Mohon tunggu...
KOMENTAR
Olahraga

Semakin Kisruh, Semakin Riuh, Semakin Embuh!

10 Maret 2012   15:40 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:15 616 1
Ini hanyalah opini belaka.

Beberapa tahun yang lalu, kolom sepak bola nasional bukanlah trending topic (meminjam istilah Twitter). Isu-isu seputar pertandingan dan ulasan non teknis belum menjadi pembahasan yang menarik. Pada awal-awal ketua umum PSSI dipegang Nurdin Halid, semua tampak biasa saja. Tidak ada yang menarik perhatian massa secara luas. Iklan-iklan baik di koran, internet, maupun tabloid maunya ditempatkan di tempat yang favorit, yakni sepak bola internasional.

Menarik untuk disadari, perbincangaan seputar PSSI sangat marak dalam beberapa tahun ini. Bahkan, dalam satu tahun ini, saat kita membuka koran, tabloid, majalah, atau internet, topik yang dicari adalah seputar sepak bola nasional. Benar, tidak?

Entah Anda pro PSSI, entah pro KPSI, entah Netral, entah cuma masyarakat biasa yang skeptis, beberapa bulan ini pastinya Anda selalu mengeklik kolom sepak bola nasional.  Sebagai contoh, kolom politik yang biasanya jadi perhatian utama publik, di kompasiana masih kalah jumlah kliknya dengan kolom bola. Siapa pun yang menulis di kolom ini, seburuk apa pun artikelnya, dan seburuk apa pun judulnya, dapat dipastikan dalam tempo sehari sudah di-klik lebih dari 100 orang. (bandingkan sendiri dengan cara mengeklik index masing-masing kolom).  Tentu saja jumlah klik di kolom-kolom sepakbola di situs-situs lain juga seperti ini. Sebagai contoh, goal.com, vivanews, sidomi, beritajatim, kompas, dsb. Sampai orang-orang sudah bosan mendengar berita keperkasaan Lionel Messi mengoyak gawang lawan dengan lima gol. Penggemar MU yang biasanya merecoki berita kekalahan Liverpool (dan juga sebaliknya), masih kalah jauh dibandingkan jika PSSI atau FIFA/AFC membuat statement tertentu tentang sepak bola nasional di negeri ini.

Tak hanya itu, berita sepak bola di televisi juga menyedot perhatian massa yang tidak kecil. Entah untuk mencari keburukan di pihak media, keburukan di pihak PSSI, keburukan di pihak KPSI, atau untuk mencari pembenaran atas opini masing-masing.

Orang bilang, tidak ada berita menggembirakan yang lebih menjual dibandingkan berita yang buruk, apalagi yang kontroversial. Semakin kontroversial, semakin laris manis.

Aku ingin bercerita, pada tahun 2000-2001 ekonomi Amerika Serikat sedang hancur-hancurnya. Bahan bakar mahal, perekonomian lesu, dan tentu saja media massa juga turut lesu, terutama media cetak. Tiba-tiba peristiwa 11 September 2001 mengubah semua itu. Dimulai dengan propaganda media massa, dicarilah Osama ke mana-mana. Eh, tiba-tiba Irak yang diserang. Apa hasilnya setelah itu? Bensin di Amrik sana jadi murah, perekonomian bangkit (meski 2007 dilanda krisis lagi), dan media massa laris manis.

Apa hubungannya dengan sepakbola Indonesia? Tidak ada. Karena itu semua cuma contoh bagaimana digdayanya media massa.

Jadi, sebenarnya, inti utama masalah sepak bola nasional adalah di media massa. Dramatisasi, penggalangan opini publik, dualisme suara, kontroversi, itu yang mereka harapkan. Untungnya jelas banyak sekali. Pengiklan tentu sumringah melihat website yang semakin banyak di-klik. Bukannya berusaha menengahi dan menyelesaikan persoalan sepak bola, media massa justru dijadikan alat untuk memperkeruh suasana. Dualisme opini publik tujuan utamanya. Mereka tidak pernah benar-benar mencari fakta, namun hanya mencari sesuatu yang laku dijual kepada massa.

Bayangkan jika hanya ada satu suara (misalnya Pro PSSI) dan tidak ada musuhnya (misalnya Pro KPSI), dan tidak ada bumbu-bumbu Partai Kuning - Partai Biru, tidak ada Nirwan Bakrie, Nurdin Halid, Rahmad Darmawan, Toni, La Sya (atau siapalah namanya), Djohar Arifin, Tri Goestoro, Saleh Mukadar, serta Timnas yang selalu menang, Liganya bagus, dan tidak ada masalahnya, pasti kolom sepakbola ini tidak laku di-klik.

Siapa yang mau mengeklik berita tentang ketenteraman???

(Pastinya yang laku dijual itu berita tentang pembunuhan, pemerkosaan, kekejaman, dsb.)

Siapa yang mau membaca berita yang mendamaikan???

(Media massa lebih suka memberitakan kekacauan, persengketaan, ketidakkondusifan, dsb.)

Siapa yang mau membaca berita "si penjahat itu sudah insyaf dan kembali ke masyarakat"???

(Media massa lebih suka memberitakan ketidakadilan, mencari simpati publik atas orang yg dizolimi, proses kegiatan kejahatan, dsb.)

Ada istilah "menggunjing", "gosip", "isu", "fitnah", dsb., dan itu semua pasti menampilkan berita buruk!

Mana ada orang menggunjingkan kebaikan orang lain?

(menggunjing itu pasti yang buruk-buruk)

Mana ada orang yang menggosipkan kehebatan pihak lain?

(yang ada itu ya kebrobrokan pihak lain)

Mana ada orang yang memfitnah kecermelangan musuhnya?

(kekalahan musuh itu berita yg paling membahagiakan)

TIDAK ADA!




Kita boleh mengkritik, bahkan wajib karena kita peduli.

Kritikan itu pedas karena kalau tidak pedas, sama saja seperti merokok tanpa korek. Tapi jangan cuma memperkeruh suasana.

Orang-orang yang sudah terkelompokkan termasuk golongan orang-orang yang sudah berhasil dipengaruhi "fakta-fakta" yang disajikan media massa. Memang inilah yang diharapkan. Kelompok-kelompok ini kalau disulut sedikit saja, pasti sangat reaktif. Entah reaksinya positif, atau negatif, itu bukan urusan media massa. Yang jelas, berita yang ditampilkan harus menimbulkan reaksi. Semakin besar reaksi yang ditimbulkan oleh pemberitaan, maka semakin besarlah jumlah pembaca/penontonnya.

Maka tidak heran tayangan tawuran di ISL menjadi tontonan/bacaan yang menarik di kalangan pencinta IPL, dan ketidakberhasilan Timnas meraih hasil maksimal melawan Bahrain dan Brunei menjadi "berita bagus" buat para pencinta ISL yang anti-PSSI.

Ya, begitulah. Terima kasih, MEDIA MASSA. Anda berhasil membuat perpecahan ini semakin mengemuka. Dan selamat, oplah dan klik untuk berita-berita Anda semakin banyak!

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun