Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Black Lives Matter dan Perlawanan Pesepakbola Papua terhadap Rasisme

9 Juni 2020   15:38 Diperbarui: 9 Juni 2020   17:02 312 5
Dunia sepak bola ikut mengirim pesan solidaritas untuk kematian George Floyd, dari aksi langsung di Bundesliga Jerman hingga klub- klub di Eropa lainnya mengampanyekan tagar #BlackLivesMatter, slogan ini lahir sejak 2013 lalu sebagai perlawanan terhadap rasisme.

Skandal pembunuhan pria kulit hitam bernama George Floyd oleh empat aparat berkulit putih dari Kepolisian Minnesota, memicu unjuk rasa besar termasuk kerusuhan di Amerika Serikat. Tragedi ini menyulut solidaritas dari dunia olahraga, khususnya sepakbola. Dari lapangan hijau, protes dilakukan menuntut keadilan.

Hingga awal Juni ini, gerakan Black Lives Matter mulai menguat ke berbagai negara dengan melakukan aksi demonstrasi menuntut keadilan untuk Floyd, sekaligus mengutuk sikap rasisme ke orang kulit hitam, juga merebak di Inggris. Ribuan orang turun ke jalan-jalan di London, Bristol, Glasgow, dan Edinburg.

***

Membela Floyd itu bagus, tapi jangan lupakan bahwa di negeri kita sendiri sikap rasis masih selalu ditunjukkan kepada pesepakbola di Indonesia. Kenapa hanya di sepakbola? Karena saya hanya seorang suporter bola yang ruang lingkupnya ya di sepakbola. Terpenting, ayo lakukan gerakan yang sama untuk saudara-saudara Papua kita!

Seperti misalnya yang dialami oleh Persipura Jayapura di Liga Indonesia. Klub yang mayoritas dihuni oleh pesepakbola asli Papua itu kerap menyita perhatian publik karena mendapat perlakukan rasis. Sudah banyak kali teriakan monyet dan penghinaan yang selalu diterima tim Persipura baik dalam pertandingan di lapangan maupun saat berlatih dan uji coba lapangan.

Rasisme dalam sepak bola memang sangat dilarang di era sepak bola Industri saat ini, tetapi masih saja terjadi di sepakbola Indonesia. Ungkapan penghinaan terhadap pemain Persipura selalu dibalas dengan kemenangan yang datang dari doa dan dukungan semua orang Papua.

Apa yang yang menimpa skuat Persipura di Liga Indonesia adalah contohnya. Kalau kejadian rasial dibiarkan dan pelaku tetap bisa berada di stadion bukankah sudah membiarkan rasisme menang?

FIFA, sebenarnya sudah sejak lama melakukan kampanye anti-rasisme. Lewat slogan "Let's Kick Racism Out of Football". Hal itulah yang membuat banyak kapten tim eropa yang memakai ban kapten bertuliskan "unite against racism".

Kasus rasis di sepak bola memang sering terjadi dan sudah sejak lama terjadi. Konflik ras, suku, politik, hingga etnis yang seringkali  terjadi memang bisa jadi latar belakang kejadian rasis di dalam olahraga yang menjadi favorit segala umat.

Kasus yang menimpa para pemain bola asal Papua bukan saja sejak era sepak bola industri saat ini, namun telah mereka terima sejak 1990-an kerap mendapat sindiran rasialis. Bahkan dalam sebuah pertandingan mereka sempat mendapat lemparan kulit pisang saat bertanding.

Sulit memang untuk membedakan antara lapangan bola dan kebun binatang. Penghinaan yang luar biasa dihadapi pemain-pemain berkulit hitam di Negara Kesatuan Republik Indonesia(NKRI) yang bersemboyan Bhinneka Tunggal Ika.

Pada Agustus 2019, legenda sepak bola Indonesia asal Papua, Boaz Theofilius Erwin Solossa atau yang kerap disapa Boaz Solossa sempat menyinggung kedudukan seseorang lewat pertanyaan satire dengan perumpaan monyet dan manusia. Boaz menanyakan pihak mana yang lebih patut dihargai.

Boaz sempat mengunggah sebuah postingan di story instagram pribadinya "Lebih terhormat mana? 1. Monyet cari ilmu di rumah manusia atau 2. Manusia cari makan di rumah monyet?".

Unggahannya kala itu sempat viral namun dihapus. Kekesalan Boaz ini dipicu karena adanya insiden pengepungan asrama mahasiswa Papua di Surabaya pada bulan tersebut.

Pasalnya, pelaku rasisme acap tak mendapat hukuman yang tegas. Padahal, untuk menghentikan praktek rasisme, dibutuhkan penegakan aturan yang tidak pandang bulu dan keberpihakan. Tak perlu takut dianggap kejam atau kelewat batas. Toh, tindakan dari para pelaku rasisme juga sudah berlebihan dan tak manusiawi.

Pada akhirnya catatan saya ini, Ada kemiripan antara kasus George Floyd di AS dan orang Papua di Indonesia: sama-sama menjadi korban rasisme sistemik yang mengarah pada kekerasan itu umumnya dilakukan oleh aparat negara.

Tak mengapa bila kesadaran atas rasisme terhadap orang Papua baru bisa "meledak" oleh karena dipantik kasus rasisme di luar negeri. Belum terlambat bagi kita untuk menyeruakan isu anti-rasisme saat ini dan bersolidaritas bagi pesepakbola asal Papua atas nama kemanusiaan. ***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun