Saat Natal tiba, teman sepermainan yang merayakan biasanya sibuk dengan acara keluarga masing-masing. Persis dengan saya dan teman lain saat merayakan Idul Fitri.
Sesudah acara ibadah dan keluarga, siangnya kami bermain bersama kembali. Betapa senangnya mendapat bagian permen atau kue yang dibungkus kertas mengkilap berwarna warni.
Saat bermain kami tidak pernah menyinggung masalah agama. Itu urusan masing masing. Kami tetap bermain tekongan, betengan engklek bersama-sama tanpa bayang-bayang perbedaan keyakinan kami.
Mungkin itu wujud penerapan "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku" dalam konteks yang paling sederhana, dunia anak-anak.
Sampai tiba saatnya tiba-tiba kami dihadapkan pada kondisi yang agak rumit dimana ada larangan memberi ucapan selamat hari raya pada agama yang berbeda.
Meski ada pendapat yang beragam tentang hal tersebut, rasanya tidak berpengaruh banyak pada keseharian kami. Kami tetap hidup berdampingan, saling menyapa, dan memberikan makanan antar tetangga.
Saat idul Fitri kami saling mengantar ketupat dan opor pada tetangga tanpa melihat perbedaan keyakinan.
Demikian pula ketika tetangga yang beragama Nasrani merayakan Natal, kami juga mendapatkan hantarannya. Pun ketika ada tetangga yang merayakan Imlek kami bisa ikut menikmati kue thok kacang hijau yang berwarna merah menyala dan manis rasanya.
Semua mengalir begitu cantik dan hangat.
Toleransi beragama di kampung tak ubahnya di sekolah tempat saya mengajar. Saat peringatan hari-hari besar tertentu seperti hari raya Qurban atau Maulid Nabi kami memasak dan makan bersama.
Kepanitiaan yang dibentuk di sekolah terdiri atas guru dari lintas agama. Mulanya ditawarkan pada bapak /ibu guru yang berbeda agama bersedia atau tidak dimasukkan dalam kepanitiaan, dan ternyata tidak ada yang menolak. Akhirnya dalam keragaman yang ada di sekolah kami bisa melakukan kegiatan bersama- sama.