Mohon tunggu...
KOMENTAR
Catatan

Masih Sabar Menanti

30 Maret 2013   07:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:00 160 1

Tulisan ini seharusnya sudah muncul dua bulan lalu. Tepatnya awal Pebruari, saat ada berita salah satu maskapai penerbangan yang tutup karena dipailitkan pihak yang menyewakan pesawat.

Mungkin saat ini kalau dilihat dari sisi aktualitas berita, kurang relevan lagi. Namun, tak mengapa, karena kejadian ini masih berproses. Pertimbangan saya baru memposting saat ini, karena ingin melihat perkembangan yang terjadi selama kurang lebih dua bulan ini.

Berawal dari rencana berlebaran di Jojga, tempat tinggal mertua, rencana pundisusun jauh hari sebelumnya. Tujuh bulan sebelum hari H, tiket pesawat untuk kami berenam telah dibeli pada 31 Desember 2012.

Untuk keberangkatan Pontianak - Jogja 1 Agustus 2013, 6 lembar tiket sudah di tangan. Pertimbangannya, kalau pesan dan beli tiket jauh-jauh hari sebelumnya, bisa dapat harga yang lebih murah. Lumayan selisihnya dibandingkan kalau beli tiket dekat-dekat lebaran. Per lembar selisihnya bisa sampai 300 ribu.

Tiket untuk kembali dari Jogja - Pontianak pun, tanggal 27 Januari 2013 sudah dapat. Jadi untuk urusan transportasi mudik lebaran Pontianak - Jogja PP sudah beres. Ini yg harus diurus lebih dulu karena biaya terbesar mudik menurut pengalaman saya adalah biaya transportasi. Bisa sebesar 60 - 70 % dari total cost biaya mudik.

Semuanya berjalan lancar, hingga saya melihat berita televisi pada tanggal 31 Januari, maskapai yang rencana akan kami tumpangi berhenti operasi. Yaa Robbana… . Keadaan berubah 180derajat dibandingkan tiga hari sebelumnya, ketika mendapat informasi bahwa tiket return ok.

Terus bagaimana dengan 6 tiket Pontianak - Jogja PP yg sudah di tangan? Pencarian informasi pun mulai berjalan. Akhir Januari hingga awal Pebruari 2013, berita - berita yang muncul di internet dan televisi hanya menyampaikan kenapa maskapai itu berhenti beroperasi.

Mulai maskapai itu dipailitkan di sidang pengadilan karena utang yang menggunung sejak tahun 2009, serta beberapa penumpang yang mendatangi kantor - kantor perwakilannya yang semuanya sudah tutup.

Belum ada kejelasan bagaimana nasib calon penumpang yang sudah terlanjur membeli tiket. Apakah akan mendapatkan penggantian uang atau pengalihan penerbangan ke maskapai lain.

Hingga akhirnya pada tanggal 9 Pebruari, ada informasi yang saya peroleh saat mengantar istri mengurus perpanjangan SIM di Polresta. Pagi itu, koran lokal menginformasikan para penumpang yang memegang tiket Batavia agar menghubungi Express Air di bandara untuk mengurus prosedur pengalihan tiket. Di halaman itu dijelaskan prosedur pengalihan tiket termasuk persyaratan yang harus dilengkapi.

Tanpa buang waktu, selesai dari Polresta dan mengantar istri ke rumah, saya langsung tancap gas ke bandara Supadio. Waktu itu di koran disebutkan kalau batas waktu pendaftaran pengalihan maskapai dibatasi hingga pk 13.30, sedangkan hari Minggu tutup.

Tiket elektronik, fotokopi kartu keluarga, KTPsegera disiapkan dan saya simpan dalam tas.

Saya hanya punya waktu 1,5 jam untuk menuju bandara. Karena kalau tidak saat itu juga diurus, harus menunggu lagi hari Senin. Sementara saya nggak punya banyak waktu di Pontianak, karena minggu malam harus kembali ke camp.

Di sepanjang perjalanan, yang terpikir hanya gimana supaya cepat sampai di bandara. Jangan sampai konter maskapai tutup duluan. Mobil pun sering saya kebut dengan menginjak gigi empat dan bahkan lima kalau suasana jalan agak lengang. Perlu setengah jam perjalanan dari rumah sampai bandara.

Tiba di bandara, saya tanya ke porter lokasi maskapai yang baru tersebut. Bapak yang sedang menunggu penumpang di terminal kedatangan bilang, langsung masuk saja ke ruang check in.

Sambil menunjukkan tiket elektronik ke petugas di tempat scanning, saya melangkah ke konter chek in. Ada dua orang petugas di tempat itu. Satu cowok melayani penumpang yang akan naik pesawat, satu lagi cewek sedang melihat berkas tiket penumpang.

“Permisi, Mbak. Saya ingin mengurus pengalihan tiket maskapai” kata saya.

Lalu dia memeriksa berkas persyaratan dan agak lama memandang tiket elektronik yang sudah dipegang.

“Ini untuk keberangkatan bulan Agustus ya, Pak”tanyanya

“Ya, Mbak” jawab saya.

“Sekarang ini yang bisa kami layani hanya untuk penerbangan bulan Maret, Pak”jelasnya

“Terus untuk kami yang terbang bulan Agustus, gimana Mbak?

Salah satu penumpang cewek di sebelah kanan saya yang mendengar percakapan itu merasa heran dan nyeletuk, ”Lebaran masih lama, kok sudah beli tiket sekarang, Pak”.

“Kalau belinya dekat-dekat lebaran, harganya mahal, Mbak”jawab saya.

Petugas cewek itu kelihatan bingung untuk mengambil keputusan dan menanyakan petugas cowok di sebelahnya.Sambil melayani penumpang cewek tadi, si petugas cowok itu bilang,“Untuk info selanjutnya, nanti tanggal 25 Pebruari telepon saya, Pak”. Kemudian dia menuliskan nomor HP dan namanya di secarik kertas dan menyerahkan kepada saya.

Di samping kiri saya, rupanya ada juga bapak-ibu yang juga mau menanyakan nasib tiketnya yang sudah dibeli. Mereka rencana juga akan terbang ke Jogja bulan April.

“Gimana mas, bisa?”tanya ibuitu kepada saya.

“Untuk penerbangan setelah bulan Maret belum ada kepastian, Bu. Cuma tanggal 25 Pebruari nanti diminta telepon lagi”jawab saya. Ah… begitu lamanya menunggu dua minggu lebih hanya untuk sebuah penjelasan.

Sebelum pulang ke rumah, saya sempatkan ke musholla di depan ruang kedatangan untuk sholat Dzuhur. Selesai sholat saya telepon ke rumah dan memberitahu istri, kalau untuk penerbangan Agustus belum ada kepastian pengalihan penumpang ke maskapai lain.

Informasi itu juga saya sampaikan ke teman di camp yang juga ikut berharap-harap cemas akan nasib tiketnya. Ada sekitar 10 orang yang juga sudah beli tiket pesawat untuk pulang mudik lebaran nanti. Mereka semua beli lewat seorang teman kerja yang nyambi jualan tiket lewat agennya di Sidoarjo.

Si teman kerja ini juga saya telepon dan kasih informasi kalauuntuk penerbangan hingga akhir Maret sudah ada kapastian pengalihan tiket ke maskapai lain. Namun setelah bulan itu, masih menunggu keputusan dari Pemerintah.

Itu baru untuk tiket Pontianak - Jogja dan belum ada kejelasan. Tak hanya sampai di situ usaha yang ditempuh. Untuk tiket pulangnya dari Jogja - Pontianak yang sudah dibeli, saya juga minta bantuan adik ipar yang tinggai di kota gudeg. Siapa tahu tiket itu bisa diganti uang.

Adik istri yang berprofesi sebagai notaris di daerah Sleman lalu minta supaya semua berkas tiket dan lain-lain dikirim via email. Katanya dia punya teman yang punya usaha travel di Jogja dan siapa tahu bisa bantu.

Setelah berkas diterima dia pun menghubungi temannya yang punya travel. Tiket dan berkas lainnya diperiksa. Temannya bilang kalau prosedur pengalihan maskapai atau refund tiket, harus lewatagen yang menerbitkan tiket ini. Jadi agen di Jogja nggak bisa membantu.Semua tiket dikumpulkan agenyang menerbitkan tiket dan agen yang akan mennyerahkan tiket itu ke pihak kurator di Jakarta.

Nggak hanya itu, adik ipar, bapak dan ibu mertua di Jogja juga menyempatkan mencari info ke bandara Adisucipto. Jawaban dari petugas maskapai juga nggak berbeda. Untuk penerbangan bulan Agustus belum ada keputusan. Masih menunggu perkembangan selanjutnya.

Mendengar informasi itu, sama dengan penjelasan yang disampaikan teman kerja di camp yang jual tiket. Semua tiket penumpang dan berkas persyaratannya sudah diserahkan ke agennya di Sidoarjo. Surat pernyataan dan surat kuasa dari penumpang yang memiliki tiket juga sudah diserahkan ke pihak yang akan mengurus ke pihak kurator.

Semuanya masih menunggu keputusan dari pihak kurator dan pemerintah.

Kesabaran kami tampaknya sedang diuji. Ternyata nggak mudah untuk pulang mudik lebaran, bertemu orangtua dan sanak saudara.

Rencana sudah disusun jauh-jauh hari sebelumnya. Agenda kunjungan juga sudah dirancang. Jalan-jalan ke Taman Pintar, Malioboro, sampai rencana berwisata ke pantai Indrayati yang cantik. Bayangan untuk menikmati lezatnya gudeg Yu Djum di Mbarek dan SGPC bu Wiryo pun sudah terbayang.

Setelah liburan di Jogja, rencananya dilanjutkan dengan mengunjungi orangtua di Semarang. Memancing ikan di pantai Marina, jalan – jalan ke Simpang Lima, Lawang Sewu, sekalian beli wingko babat dan bandeng presto di jalan Pandanaran.

Namun dalam perjalanannya, ternyata kenyataan berbicara lain. Tidak semulus seperti yang direncanakan.

Memang masih ada waktu lima bulan lagi untuk menyusun ulang rencana yang sudah ada. Rasa optimisme untuk bisa pulang mudik masih tersimpan di dalam hati. Karena tidak setiap tahun kami bisa pulang mudik dan sesuai kesepakatan dengan istri, tiga tahun sekali pulang. Terakhirkali mudik tahun 2010.

Tahun ini, bapak ibu mertua di Jogja dan orangtua di Semarang sudah wanti-wanti. Kalau memang kondisinya seperti itu, tiket pesawat nggak bisa dialihkan atau diganti uang, ya nggak usah dipaksakan untuk pulang lebaran.

Saya sendiri nggak tahu, harus bagaimana menanggapi pesan orangtua tersebut. Yang jelas, rencana pulang mudik itu sudah ada, persiapan pun sudah dilakukan, dan pada saat ada masalah dengan tiket pesawat, ikhtiar juga sudah ditempuh dengan berbagai cara.

“Kalau memang tiketnya bisa dialihkan ya kita pulang, Mas. Tapi kalau nggak bisa, tahun ini kita nggak usah pulang dulu”kata istri saya.

Rencana boleh-boleh saja disusun, ikhtiar pun sudah dilakukan. Proses selanjutnya yang harus dijalani adalah tetap bersabar menanti hasilnya. Dan yang nggak kalah penting, bersikap tawakal. Menyerahkan segala sepenuhnya kepada Allah SWT atas apa yang telah dan akan terjadi. Itu yang tampaknya menjadi jalan terbaik saat ini.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun