Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Doa dalam Pusaran Politik

23 Februari 2019   21:41 Diperbarui: 23 Februari 2019   22:43 56 0
Setelah doa yang tertukar, kini ada doa yang mengancam. Meski konteksnya berbeda, keduanya memiliki kesamaan, yakni ada dalam lingkup wilayah politik. Tulisan ini tidak hendak menjadi tafsir atas urusan vertikal tersebut, karena keterbatasannya. Justru hal menarik dalam kondisi kekinian adalah melihat bagaimana komunikasi religiusitas masuk menyusup ke ruang publik, yakni panggung politik.

Politik domestik tidak pernah lepas dari warna keagamaan, sebagian pengamat berbicara tentang politik identitas. Hal itu sudah berlangsung sejak lama, bahkan sejak awal rintisan kemerdekaan dengan kemunculan Sarekat Dagang Islam. Jadi meninggalkan basis identitas keagamaan dalam kancah politik lokal adalah hal yang mustahil.

Bahkan pada periode permulaan pasca kemerdekaan, Presiden Soekarno menginisiasi Nasakom sebagai identifikasi kekuatan kehidupan kebangsaan. Periode transisi orde lama ke orde baru, merumuskan struktur fundamental baru dari sendi kekuatan politik bangsa yakni agama dan nasionalisme, sementara komunisme resmi dinyatakan terlarang.

Bersamaan dengan berkembangnya orde baru, wajah politik mengalami perubahan, dari keberagaman menjadi keseragaman. Representasi agama dipisah dari keterhubungannya pada dunia politik, meski tetap dimunculkan melalui simbolisme partai politik Islam yakni PPP, tetapi kekuasaan orde baru sangatlah hegemonik tanpa terbantahkan, hingga menumpulkan narasi berbeda, proses depolitisasi tertanam di benak publik.

Lantas, pernyataan legendaris itu muncul, "Islam Yes, Partai Islam No" semakin menegaskan bahwa asas tunggal Pancasila dengan paradigma stabilitas pembangunan telah menjadi bagian integral dari kehidupan sosial politik saat itu. Tiba pada masa kejatuhan orde baru dan fase reformasi, euforia kebebasan menghasilkan begitu banyak barian politik, termasuk pula dinamika partai-partai berbasis agama, tidak hanya Islam kala itu.

Waktu berlalu hingga hari ini, partai berbasis identitas yang memiliki kemampuan survival politik dalam kompetisi yang tinggi, menyisakan partai-partai Islam. Meski terkadang tidak dinyatakan secara terbuka, partai-partai tersebut memiliki afiliasi pada kelompok ormas Islam di tanah air, seperti NU dan Muhammadiyah. Lalu politik berbasis identitas lainnya melebur ke berbagai kanal partai lainnya, fusi alamiah terjadi.

Realitas Politik Identitas

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun