Kira-kira begitulah posisi kita dalam kehendak terintegasi pada kerangka kerjasama negara-negara Trans Pasific Partnership (TPP). Salah satu hasil kunjungan Presiden ke Amerika adalah statement mengenai ketertarikan untuk bergabung dengan komitmen free trade agreement dikawasan Pasific.
Polemik kemudian muncul silih berganti. Persoalan TPP secara geopolitik sesungguhnya dapat diartikan sebagai upaya negeri Obama, untuk membangun konstelasi poros baru diluar kekuatan ekonomi Cina yang seiring waktu mulai menunjukkan dominasi dikawasan Asia.
Lalu, bagaimana seharusnya kita menempatkan diri? Benarkah kritis posisi lemah Indonesia hanya akan menempatkan negara ini hanya sebagai kumpulan pasar dalam jumlah besar?.
Sesungguhnya terdapat beberapa klausul yang harus disepakati dalam keikutsertaan Indonesia di TPP nantinya, mulai dari persoalan tarif, pelonggaran regulasi investasi serta berbagai turunan perjanjian perdagangan bebas.
Konsekuensi logis yang terjadi dalam sebuah pilihan adalah dampak positif dan negatif yang dihasilkan. Kemampuan untuk melakukan analisa benefit and loss memang perlu dilakukan, tetapi menutup diri tentu juga bukan merupakan sebuah pilihan diera ekonomi terbuka yang saling terhubung disebut sebagai globalisasi. Jadi bagaimana resolusinya?.
Prasangka dan Added Value
Dalam sebuah penelitian di Universiy of Michigan, diketahui bahwa hampir sekitar 60% kekhawatiran yang kita asumsikan sesungguhnya tidak pernah terjadi, dan porsi kekhawatiran tersebut akan menyedot dan menghabiskan 95% energi yang kita miliki.
Oleh karena itu, jebakan prasangka harus dipisahkan antara fakta dan opini. Ekonomi terbuka hanya akan memberikan peluang bila kita memiliki strategi dalam kesiapan menghadapinya. Hal tersebut bisa menjadi bahan evaluasi nasional untuk menguatkan sektor unggulan.
Siasatnya adalah: menyerang!!! Tidak akan pernah suatu pelajaran akan paripurna bila tidak terdapat ujian yang dilalui, tapi penuh perhitungan adalah sebuah kewajiban. Menangkap peluang diluar pasar lokal, harus dibarengi dengan penguasaan market domestik, karena Indonesia is a big number.
Ketertarikan untuk terlibat di TPP, sebaiknya dimaknai secara positif dalam aspek perluasan pasar. Masalah internal yang harus diperbaiki adalah penguatan daya saing dengan menciptakan added value, tidak lagi semata bermain difaktor kompetitif sumberdaya alam tetapi memiliki kompetensi bersaing ditingkat dunia.
Dalam kerangka kerja pemerintah, maka domain deregulasi dan debirokratisasi menjadi hal yang dibutuhkan memangkas inefisiensi biaya yang disebabkan perilaku koruptif dari meja ke meja pada jalur birokrasi. Hal ini yang perlu mendapatkan perhatian. Tercatat hingga Juli 2015 terdapat 482 kasus korupsi ditingkat elit.
Meski demikian, perbaikan juga nampak mulai dilakukan. Kondisi ini terlihat dari rilis atas persepsi kemudahan berbisnis di Indonesia hasil survey Bank Dunia, dimana Indonesia mengalami peningkatan dari peringkat 120 (2015) menjadi 109 (2016) dari 189 negara. Indikator kemudahan bisnis mulai terlihat, meski belum menyentuh problem utama ditingkat stimulus berbisnis.
Sektor swasta dan BUMN harus mampu bersaing dalam skala pentas global. Karena peluang itu akan selalu terbuka, meski mengandung banyak tantangan didalamnya. Bagi pihak yang optimis, maka pesawat terbang adalah sebuah hal realistis, sementara dalam sudut pandang pesimis maka pelampung menjadi cadangan keamanan, toh keduanya saling bersimbiosis.
Pemerintah harus berhitung cermat dan cerdas. Hindari prasangka berlebih, karena dunia terus berubah, dan kita tidak bisa berdiam dalam arus perubahan tersebut. Kita tentu tidak perlu takut menghadapi hantu TPP, karena ketakutan itu probabilitasnya pun hanya 40% terjadi dalam realita, sehingga dalam porsi dominan 60% ketakutan itu tidak pernah hadir secara nyata.