Judul tulisan ini saya pilih sama seperti judul buku yang baru saja selesai saya baca. Buku yang berisi berita-berita positip tentang Indonesia. Memangnya selama ini tidak ada berita yang baik? Ada. Tapi yang lebih banyak ditayangkan media justru berita-berita yang bikin kita khawatir, cemas, galau, pesimis dan sepertinya negeri ini memiliki masa depan yang suram.
Kalau kita lihat teve dan baca media arus utama, sebagian besar isinya membuat pemirsa dan pembacanya punya perasaan negatif tentang Indonesia. Lihat saja kasus-kasus korupsi, kekerasan aparat, perkelahian antar warga, tawuran pelajar atau bencana alam gunung meletus, banjir, longsor dan kemacetan di kota dan daerah. Semua berita itu nyaris setiap hari kita terima dan menyurutkan rasa optimisme untuk menjalani hari demi hari.
Tak hanya saat ini saja. Beberapa tahun lalu pada saat reformasi tahun 1998, para pengamat memrediksi nasib Indonesia akan seperti Yugoslavia. Terpecah-pecah menjadi Bosnia Herzegovina, Kroasia, Montenegro, Serbia. Beberapa daerah akan memerdekakan diri dari NKRI. Ternyata setelah 15 tahun, prediksi itu tak terbukti. Yang ada bukan memerdekakan diri. Tapi justru beberapa daerah memekarkan diri menjadi kabupaten, kotamadya atau propinsi baru
Penulis, Akhyar Hananto, yang lahir dan besar di sebuah desa di lereng gunung Merapi, Sleman, pernah mengalami hal yang tak mengenakkan dengan berita yang lebih banyak berisi kekerasan tersebut.
Ketika di Bandara Ngurah Rai Denpasar menunggu pesawat lepas landas, berita pagi yang ditayangkan televisi adalah hal-hal yang buruk. Perkelahian antar warga. Pagi-pagi penumpang pesawat sudah disuguhi berita yang bikin emosi cepat terbakar. Sampai-sampai anak kecil warga asing yang terpana melihat berita itu didekati oleh ibunya. Matanya ditutup dengan tangan dan dibawa ke tempat lain agar tak meneruskan melihat tayangan itu.
Makanya, sekarang ini saya jarang nonton televisi lokal. Hanya acara-acara tertentu saja yang saya lihat seperti Kick Andy, Mario Teguh Golden Ways atau siaran langsung olahraga. Sumber informasi lebih banyak saya dapatkan dari media cetak dan internet.
Berbeda ketika penulis transit di Singapura dan melihat tayangan televisi di bandara Changi misalnya. Saat itu tayangan yang dilihat adalah Channel NewsAsia yang menayangkan perkembangan dan kemajuan negara tersebut. Dengan pengalamannya sering bepergian ke luar negeri, berbagai cerita dari warga asing tentang Indonesia makin menebalkan keyakinannya bahwa negeri ini tak seburuk seperti yang diberitakan televisi. Tak semuanya negatif.
Simaklah ketika penulis berkunjung ke kepulauan Solomon. Dalam perjalanan dari Yogyakarta-Jakarta-Singapura-Brisbane dan ke Honiara pada hari berikutnya, penulis mendapat kejutan dari petugas bandara di Brisbane. Dia mendapat oleh-oleh berharga untuk disampaikan kepada kita semua.
Petugas bandara itu menyampaikan,”Saya mencintai Indonesia, mungkin lebih dari sebagian orang Indonesia sendiri mencintai bangsanya. Sampaikan kepada media massa di Indonesia untuk berhenti memberitakan hanya yang buruk-buruk tentang bangsanya dan mengesampingkan jutaan berita bagus yang layak disampaikan”. Bagaimana dia bisa mendapatkan channel gosip dan sensasional? Ternyata dia sering ke Indonesia dan menonton Buser, berita siang dan lain-lain. Ternyata orang luar negeri pun merasa kesal dengan berita-berita seperti itu.
Kejutan berikutnya dialami penulis pada saat di Honiara, ibukota kepulauan Solomon. Dia bertemu dengan Michael, salah satu warga yang terkejut mengetahui penulis berasal dari Indonesia. Di matanya, Indonesia adalah negara yang menghasilkan Rinso, Blueband, Buavita, Tango, Kacang Garuda dan lain-lain. Indonesia adalah negara yang dahulu banyak diceritakan guru-gurunya waktu sekolah dasar tentang keindahan, pluralitas dan keramahtamahan penduduknya. “Sebelum Tuhan memanggil saya, saya harus sempat berkunjung ke Indonesia. Semoga Dia mengijinkan saya,”lanjut Michael.
Atau cerita menarik ketika dia bertemu warga Indonesia yang sudah 17 tahun berada di New York. Pertemuan yang tidak disengaja, karena saat itu musim salju dan karena kedinginan penulis kemudian masuk ke sebuah coffe shop. Tak dinyana ketika penulis membuka jaket dan kaosnya yang bertuliskan,“Damn! I Love Indonesia”, ada seorang yang menyapanya dengan halus,“Are you from Indonesia?”Spontan penulis menjawab dengan bahasa sehari-hari (Jawa),”Injih”
Setelah mengobrol, tak disangka rupanya dia bertemu warga Indonesia asal Magelang bernama Widyanto. “Pasti sudah kerasan ya, Mas…di Amerika? Sudah tidak kangen Magelang?” tanya penulis. Wajah sahabat barunya itu mendadak sendu.”Amerika memang negara sangat maju. Namun banyak hal yang tidak saya dapatkan di sini. Seperti yang saya dapatkan di tanah air,”ujarnya sambil mengusap matanya.
Dia bercerita betapa merindukan sinar matahari, suasana pedesaan yang penuh kekeluargaan, para petani yang pergi ke sawah sesudah subuh, atau setiap ada hajatan seluruh warga kampung berkumpul. Satu hal yang mengingatkannya pada Indonesia, terutama kampung halamannya di Magelang.
Kisah menarik lainnya diceritakan dalam buku ini tentang temannya yang orang Rusia. Temannya itu pernah berkeliling pulau Jawa dan Bali untuk berwisata kuliner. Di luar dugaan, lidah Kaukasiannya bisa menerima variasi masakan Betawi, Sunda, Jogja, Jawa Tengah hingga Bali. Dari masakan pedas khas Sunda, sate, hingga bebek goreng dia menyukainya. “Orang Indonesia itu nggak bisa makan tanpa sambal, kerupuk dan garam, dan itu sangat khas”katanya.
Itu baru dari satu sisi yaitu kuliner yang diakui warga asing. Belum lagi dari sisi ekonomi. Saat ini Indonesia masuk negara urutan ke-16 dunia dengan Produk Domestik Bruto (PDB) di atas US $ 1 trilyun. Bagi yang pernah belajar ilmu ekonomi tentu tahu istilah PDB. Yang mengagetkan adalah penulis justru membaca berita itu di harian The Strait Times Januari 2012 ketika berada di negara lain.
Tak hanya itu, dari angka pertumbuhan ekonomi 6 % per tahun, Indonesia unggul di atas negara-negara Eropa yang tumbuh 0-2 % per tahun. Negara yang angka pertumbuhan ekonominya di atas Indonesia hanya ada dua. China dan India. Kalau lihat angka itu memang masuk akal. Meski saya bukan ahli ekonomi , tapi saya lihat pertumbuhan itu memang benar. Mau buktinya? Tak perlu jauh-jauh.
Di kota-kota besar bahkan berbagai di daerah, usaha masyarakat berkembang. Industri rumah tangga bertambah, investasi dari luar negeri deras mengalir. Pendapatan masyarakat juga meningkat. Tak heran kalau daya beli masyarakat juga naik. Jalan-jalan dipenuhi dengan berbagai merek mobil dan sepeda motor. Meski banyak di antaranya yang beli dengan cara kredit. Bermacam gadget canggih dengan harga yang tidak murah laris manis. Ingat, bagaimana ketika salah satu seeri smartphone terbaru diluncurkan di Indonesia. Warga harus antre untuk mendapatkannya.
Belum lagi dengan bisnis properti. Pembangunan rumah baru tumbuh bak jamur di musim hujan. Di dekat perumahan tempat tinggal saya di Pontianak, rumah-rumah yang dibangun harganya sudah mencapai ratusan juta rupiah. Dan pembelinya tetap ada. Sebagai perbandingan, rumah tipe 36 yang tahun 1997 harganya 20 juta, saat ini nilainya sudah mencapai 10 kali lipat.
Ini menunjukkan kemampuan masyarakat untuk membeli produk barang meningkat.
Bukti lainnya, pergilah anda ke bandara-bandara di Indonesia. Makin banyak penumpang yang bepergian menggunakan pesawat terbang. Bahkan ada anekdot, suasana di beberapa bandara saat ini sudah seperti di terminal bis karena ramainya penumpang.
Pertumbuhan ekonomi itu tak hanya di kota. Di tempat kerja saya yang berada di pedalaman Kalteng, banyak penduduk di desa yang saat ini punya usaha sembako, ayam potong, jasa perahu klotok dan bahkan bengkel motor.
Di salah satu kecamatan baru hasil pemekaran yang letaknya di tepi hulu sungai Katingan, ada satu orang yang mendirikan tempat penginapan. Dia jeli melihat peluang karena tempat tersebut adalah wilayah transit warga yang bepergian dari Kalteng ke Kalbar atau sebaliknya.
Setelah membaca buku Akhyari Hananto ini, pelan-pelan rasa pesimis dan nada negatif tentang negeri ini mulai pudar. Ini yang saya rasakan. Di balik berbagai kasus dan masalah yang menimpa negeri ini, ternyata masih banyak sisi positip yang selama ini mungkin belum kita ketahui.