Pindah ke Metromini satunya, pandangan menyayat hati kembali terhampar. Seorang anak kecil, usianya mungkin hanya 5 tahun, naik bersama adiknya yang berusia kurang dari dua tahun. Si adik didudukan di depan, dan dia dengan lihai memainkan gitar kecilnya mendendangkan lagu dewasa. Penampilannya luar biasa dan tak sedikit yang mengapresiasi dengan lebaran-lembaran ribuan. Saya pun sempat ragu waktu itu... kasih atau tidak. Karena saya sudah bertekad untuk tidak akan memberikan uang kepada orang-orang di jalan. Kemurahan hati orang-orang jadikan mereka "betah" menggantungkan nasib di jalan, dan saya tidak mau itu terus menerus terjadi. Saya lebih prefer menyerahkan sumbangan ke teman-teman yang nyata-nyata mengelola yayasan untuk pemberdayaan anak-anak jalanan. Atau rumah-rumah zakat yang sudah terpercaya.
Si Adik berlalu... mengendong adiknya yang menangis. Potret-potret kemiskinan hadir di depan saya dengan silih berganti hingga akhirnya sampai di rumah. Malam-malam sebelumnya bahkan lebih miris lagi, saat saya pulang dari Mesjid BI jam 12 malam (kondisi yang memaksa saya untuk segera pulang, padahal rencananya mau itikaf :P). Memasuki jalan Radio Dalam, sepanjang jalannya pengemis-pengemis dan pemulung menggelar karton, berderetan mengistirahatkan badan menunggu esok datang.
Indonesia?
Inikah gambaran hidupmu?
Pemaparan di atas basi emang... atau bahkan sudah sangat umum sekali. Semua orang sudah tahu. Saya dari kecil juga sudah tau kondisi seperti itu. TAPI... MENGAPA TIDAK ADA PERUBAHAN SAMA SEKALI??? DI NEGARA YANG KATANYA SUDAH MERDEKA SELAMA 67 TAHUN?? Kenapa jumlah anak-anak di jalanan semakin meninggi, bahkan sudah dikelola oleh sindikat-sindikat perdagangan orang. KENAPA?
Kemana negara yang seharusnya melindungi orang-orang lemah seperti itu? Jangan bilang para pejabat tidak tau kondisi itu karena TIDAK PERNAH NAIK METROMINI!