****
Bu Ana menunduk. Meski masker menutup sebagian wajahnya namun bias kesedihan tampak jelas di matanya. Ada sedikit genangan air di sana. Apalagi melihat ibu Adib yang terbata-bata menceritakan kepergian anaknya yang begitu mendadak. Meningitis telah merenggut kebersamaannya dengan buah hatinya tercinta.
Pelayat sudah tak nampak lagi berganti dengan rombongan laki laki yang pergi ke masjid untuk menunaikan sholat Jumat. Ya, rumah duka itu tak jauh letaknya dari masjid kampung.
Di dekat Bu Ana duduk Bu Fifi dengan bias kesedihan yang serupa.
Sungguh tak terbayangkan siswa mereka yang masih menginjak usia 12 tahun tiba-tiba saja dipanggil sang Khalik.
Adib. Nama yang menyimpan banyak cerita. Betapa banyak keluhan guru tentang kemalasan Adib. Berkali -kali Bu Ana mendapat laporan dari para guru mapel. Baik karena Adib tidak datang saat pembelajaran atau tidak mengumpulkan tugas. Bu Ana sempat gemas dibuatnya.
Tidak bisa dipungkiri nenjadi walikelas di saat pandemi memang 'sesuatu' rasanya. Pandemi telah menyurutkan semangat sebagian siswa untuk menuntut ilmu.
Pembelajaran di era pandemi dilaksanakan bergantian separo separo. Separo belajar di sekolah (PTM) dan yang lain belajar di rumah (BDR). Itu dilaksanakan bergantian
Dalam pelaksanaannya yang belajar di sekolah biasanya lebih bersemangat daripada yang di rumah. Ini bisa dilihat dari pengumpulan tugasnya. Tugas dari siswa yang belajar di sekolah lebih lengkap daripada yang belajar di rumah.
Selalu ada siswa BDR yang tidak mengumpulkan dengan berbagai alasan. Padahal yang belajar di rumah boleh mengumpulkan tugas keesokan harinya.
Ada juga siswa yang saat PTM tidak muncul, saat BDR juga menghilang. Nah. Adib adalah salah satunya.
Berbagai usaha sudah dilakukan Bu Ana untuk mengingatkan Adib, dan yang terakhir adalah meminta Adib tiap hari masuk sekolah.
Saat jadwal PTM ia masuk kelas, tetapi saat BDR ia belajar di perpustakaan. Orang tua Adib setuju anaknya masuk tiap hari karena jarak rumah ke sekolah tidak begitu jauh, hanya 10 menit berjalan kaki.
Sejak saat itu Adib masuk tiap hari. Beres, Bu Ana begitu lega. Satu masalah mengganjal sudah teratasi.
Namun sayangnya hal tersebut tak berlangsung lama. Adib kembali tidak masuk dengan alasan yang tidak jelas.
Sudah tiga hari baik orang tuanya maupun Adib tidak bisa dihubungi. Bu Ana mulai jengkel.
"Kita home visit ya, Bu?" kata Bu Ana tatkala berdiskusi dengan Bu Fifi, guru BK yang menjadi partner nya.
Bu Fifi setuju. Untuk siswa yang agak 'bandel ' seperti Adib memang perlu di home visit supaya sekolah bisa tahu kondisi keluarga atau lingkungan sekitarnya yang barangkali ikut andil membuatnya menjadi malas.
"Jum'at ya Bu? Saya buatkan surat pernyataan dulu, " kata Bu Fifi.
Bu Ana setuju. Surat pernyataan yang dimaksud adalah surat kesediaan orang tua untuk mengawasi puteranya dalam mentaati aturan sekolah, jika siswa tetap tidak mentaati aturan maka ada sanksi tertentu dari pihak sekolah.
Surat pernyataan biasanya dibuat ketika siswa melanggar aturan dan sudah beberapa kali diingatkan tapi tetap membandel.
Jumat berarti dua hari lagi.
"Baik, dua hari lagi kira kira jam 10 ya? " tegas Bu Ana.
Bu Fifi mengangguk. Sepakat. Dua guru muda yang begitu semangat itu berjanji akan melaksanakan home visit ke rumah Adib hari Jumat pukul 10.00.
Kamis menjelang duhur gempita perayaan Hari Guru masih terasa. Beberapa bapak dan ibu guru mengobrol di ruang guru sementara yang lain asyik di depan laptop mempersiapkan pembelajaran.
Bu Ana yang sedang asyik menatap laptopnya segera menghentikan pekerjaannya ketika Bu Is tiba-tiba berdiri di sampingnya.
" Bu Ana, Adib sudah tidak ada.., " kata Bu Is.
"Tidak ada, maksudnya tidak masuk lagi hari ini? " tanya Bu Ana. Ada rasa gemas dalam nada suaranya.
Bu Is menggeleng.
"Bukan Bu, tidak ada maksudnya meninggal. Barusan ada kabar dari siswa saya yang rumahnya berdekatan, ternyata tiga hari kemarin anaknya sakit..," kata Bu Is lirih.
Dunia serasa berhenti berputar. Kabar yang begitu mengejutkan. Seperti baru kemarin Bu Ana mengajak berbicara Adib di perpustakaan dan sedikit 'memarahinya' karena sering tidak masuk. Masih tampak jelas terbayang Adib yang menundukkan wajahnya dan sama sekali tak berani menatap wajah Bu Ana.
"Saya akan berjanji lebih rajin, Bu, " katanya saat itu.
Adib yang pendiam tampak agak pucat, mungkin juga karena Adib merasa takut karena sudah melakukan banyak kesalahan.
Jumat pagi rintik hujan sudah menyapa kota kami. Hari itu senam ditiadakan karena lapangan basah. Pembelajaran berlangsung daring seperti hari Jum'at biasanya .
Ketika jam sudah menunjukkan pukul sebelas beberapa guru termasuk di dalamnya Bu Ana dan Bu Fifi berangkat menuju rumah Adib. Ya, pagi ini home visit ke rumah Adib benar-benar dilaksanakan.
Keterangan:
PTM: Pembelajaran Tatap Muka
BDR : Belajar di Rumah