Benarkah saat kita sedang duduk disini, membaca artikel ini, kita benar2 terlepas dari tudingan bahwa kita koruptor? Apa yang selama ini telah kita lakukan yang bisa menjamin keterlepasan itu?
Siapakah kita? Seorang remaja, anak, ayah, ibu, suami, istri, pelajar, mahasiswa, pengangguran, pengusaha, karyawan, pegawai, pemimpin, pejabat, bagian dari masyarakat dan lingkungan, makhluk ciptaan Tuhan? Semuanya ada di posisi "panas". Semuanya punya peluang yang relatif sama untuk berstatus koruptor.
Seorang remaja, pelajar, mahasiswa yang mengkorupsi amanah uang dari ortu dan mengkorupsi hak kesehatan mereka sendiri dengan ‘make' narkoba dan miras, bergaul bebas, atau hura-hura sepanjang waktu.
Seorang anggota keluarga yang melalaikan dan mengkorupsi hak-hak anggota keluarga yang lain atas dirinya. Ibu yang membunuh bayinya, ayah menghamili anaknya, suami yang menghabiskan uang untuk judi atau suami yang men-‘smackdown' istrinya.
Seorang pegawai yang mengkorupsi jam kerjanya untuk hal sia-sia, pemimpin yang menerima sogokan, atau pejabat yang tidak kepalang tanggung korupnya.
Seorang anggota masyarakat yang mengkorupsi hak anggota masyarakat yang lain. Selingkuh dengan suami atau isteri tetangga, sampai pada tawuran antar warga.
Seorang yang korup dengan lingkungannya, buang limbah dan tebang pohon semaunya. Dari buang sampah sembarangan sampai dengan buang bom sembarangan.
Seorang makhluk ciptaan Tuhan yang korup atas hak Tuhannya, tidak pernah bersyukur, lalai dari perintah-Nya, dan berasyik-ria dengan larangan-Nya.
Semuanya bermuara pada nafsu jahat dan hal-hal duniawi yang bersifat materi. Nafsu dan materi yang sifatnya sementara itu ternyata menggiurkan bagi siapapun. Tidak pandang bulu. Seseorang rela membunuh hanya untuk memperkosa. Kenikmatan sesaat yang dibayar mahal oleh martabat kemanusiaannya. Atau seseorang rela merampas untuk menumpuk-numpuk kekayaannya. Yah, semoga ia punya banyak waktu untuk menikmati kekayaannya, minimal di dunia ini. Kecuali kalau keburu kiamat atau dicabut nyawanya, ini bakal jadi ironi yang menyakitkan.
Saya dan kita, sebagai makhluk yang berpeluang luas menjadi koruptor, karena mudah tergiur dengan nafsu jahat dan materi, sudah seyogyanya punya sebuah harapan. Harapan kita tentu bukanlah bagaimana bisa korupsi tanpa ketahuan, karena Tuhan Maha Tau. Harapan kita tentu juga bukan mendapatkan materi dengan cara menindas hak-hak orang lain.
Harapan kita seyogyanya cukup sederhana, tapi penting artinya dan besar nilainya. Harapan untuk bisa memperbaiki diri. Meminimalisir "peran koruptor" kita masing-masing menuju kesadaran yang lebih baik tentang siapa kita, tentang apa hak dan kewajiban kita dan tentang betapa fana-nya dunia tempat persinggahan kita ini.
Salam Kompasiana.