Tua itu pasti, dewasa itu pilihan.
Ternyata tagline iklan ini bukan sekadar pemanis produk. Coba perhatikan lingkungan sekitar kita, ada berapa banyak orang yang tua secara usia biologis tapi masih bersikap kekanak-kanakan? Sikap kekanak-kanakan bisa muncul dalam bentuk tidak mau bertanggung jawab, tidak punya prinsip, atau takut menghadapi masa depan. Seorang teman (usia 24 tahun) pernah cerita pada saya, dia sangat khawatir tentang masa depan setelah lulus kuliah. Oleh karena itu, dia membuat keputusan dengan memperlama masa studi hingga tiga tahun lebih lama daripada waktu normal. Dia merasa belum siap memikul tanggung jawab jika harus segera lulus dan bekerja. Sayangnya, waktu tiga tahun tidak dia gunakan dengan baik. Aktivitasnya lebih banyak dihabiskan di kos dan dia pun menerima surat peringatan dari fakultas. What’s wrong with him?
Dalam dunia psikologi, ada dua sindrom yang terkait dengan kedewasaan, yaitu Peter Pan Complex dan Cinderella Complex. Keduanya memang terinspirasi dari dongeng Peter Pan dan Cinderella. Peter Pan, dalam kisah yang ditulis oleh James M. Barrie, adalah bocah lelaki yang selamanya menjadi anak-anak (baik fisik maupun psikologis). Sementara Cinderella adalah dongeng tentang gadis yang disiksa oleh ibu tirinya dan dia sangat mendambakan kehadiran penyelamat dalam wujud seorang pangeran tampan. Lalu bagaimana kondisi psikologis orang yang mengalami Peter Pan dan Cinderella Complex?
Mari kita bahas Peter Pan Complex terlebih dahulu. Sindrom ini sebenarnya bisa menyerang pria dan wanita, tapi kasusnya lebih banyak terjadi pada pria dewasa. Peter Pan Complex adalah ketidakmampuan seseorang untuk tumbuh dewasa secara psikologis. Durand dan Barlow (Intisari Psikologi Abnormal, 2007) sedikit menyinggung Peter Pan Complex dalam kasus kepribadian. Menurut mereka, orang dengan sindrom tersebut memiliki hambatan untuk menjadi dewasa. Secara psikologis, kedewasaan ditandai dengan kemampuan mengambil keputusan, memahami identitas diri, bisa berempati, inisiatif, mandiri, berani bertanggung jawab, dan bisa mengontrol emosi.
Beberapa gejala utama sindrom ini seperti: sangat tergantung hingga hal-hal kecil pada orang lain/pasangan, emosi labil, daya juang sangat rendah, sulit berkomitmen, manipulatif, tidak bertanggung jawab dan tidak mau dikritik, dan terlalu mencintai diri sendiri. Perlu dicatat bahwa American Psychiatric Association (APA), selaku badan yang selama ini menjadi rujukan penentuan diagnosis gangguan kejiwaan di seluruh dunia, belum memasukkan Peter Pan Complex ke dalam klasifikasi gangguan mental. Jadi, gejala tersebut berdasarkan kasus-kasus yang selama ini dihadapi oleh para ahli kesehatan mental. Jika Anda menemukan kenalan yang memiliki gejala Peter Pan Complex, jangan langsung menjustifikasinya. Perlu diagnosis lebih dalam oleh Psikolog atau Psikiater. Pengetahuan tentang gejala berguna sebagai informasi awal untuk mengenal sindrom ini.
Sekarang kita beralih pada Cinderella Complex. Sama seperti dongeng Cinderella, wanita dengan sindrom ini takut mandiri dan sangat berharap ada sosok lelaki yang bisa melindunginya dalam semua hal. Mereka sangat mengharapkan kehidupan yang secure dan ideal seperti dalam dongeng. Gejalanya juga hampir sama dengan Peter Pan Complex. Wanita dengan Cinderella Complex amat sangat tergantung dengan pasangannya. Mereka inginnya hanya dilayani, atau dalam istilah psikologis disebut dengan conditional positive regard (cinta bersyarat).
Apa yang Menyebabkan Peter Pan dan Cinderella Complex?
Kedua sindrom tersebut akar masalahnya terjadi saat masa kanak-kanak. Faktor utama yang sangat berpengaruh adalah pola asuh orang tua. Baik Peter Pan dan Cinderella Complex bisa terjadi dari pola asuh yang terlalu permisif atau terlalu keras/otoriter. Anak yang terlalu dimanja, semua keinginannya terpenuhi, dan tak pernah belajar bertanggung jawab, cenderung tumbuh menjadi manusia yang tidak mandiri dan rapuh. Contoh sederhana saja misalnya saat anak melakukan kesalahan, kemudian orangtua menimpakan kesalahan pada benda-benda di sekitarnya. Pola seperti itu hanya akan memperkuat skema di pikiran anak kalau dia tidak pernah salah. Alangkah baiknya jika orang tua menjelaskan kesalahan anak dan bagaimana dia harus memperbaikinya.
Sebaliknya, anak yang tumbuh dengan kekerasakan (fisik dan psikologis) juga berpotensi mengalami Peter Pan dan Cinderella Complex. Trauma yang mereka alami menimbulkan kekhawatiran tentang masa depan. Khusus pada wanita, pada saat inilah mereka berharap datangnya pangeran penyelamat. Hati-hati terhadap kasus bullying di dalam keluarga. Orang tua kadang tak sadar telah melakukan kekerasan verbal pada anak. Misalnya saja mengatakan anak “bodoh” saat nilai sekolahnya di bawah standar. Atau orang tua selalu membanding-bandingkan prestasi kakak dan adik di sekolah. Sikap seperti itu bisa menimbulkan rasa rendah diri dan tidak nyaman dalam diri si anak.
Sikap manja dan tidak mandiri membuat orang dengan Peter Pan/Cinderella Complex mencari pasangan yang mampu mengayominya. Biasanya, pasangan mereka secara usia jauh lebih tua. Mereka mengharapkan figur yang bisa memenuhi semua kebutuhan psikologisnya. Nah, masalah timbul kalau kedua orang dengan sindrom ini bertemu dan menikah. Seringkali karakter asli seseorang belum terlihat di masa pacaran. Setelah menikah, barulah mereka tahu kalau pasangannya masih kekanak-kanakan. Tidak jarang, pernikahan mereka berujung dengan perceraian.
Orang yang terlalu cepat berganti pasangan setelah putus cinta kemungkinan besar memiliki salah satu ciri Peter Pan/Cinderella Complex (bisa jadi punya pasangan baru hanya dalam rentang beberapa minggu setelah putus). Sikap tersebut menunjukkan sisi emosional yang berlebihan dan ketakutan untuk sendiri. Mereka cenderung sangat tergantung pada orang lain dan ingin mendapatkan perlindungan secara psikologis.
Adakah Upaya Preventif untuk Peter Pan dan Cinderella Complex?
Ada! Dan upaya itu harus dilakukan sejak usia dini. Peter Pan dan Cinderella Complex sejatinya merupakan karakter seseorang hasil dari pengasuhan yang keliru. Tanamkan kemandirian pada anak sejak dini, lalu berikan apresiasi atas prestasinya. Cara ini efektif untuk meningkatkan rasa percaya diri anak. Kemandirian tidak harus dilakukan saat anak sudah beranjak remaja. Misalnya, anak usia 3 tahun bisa diajarkan mengembalikan dan merapikan sendiri mainannya. Semakin dini anak belajar, semakin lekat pula kebaikan dalam dirinya.
Berikan reward dan punishment yang seimbang. Agar anak tumbuh menjadi orang bertanggungjawab, maka mereka harus diajarkan berkomitmen terhadap pilihannya. Secara psikologis, komitmen sudah bisa diajarkan sejak usia 5-6 tahun. Pada usia ini, anak biasanya mulai tertarik pada satu hal, yang bisa berkembang menjadi hobi. Berikan pujian untuk setiap tahap perkembangan yang dilalui anak. Tapi jika mereka melakukan kesalahan, berikan teguran. Ingat, hukuman tidak harus dalam bentuk kekerasan.
Ajarkan anak untuk menghadapi realita hidup. Tidak semua permintaan anak harus dipenuhi. Jika orang tua memang sedang tidak memiliki uang, berikan penjelasan kalau permintaannya bisa dipenuhi di lain waktu. Biarkan anak belajar menghadapi masalahnya. Contoh sederhana ketika misalnya anak mengerjakan tugas keterampilan dari sekolah. Biarkan anak mengerjakan semampunya, meskipun hasilnya (menurut orang dewasa) tak sebagus jika dibuat oleh orang tuanya. Dulu saat saya masih SD, banyak hasil keterampilan teman yang dibuatkan oleh kakak atau orangtuanya. Soalnya tugas itu memang dikerjakan di rumah.
Nah ini hal paling penting, pola pengasuhan dari orang tua harus konsisten. Maksudnya, saat ayah berkata A, ibu pun sebaiknya berkata A. Seringkali anak menangkap nilai dan pengasuhan berbeda dari ayah ibunya. Misalnya, ayah melarang anak untuk mencontek saat ujian, sementara ibu membiarkan saja dengan alasan si anak belum sempat belajar di rumah. Pertentangan nilai seperti ini bisa berdampak serius pada perkembangan psikologis anak. Mereka tumbuh menjadi manusia yang bingung dan tak punya prinsip. Ujung-ujungnya, ketika dewasa, mereka tak berani memutuskan sendiri nasibnya.
Jadi, dewasa itu memang sebuah pilihan kan?
@yudikurniawan27
Referensi Buku: Durand, V. Mark dan David Barlow. 2007. Intisari Psikologi Abnormal (Penerjemah: Helly P. Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.