Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Fenomena Alergi Agama

29 Maret 2010   00:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:08 322 0
‘Huaaachhiiiy...!', anda termasuk alergi dingin? Itu berarti anda harus hati-hati bila berinteraksi dengan dingin, pakai baju tebal, jaket atau tidak keluar malam bila tak perlu. Atau anda akan memilih untuk berlama-lama di udara dingin hingga anda menderita pilek atau flu, atau hingga anda justru menjadi terbiasa dengan dingin hingga tidak alergi lagi, sebagaimana orang-orang Eskimo sudah terbiasa dengan salju.

Mungkin ada yang alergi dengan ilmu eksakta seperti matematika atau fisika. Teman sekolah saya dulu selalu menderita insomnia setiap kali keesokan harinya ada pelajaran tersebut. Bahkan ada yang setiap berlangsung pelajaran tertentu harus menderita mimisan, entah ada atau tidak ada hubungannya dengan penderitaan batinnya akibat pelajaran itu.

Tidak mustahil pula ada yang alergi dengan ilmu sosial, budaya, politik atau bahkan entertainment. Dan yang ini, tokoh utama dalam tulisan ini, adalah yang alergi dengan agama. Dengan apapun yang bersangkutpaut dengan agama. Dari istilah surga, neraka, kitab suci, utusan Tuhan dan bahkan Tuhan itu sendiri. Yang alergi dengan ini, tidak bereaksi dengan bersin atau mimisan, namun lebih melibatkan emosi, sentiment dan amarah. Mungkin secara fisik bisa melibatkan kacaunya debar jantung, keringat dingin atau naiknya tekanan darah. Karenanya, kita harus memiliki sense of toleransi lebih dalam menghadapi kelompok ini.

Kelompok yang alergi dengan agama ini lambat laun memiliki jaringan yang semakin luas, dalam bentuk Liberalisasi Agama. Meski wajah mereka ini ada di setiap kurun waktu sepanjang sejarah manusia, namun yang patut diperhatikan kelompok ini selalu eksis dan laris di setiap zaman. Yah, minimal ini menandakan adanya kecenderungan manusia menuju pembelajaran atas eksistensinya sebagai salah satu komponen kehidupan di dunia ini.

Liberalisme terhadap agama ini berangkat dari kegelisahan mereka terhadap setidaknya dua hal pokok: yaitu fenomena kesenjangan antara agama dan moral pemeluknya, dan memburuknya citra para pemeluk agama. Kedua hal pokok tadi memang merupakan fakta yang harus kita akui. Kedua hal ini lah yang mengakibatkan kelompok ini menjadi frustasi dan putus asa terhadap agama. Mereka mengambil kesimpulan bahwa agama telah dijadikan topeng sekaligus telah ‘diperalat' oleh para pemeluknya untuk memperoleh kepentingan hawa nafsunya. Menurut mereka, orang-orang yang mengaku beragama adalah orang-orang munafik yang ‘pura-pura' soleh.

Sampai sejauh ini, dalam beberapa hal mungkin kita bisa sepakat dengan penilain mereka, meski penilaian mereka terhadap agama terlihat terlalu skeptik dan terlampau men-generalisir. Berbagai kesimpulan mereka di atas tadi barulah awal dari latar belakang pemikiran mereka secara utuh. Sikap frustasi dan keputusasaan mereka kemudian menggiring kesimpulan mereka ke arah yang lebih ekstrim lagi. Menurut mereka, agama yang seharusnya merupakan komponen yang sakral dan suci, ternyata gagal ‘menuntun' para pemeluknya menuju insan kamil yang merupakan dambaan ideal setiap agama. Lebih jauh lagi, mereka menuding bahwa Tuhan dan agama adalah lambang kegagalan dan kebobrokan peradaban umat manusia.

Bila kita mencoba memposisikan diri untuk lebih netral, mungkin tidak berlebihan bila kita sebut bahwa proses pemikiran mereka adalah sebuah pencarian. Sebuah pembelajaran. Salah satu tahap dari sebuah rangkaian perenungan yang panjang dalam mencari jati diri kemanusiaan mereka. Jati diri mereka dihadapan Sang Pencipta yang bahkan mereka sendiri sangsikan.

Setiap manusia memang memiliki potensi untuk mengingkari Tuhan. Namun kita harus ingat, manusia memiliki fitrah suci yaitu ketika mereka memposisikan diri sebagai hamba Tuhan dan mengakui kekuasaan dan keagungan-Nya sepenuh hati. Seperti pencarian yang dilakukan oleh seorang Ibrahim, yang sempat menyangka bahwa matahari, bulan, bintang adalah Tuhan, namun ia segera kembali ke fitrahnya, kembali kepada Sang Penciptanya dengan penuh penyerahan dan ketaatan kepada-Nya.

Namun yang sangat disayangkan, bila akhir perenungan mereka bermuara pada pengingkaran terhadap agama dan Tuhan. Pengingkaran terhadap Sang Pencipta tidak dapat dilakukan tanpa kesombongan. Dan kesombongan inilah yang menguasai mereka; keyakinan bahwa akal mereka mengalahkan segalanya, kecerdasan mereka dapat mengalahkan ‘kebisuan' Tuhan, menuhankan kemanusiaan mereka tanpa batas. Mereka akan dengan bebas memberi status untuk Tuhan dan wahyu semau mereka, tanpa mau mengakui keterbatasan akal mereka. Mereka menuding orang sok suci, namun mereka sendiri merasa memegang kendali kesucian atas nama liberalisme. Tidak pelak lagi, mereka terjebak dalam eksklusifisme mereka sendiri.

Apakah akal manusia yang hebat itu bisa mengetahui kapan ajal akan menjemputnya? Di bumi mana kita akan mati? Setelah mati, kemana kita akan meminta belas kasihan? Bisakah kita menciptakan tempat lain di hari akhir selain surga dan neraka? Apakah udara yang kita hirup detik ini adalah hasil ciptaan kita? Apakah kita yang berkuasa membuat jantung ini tetap berdenyut? Tidakkah manusia akan berlari ketakutan saat dilanda bencana alam? Kepada siapa kita akan memohon belas kasihan di saat lapang dan sempit? Lalu kita akan menyeru Tuhan sebagai sesuatu yang harus dijauhi? Menuding agama dan wahyu dari Tuhan sebagai sesuatu yang menjijikkan? Bisakah kita menciptakan sendiri tempat yang aman untuk menyembunyikan wajah kita yang penuh dosa ini di hari akhir nanti? Sebegitu hebatnyakah kita? Manusia-manusia kecil yang congkak ini?

Saya tidak bermaksud memojokkan kelompok tertentu, baik yang merasa alergi dengan agama ataupun yang merasa tidak alergi dengan agama. Kita semua sama-sama manusia. Saya yang menulis inipun dalam tahap pembelajaran dan sangat tidak luput dari salah. Namun jangan sampai kecongkakan dan sikap mendewakan diri sendiri menjerumuskan kita pada arogansi keputusasaan yang ekstrim menuju kekosongan dari nilai kemanusiaan itu sendiri. Salam Kompasiana.

***

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun