DI awal babak kedua Final Leg I Piala AFF, yang berlangsung di Stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur, kiper Indonesia, Markus Horison, menghampiri wasit dan memprotes sinar laser berwarna hijau yang mengganggu konsentrasinya. Wasit mengapresiasi protes tersebut, lalu menghentikan pertandingan untuk sementara. Waktu itu, muncul kekhawatiran, jangan-jangan protes itulah yang justru akan mengganggu konsentrasi ritme permainan tim Indonesia yang tengah meningkat, sekaligus memicu sebuah antiklimaks.
Kekhawatiran itu, ternyata, menjadi kenyataan. Beberapa menit setelah pertandingan dilanjutkan, Malaysia membobol gawang Markus tiga kali, hampir secara berturutan. Konsentrasi Firman Utina cs seolah lenyap entah ke mana. Maman Abdurrahman dan Hamka Hamzah, dua pilar penting di benteng pertahanan, malah jadi kelihatan panik seperti melihat ancaman tsunami.
Ada satu simpul yang menarik di sini, yakni tentang pemahaman terhadap makna "protes". Aksi sebagai ekspresi ketidakpuasan itu memang bisa menjadi positif selama berfungsi untuk memprovokasi status quo dari pihak yang bersitentang dengan si pemrotes. Tapi, kalau yang terjadi itu malah sebaliknya, yakni merugikan diri sendiri, berarti ada sesuatu yang keliru di sana.