Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

ABK Hualien, Nasibmu Kini...

15 Agustus 2011   04:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:46 474 1
Hualien, setelah tiga jam dua puluh lima menit menikmati pemandangan indah pantai timur Taiwan dari atas kereta, akhirnya saya bersama Ust. Hatta sampai juga di county terbesar di Taiwan tersebut. Kebetulan, selama sebulan Ust. Hatta dapat kesempatan untuk berbagi ilmu dengan rekan-rekan Indonesia yang ada di Taiwan, dan sesekali saya menjadi guide beliau ke beberapa tempat yang meminta beliau memberikan tausiyah. Langit biru cerah, dan udara tidak serasa sepanas kota Taipei. Mungkin karena kami sampai saat matahari hampir tergelincir, pukul 18.10. "Alhamdillah... timing-nya pas... Pas mendekati jadwal berbuka." komen seorang teman melalui SMS ketika saya sampaikan saya bersama Ustad telah sampai dengan selamat. Tidak menunggu lama, saya cegat taksi terdekat dan menelpon teman saya, untuk menyampaikan kepada sopir taksi alamat rumahnya. Suasana yang benar-benar berbeda cepat ditangkap oleh ustad, ketika kami menaiki Taksi dan melaju perlahan menuju Toko Yani, sebuah warung Indonesia tempat kumpul jamaah MTNIH (Majelis Taklim Nurul Iman Hualien) dan PPIH (Paguyuban Pelayar Indonesia di Hualien). Ya... Huelien sangat berbeda dengan tempat-tempat lain yang pernah saya kunjungi di Taiwan. Aura "kampung" masih melekat pada penduduknya. Di jalan-jalan dengan mudah ditemui pria-pria bermulut merah menikmati binlang (pinang red) dan karakter orang-orangnya sedikit lebih cair dan juga lebih kasar dibandingkan penduduk bagian utara Taiwan seperti Taipei, atau Zhongli, tempat saya bernaung. Berlari dengan waktu, tepat saat azan magrib berkumandang, kami sampai di Toko Yani. Es Kelapa Muda dan Kolak labu menyambut sebagai hidangan berbuka. Sontak hati saya bersorak gembira, bagaimana tidak... setelah 12 hari berpuasa, akhirnya saya bisa juga berbuka dengan menu khas Indonesia yang selalu saya rindui. Dengan lahap dan penuh syukur kami menikmati hidangan tersebut yang dilanjutkan dengan shalat magrib berjamaah - makan makanan berat - dan tarawih bersama. Saya cukup kaget, ketika mendapati banyak jamaah yang turut shalat berjamaah bersama kami di Mushalla MTNIH. Sebagian besar merupakan mbak-mbak yang bekerja di rumah tangga, yang pergi secara diam-diam setelah akong (kakek)/amah (nenek) yang mereka jaga tertidur. Setelah shalat usai, mereka akan buru-buru balik ke rumah majikannya, untuk berjaga-jaga akong/amah terbangun atau memang ada yang diijinkan keluar dengan waktu yang sangat terbatas. Ya, seperti daerah-daerah lainnya di Taiwan, di Hualien juga banyak pekerja asal Indonesia yang bekerja di sektor domestik (rumah tangga), pabrik dan sebagai anak buah kapal (ABK). Mayoritas tentunya pekerja domestik, bagi pekerja pabrik sebagian besar bekerja di pabrik batu marmer atau sebagai pembuat biendang (makan siang) untuk pekerja wanita dan sisanya ABK. Hualien pun sedikit unik dibandingkan wilayah-wilayah lain di Taiwan. Mungkin karena "aura" daerah rural yang masih melekat di masyarakatnya, sehingga karakter masyarakatnya masih terikat dengan "hierarki" yang meminggirkan posisi pekerja migran. Kasus-kasus kekerasan olah majikan, agen yang sewenang-wenang merupakan hal yang umum bagi pekerja di sana. Dan mungkin juga lokasi mereka yang sulit dijangkau, banyak informasi-informasi penting tidak sampai kepada para pekerja. Pun penanganan terhadap kasus-kasus yang dihadapi para pekerja di sana. Penyekapan oleh agen, pemulangan ke Indonesia tanpa kompensasi dan pemutusan kerja secara sepihak tampak seperti hal yang biasa terjadi di sini. Pekerja Indonesia benar-benar di buat tak berdaya, dan seperti kehilangan sandaran ketika membutuhkan bantuan apalagi perlindungan. *** "Minta no Mas Udin (bukan nama sebenarnya), Mas" pinta saya ke Mas Tris, ketua MTNIH. Kebetulan saya memang sedang ingin meng-update data base organisasi pekerja. Beberapa diantaranya sudah tidak bisa dihubungi, termasuk nomor Mas Udin yang menjadi ketua sebuah organisasi lainnya. Mas Sutris cuma memberikan saya sebuah senyuman, ragu, dan kemudian berkomentar "Mas Udin sudah jadi kaburan Mbak." "Apa??" "Iya Mbak... jadi kaburan..." "Bukannya majikannya baik Mas?" "Iya baik, tapi agennya?" Saya terdiam, tidak bisa melanjutkan kata-kata. Rasa bersalah benar-benar membebani saya. Saya merasa sangat-sangat tidak berguna, karena tidak ada yang dapat saya lakukan selain hanya mendoakan angka-angka kaburan itu tidak terus bertambah. Ya... jangan lagi setiap teman-teman di Hualien yang melaporkan permasalahannya ke FORMMIT (Forum Mahasiswa Muslim Indonesia di Taiwan) harus berakhir dengan menjadi kaburan... atau dipulangkan ke Indonesia. Miris memang... tapi saya pun tidak bisa menyalahkan keputusan sulit mereka tersebut. Siapa yang tidak akan jadi kaburan.... jika melapor ke agen justru dimarahi.... dan tak jarang juga dipukuli? Jika ingin minta pindah majikan justru di sekap dan hanya diberi makan dua hari sekali itupun hanya indomie? Tak jarang diancam akan dipulangkan, padahal hutang-hutang masih menumpuk di Indonesia? Bagaimana mereka tidak akan menjadi kaburan jika... a. Setiap bulan uang mereka di potong mencapai NT 4,000 ( 1 NTD = Rp 294) untuk biaya makan dan uang mes padahal nyata mereka tinggal di kapal! Pun makanan mereka majikan yang memberikan. b. Uang mereka di potong NT 250 setiap bulannya untuk asuransi kesehatan, namun mereka sama sekali tidak mendapatkan asuransi kesehatan. Padahal bekerja sebagai ABK penuh dengan resiko, banyak pekerja yang mendapatkan kecelakaan kerja hanya diobati "seadanya" oleh agen atau majikan. Kasus terbaru, minggu lalu, seorang pekerja menjadi kaburan karena jarinya putus, namun biaya pengobatan di potong dari gajinya yang sudah banyak di sunat di sana-sini. Padahal jika yang bersangkutan di asuransikan, yang bersangkutan akan mendapatkan kompensasi mencapai NT 85,000. Bukan sebaliknya.... sudah jatuh, tertimpa tangga... tangga beton pula. [caption id="attachment_129222" align="alignnone" width="300" caption="ABK Hualien yang kakinya tertusuk besi, setelah operasi dan tanpa asuransi"][/caption] c. Jam kerja yang gila-gilaan. Bahkan ada, yang pergi buang air kecil pun di larang! Lalu bagimana mereka bisa beristirahat... sholat... dan memenuhi kebutuhan reproductive time-nya? d. Lebih tragis lagi.... uang mereka di potong sebanyak NTS 8.404 setiap bulannya selama 10 bulan, yang dinyatakan sebagai tabungan mereka yang bisa diambil setelah kembali ke Indonesia. Namun kenyataannya.... ketika mereka kembali ke Indonesia hanya ada Rp. 0 rupiah dari tabungan tersebut? Bersama teman-teman di FORMMIT, pada April 2011 yang lalu, kami pernah membuat analisa permasalahan ABK, dalam hal ini Hualien sebagai studi kasusnya untuk kemudian diserahkan ke pihak yang berwenang dalam penanggulan kasus tersebut. Harapannya data konkret yang  juga dilengkapi dengan rekaman video yang menunjukkan laporan secara langsung dari teman-teman ABK bisa menjadi landasan kuat bagi semua pihak terkait untuk melakukan sesuatu bagi para ABK ini. Dimana disaat yang bersamaan... permasalahan ini juga menjadi permasalahan bagi 6,200 ABK lainnya di Taiwan yang tersebar di Yilan, Keelung dan Pintung. Namun hingga saat ini, permasalahan-permasalahan tersebut terus merajalela... bahkan semakin parah. (Bagi teman-teman yang ingin mengetahui lebih lanjut, dapat mengunduhnya di link berikut: DI SINI ). *** Malam beranjak semakin jauh, sebelum memutuskan untuk segera ke peraduan saya berpamitan ke pemilik rumah yang saya tumpangi di lantai satu. Wajah-wajah ceria ABK diantara sekian banyak permasalahan yang mereka hadapi menyambut saya di bawah. Saya tidak berani menatap mereka satu persatu. Rasa bersalah dan malu yang teramat besar membuat kepala ini hanya mampu tertunduk. Saya tahu... berdoa saja tidak cukup bagi mereka. Tapi mungkin... saat ini, hanya itu yang dapat saya lakukan. Ya Allah... lindungi pekerja Indonesia... dimanapun mereka berada....

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun