Mohon tunggu...
KOMENTAR
Puisi

Monarki Politik

4 Desember 2010   15:05 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:01 64 0
“kalai”

Dirunut dianut dimanut.

Diantuk ditanduk diaduk.

Pengecut berkemelut.

Pelatuk bergemeretuk.

Berkolosal sejarah nagari jawi-jawi.

Menorehkan sastra arif nan lohjinawi.

Berkomunal sejarak negara pasal-pasal.

Menukilkan sajak-sajak monumental.

Peradaban telah mengabadikan babad tetanah leluhur.

Bersama kehidupan berjalan seindah pekerti nenek moyang.

Tumbuh bermerkaran dalam tradisi kebudayaan luhur.

Sekarang harus tewas tersungkur oleh angkara layang.

Kekuasaan tidak bisa bersama kearifan.

Kekuatan tidak bisa bersama ketulusan.

Kebijakan tidak bisa bersama Kesenian.

Ketetapan tidak bisa bersama kebudayaan.

Bangsaku miskin kesenian.

Negaraku fakir kebudayaan.

Tanahku gersang kesenian.

Airku kering kebudayaan.

Sejarah halal dilupakan.

Prasasti halal dihancurkan.

Cerita halal dibohongkan.

Pustaka halal dilenyapkan.

Aku berteriak!

Berteriak padamu bangsaku.

Aku katakan!

Katakan kepadamu negeriku.

Kita memang miskin kesenian.

Kita memang fakir kebudayan.

Kenyataan telah terpelintir.

Kebenaran sudah disetir.

Kita hidup menjelma satir.

Kita mati mewujud nadir.

————————————-

Jakarta, 04 Desember 2010

yukisastra

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun