titik poin dari permasalahan tahu-tempe ini adalah melemahnya semangat mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan dan permasalahan swasembada pangan khususnya kedelai yang terbengkalai.
Kedaulatan Pangan
Krisis kedelai sebagai bahan baku tahu tempe adalah indikator gagalnya pemerintah dalam mewujudkan cita-cita kedaulatan pangan. Kedaulatan pangan adalah hak setiap bangsa dan setiap rakyat untuk memproduksi pangan mandiri, mengkonsumsi dan memasarkan hasil pertaniannya tanpa adanya intervensi pihak luar. Kedaulatan pangan merupakan prasyarat dari ketahanan pangan (food Security).
Ketahanan pangan dapat diartikan sebagai kemampuan pemerintah dalam menyediakan kebutuhan pangan dan kebutuhan pokok masyarakat. Namun permasalahan untuk menciptakan kestabilan pangan dan kestabilan stok pangan nasional, terkadang pemerintah terjebak pada kebijakan pragmatis. Dengan dalih menciptakan ketahanan pangan untuk kebutuhan pangan dan kebutuhan pokok masyarakat, lantas mengambil kebijakan impor.
Inilah permasalahan klasik yang belum tertuntaskan hingga saat ini. Wacana menciptakan kedaulatan pangan hendaknya terus digelorakan. Terkikisnya kedaulatan pangan berakibat ketergantungan impor dari luar. Sehingga wajarlah jika melonjaknya harga bahan baku tahu tempe akibat mengikuti mekanisme pasar yang berlaku.
Pemerintah harus mendukung mewujudkan kedaulatan pangan dengan membatasi penguasaan dan pengusahaan sumber-sumber agraria baik tanah, hutan, tambang dan perairan di tangan segelintir orang dan korporasi besar. Selanjutnya mendistribusikan tanah kepada petani khusus diperuntukkan bagi pembangunan pertanian pangan sebagai prasyarat utama dalam pembangunan kedaulatan pangan yang berbasiskan rasa keadilan rakyat.
Oleh karena itu, menciptakan kedaulatan pangan adalah solusi yang tidak bisa di tawar lagi. Jangan sampai sebutan Indonesia sebagai negara agraris yang tanahnya subur dan gemah ripah loh jinawi hanya menjadi lipstik. Dan tentunya krisis tahu tempe tidak lagi menjadi isu nasional yang menghebohkan. Semoga saja.
Terbit pada harian Bisnis Indonesia edisi 28 Juli 2012