Para figur akan bermunculan, dinominasikan dan diseleksi, menjadi kandidat pejabat bertitel menteri. Kabinet diposisikan sebagai perangkat kerja pendukung, menjadi sistem kerja pembantu tugas presiden, serta merupakan bentuk dari gagasan akan pengelolaan kekuasaan.
Wacana kini kemudian mengemuka tentang pembentukan kabinet yang ramping selaras dengan postur presiden baru nan langsing akan dijadikan sebagai sebuah model.
Sesungguhnya besar atau kecil ukuran kabinet hanyalah aspek artifisial, belum masuk ke arah yang substansial terkait fokus dalam gugus tugas serta wilayah kelolaan kerja.
Efektif dan efisien adalah sebuah keharusan yang tidak bisa ditawar, karena pemerintah harus memastikan arah penerapan kerangka kerja yang berorientasi pada kepentingan masyarakat bangsa secara meluas.
Disini tentu menjadi tantangan, dari think tank yang diinisiasi melalui tim transisi untuk membahas konsepsi dalam prinsip pemerintahan baru.
Jelas pemerintahan mendatang harus membawa gairah baru dalam spirit nasional serta membentuk sebuah penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara yang berdaya.
Untuk itu, sesuai statement bahwa koalisi yang dilandasi hubungan bersyarat, yakni harus tanpa syarat, maka hal ini wajib menjadi sebuah baseline pembentukan kabinet.
Tentu saja akomodasi melalui kepartaian dapat dilakukan, sepanjang catatan soal kompetensi, kapasitas dan kapabilitas dapat dipastikan sesuai serta terukur.
Aspek kerja sebagai pembuktian atas amanat rakyat yang dilahirkan melalui proses pemilu harus diterjemahkan secara lugas, mengatasi hambatan atau bahkan kompromi politik.
Konsep Zaken Cabinet yang mengedepankan kerja sebagai perwujudan kebutuhan pembangunan dengan menempatkan para profesional dan ahli dibidang yang berkaitan tentu dapat menjadi sebuah format yang dapat dipergunakan.
Kita sepakat akan adagium miskin struktur tapi kaya fungsi, hal ini sejalan dengan Lean Management yang ditujukan pada upaya pengelolaan secara sederhana, tepat fungsi dan sasaran sehingga menghindari waste serta lead time, dikarenakan hal terakhir tersebut adalah bagian dari inefisiensi.
Waktu adalah hal yang sangat berharga bagi semua pemerintahan, karena tenggat memerintah sekalipun dibatasi oleh waktu yang disepakati secara konsensus nasional dalam sebuah aturan perundang-undangan.
Oleh karena itu, totalitas gagasan dan tindakan pemerintahan mendatang, hendaknya difokuskan pada pemanfaatan waktu kerja secara optimal bagi upaya perbaikan kondisi nasional yang menyangkut hajat hidup masyarakat.
Perdebatan tentang ramping atau tidaknya kabinet harus disandarkan pada aspek fungsi bagi tujuan diatas, sementara persoalan berbagi jatah kursi menteri hendaknya dikembalikan pada janji untuk tunduk kepada kehendak rakyat dan konstitusi.
Bahkan pemberdayaan dari kementerian yang ada dengan alasan rasionalisasi akan berhadapan dengan persoalan klasik terkait sumberdaya yang tersedia pun sesungguhnya tidak menjadi masalah.
Tentu saja dengan catatan, harus ada perbaikan atas batas kerja yang jelas agar tidak tumpang tindih dalam kebijakan yang menimbulkan pemborosan dikemudian hari.
Bayangkan betapa susahnya berkoordinasi dinegeri ini, bahkan diperlukan dibentuk kementerian koordinator untuk dapat membangun jalinan komunikasi antar para menteri.
Satu hal yang pasti, deregulasi dan debirokratisasi adalah hal prioritas dalam upaya membangun pemerintahan secara efektif, sehingga jarak tempuh kebijakan dan keputusan strategis tidak berlarut dalam masa tunggu tak berkesudahan.
Jadi, hendaknya ramping atau gemuk ditempatkan pada domain apakah berdampak positif bagi prikehidupan masyarakat sesuai amanah nan tertuang pada pembukaan UUD '45 dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.