Mohon tunggu...
KOMENTAR
Cerpen

Fobia Fabio!

15 Mei 2013   21:51 Diperbarui: 24 Juni 2015   13:31 144 0

Kau tahu? Rasanya aku mau gila mendengar kisah-kisah mereka! Apa jadinya saat kau, sebagai psikolog, harus mendengarkan trauma-trauma yang pernah kau alami sendiri? Ya, aku paham itu. Sebagai profesional, aku seorang ahli terapi berbagai macam fobia. Sayangnya, nyaliku mendadak ciut saat berhadapan dengan fobia yang satu ini. Aku tak mampu menaklukkan ketakutanku sendiri. Kau masih fobia, Fabio!

*****

“Begadang lagi ya?” Amanda menatapku dengan pandangan yang tak dapat kutebak maknanya. Entah kasihan, kesal, atau keduanya sekaligus.

“Sampai kapan mau mati-matian demi kasus klienmu itu? Kamu juga punya urusan yang lain, Fa!”

Fa, panggilan yang terhenti di suku kata pertama namaku. Khusus Amanda, hanya dia yang memanggilku seperti itu. Biasanya aku suka sekali dipanggil Fa, tapi sepertinya tidak untuk pagi ini.

“Oke, aku ngaku deh. Beberapa hari ini aku memang begadang. Tapi bukan berarti aku mengabaikan tugas-tugas di biro kita.” Aku tahu, jawabanku sama sekali bukan defense yang baik.

Please, Fa. Sejak awal kita punya komitmen untuk bersama-sama menjalankan biro ini. Aku kenal kamu sudah lebih dari lima tahun. Aku percaya kamu, Fa. Tapi aku juga nggak bisa kerja sendirian. Dan sebulan ini aku benar-benar kerja sendirian!”

Dengan kata lain, Amanda ingin bilang kalau aku sama sekali tidak bisa diandalkan. Dia tak akan mengeluarkan kalimat sarkasme macam itu, tapi aku cukup punya hati untuk memahami permintaannya.

“Fa, sebenarnya ada apa sih? Kamu bahkan merahasiakan kasus si klien itu kan. Kalau memang kamu nggak sanggup, kan aku bisa bantuin. Ingat Fa, psikolog juga nggak selamanya kuat menampung masalah seorang diri.”

Ya, aku paham benar dengan hal itu. Tapi aku tak bisa menyampaikan padamu. Belum, lebih tepatnya. Suatu saat nanti aku pasti akan cerita padamu, Amanda.

Aku tersenyum,”Nggak ada apa-apa kok, Nda. Kasusnya aman-aman saja. Sekarang masih tahap asesmen awal. Tapi emang rada berat sih, makanya aku jadi sering begadang.”

“Ya sudah. Kalau emang kamu ngerasa nggak sanggup, jangan dipaksakan. Aku siap bantuin kok. Kan emang sudah komitmen kita dari awal.”

Amanda merebahkan dirinya di sebelahku. Ada sesuatu yang ia rogoh dari dalam saku,”Aku tadi beli cokelat kesukaanmu. Biar mood kamu rada baik deh.”

Sebelum aku bisa meraih cokelat itu, Amanda dengan tangkas mengatupkan jemarinya. Ia mencondongkan tubuh ke arahku dan berkata lirih,”Fa, bukan soal trauma itu kan?”

*****

Malam belum begitu larut, baru pukul sembilan. Tapi mataku seperti digelayuti oleh sebuah godam. Terhuyung-huyung aku berjalan menuju kamar. Tatapanku kosong ke arah tempat tidur.

Ibu! Kenapa ibu bisa ada di kamarku? Bukankah ibu sudah…Ah! Apa aku sudah gila?

Pikiranku sepertinya sedang tak sehat. Aku melihat ibu berbaring lemah di tempat tidur. Berkali-kali aku mengucek mata, tetap saja sosok itu masih ada. Perlahan aku mendekat. Jelas sekali, sosok ibu sedang tertidur pulas, tapi dengan tubuh yang tergolek lemah. Aku tak yakin ini nyata, tapi mataku rasanya masih normal-normal saja. Sekali lagi kupastikan, kupejamkan mata beberapa detik… Saat kubuka mata, sosok itu menghilang!

Napasku tiba-tiba memburu. Tetesan keringat dingin jatuh di wajahku. Aku meraih apa saja yang bisa kujadikan tempat bersandar. Aku terduduk memeluk kedua lutut, dengan napas tersengal dan wajah penuh peluh. Kesadaranku seperti diangkat ke udara!

*****

Silau. Mataku tepat menghadap jendela. Tiba-tiba aku melonjak dan terduduk! Aku memegang seluruh anggota tubuh, mulai dari kepala hingga kaki. Seperti orang sinting, aku berteriak.”Aku hidup! Aku masih hidup!”

Teriakanku buyar saat menyadari kalau sedari tadi aku diamati oleh sesosok perempuan. Ya, Amanda ternyata berada di apartemenku.

Kali ini, wajahnya memandangku dengan amat sangat prihatin.”Somnifobia*, Fa. Kenapa kamu nekat menerima kasus ini, Fa? Kenapa kamu tidak bilang ke aku soal ini? Kamu mau mati gara-gara kasusmu sendiri? Maaf kalau aku lancang. Tadi aku memeriksa dokumen kasus di meja kerjamu. ”

Amanda seperti rentetan peluru yang siap menyerbuku sepagi ini. Oh maaf, sekarang sudah siang, bukan pagi.

“Aku panik, Fa. Sudah jam 9, tapi kamu nggak datang ke biro. Ponselmu juga nggak aktif. Akhirnya aku datang ke sini. Dan dugaanku ternyata tepat.”

Aku masih belum bisa mencerna semua kejadian ini. Sosok ibu, aku terduduk dan tak sadar, hingga kehadiran Amanda. Semuanya terjadi begitu cepat.

“Fa, bersihkan dulu tubuhmu. Setelah itu kita bicara di depan ya.” Amanda membereskan kamarku yang acak-acakan. Sementara aku berjalan lunglai ke arah toilet.

*****

“Maafkan aku, Nda. Aku emang nekat sewaktu menerima kasus somnifobia. Ini semacam pertaruhan kemampuanku sebagai ahli terapi fobia.”

“Tapi tidak ada yang perlu kamu pertaruhkan, Fa. Kamu melakukan sesuatu yang membahayakan jiwamu. Sebagai orang yang paham soal riwayat fobiamu, aku sungguh khawatir dengan kenekatanmu ini.”

Hmm, baiklah. Kau belum mengenalku kan? Aku Fabio, seorang psikolog bidang klinis yang mengkhususkan diri dalam terapi fobia. Kau tahu? Profesiku menjadi semacam arena perang batin, karena aku harus melawan ketakutanku sendiri. Aku punya fobia yang tak lazim, pernah punya lebih tepatnya. Aku takut tidur.

“Nda, kamu tahu kan kalau aku sudah sembuh. Sudah bertahun-tahun aku bisa tidur nyenyak. Jadi apa salahnya kalau aku mengambil kasus ini? Hitung-hitung membantu orang lain yang pernah senasib denganku.”

Amanda menghela napas panjang “Fobia tidak bekerja dengan asas pernah atau tidak pernah, Fa. Aku yakin kamu paham soal itu. Stimulus, Fa. Sekali kamu terpapar oleh stimulus fobia, saat itu semua memori burukmu bisa bangkit kembali. Dan itulah yang terjadi pada dirimu sekarang.”

Oke, apa rasanya saat kau menyaksikan beberapa kematian dengan mata telanjang? Parahnya, kau kehilangan orang-orang terdekatmu saat mereka tertidur. Aku mengalami semuanya. Ibu dan Ayahku ditembak saat mereka tidur. Adikku meninggal saat ia tidur. Paman dan bibiku juga wafat saat tertidur. Kata orang mereka meninggal karena asma, aku pun tak tahu pastinya. Bagiku, semua sebab kematian mereka sama saja. Mereka pergi saat tidur. Sejak itu, aku tak pernah lagi akrab dengan aktivitas tidur, bahkan sangat menghindarinya.

“Nda, sejak menangani kasus itu, memori burukku bangkit kembali. Bahkan aku tak mampu lagi menguasai pikiran yang muncul. Semua hal buruk soal tidur seperti hantu di kepalaku. Kadang aku berhalusinasi, seperti kejadian tadi malam.”

Amanda menggenggam tanganku,”Kamu tak perlu takut lagi, Fa. Saat kau tidur, aku akan di sampingmu. Saat kau terbangun, akulah yang akan kau lihat pertama kali. Nah, sekarang tidurlah dulu. Tubuhmu terlihat letih sekali. Biar aku siapkan makan malam untukmu.”

Lagi-lagi, hanya senyuman yang bisa kuberikan untuk kebaikan Amanda. Pikiran buruk kembali menjadi momok saat aku hendak tidur. Tapi Amanda bagaikan malaikat, dialah yang menjadi kekuatanku melawan semua ketakutan ini.

Sayangnya, aku terbangun dalam dunia yang berbeda dari Amanda. Dimensiku telah berubah!

*takut/fobia terhadap tidur

@yudikurniawan27

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun