Melihat siswa SMP mengendarai sepeda motor ke sekolah, ingatan saya melayang ke masa lalu ketika masih tinggal di kota udang. Masa sekitar tahun 1983, ketika pertama kali mengenakan seragam putih biru. Masa ketika dari rumah ke sekolah yang berjarak sekitar 3 km, saya masih naik sepeda pulang pergi. Sambil bersepeda, sesekali menyapa teman-teman yangberjalan kaki berangkat ke sekolah.
Setelah tiba di sekolah, sepeda murid-murid diparkir di tempat yang telah disediakan pihak sekolah. Masa itu, bisa dibilang jarang sekali anak-anak SMP ke sekolah mengendarai sepeda motor. Hanya guru-guru yang saya lihat lebih banyak menggunakannya dan diparkir di halaman depan sekolah.
Dua puluh sembilan tahun telah berlalu. Jaman pun telah berubah. Saat ini saya tidak lagi tinggal di kota udang, tetapi telah menetap di kota khatulistiwa. Ada satu hal yang menjadi pemandangan biasa di kota tersebut di pagi hari saat jam sekolah dan mungkin di kota-kota lain. Siswa-siswa yang berangkat ke sekolah mengendarai sepeda motor. Dari seragam sekolah yang dikenakannya, saya bisa menduga mereka masih SMP atau SMA.
Pihak sekolah khususnya tingkat SMP pada posisi dilematis menghadapi kenyataan tersebut. Posisi antara mengijinkan atau melarang penggunaan sepeda motor ke sekolah. Jika mengijinkan, sekolah akan ditegur oleh Diknas karena dinilai melanggar aturan berlalu lintas. Sekolah akan dicap mengijinkan siswa-siswa yang belum memiliki SIM C bebas mengendarai sepeda motor.
Di sisi lain, jika sekolah melarang siswanya membawa sepeda motor ke sekolah, bagaimana solusinya agar mereka tetap bisa bersekolah. Ada banyak alasan kenapa mereka mengendarai sepeda motor ke sekolah. Kendaraan angkutan umum yang tidak memadai, rute angkutan umum yang tidak melewati rumah atau jauh dari tempat tinggal, hingga kesibukan orangtua yang tidak sempat mengantar jemput anak-anaknya.
Pada situasi dilematis seperti ini, kebijakan atau peraturan yang diambil sekolah lebih mengarah pada melarang siswa-siswanya membawa sepeda motor. Namun, siswa-siswa tersebut ternyata tak kurang akal.
Untuk menyiasati larangan tersebut, mereka tetap berangkat ke sekolah mengendarai sepeda motor, namun tidak memarkirnya di dalam sekolah. Tepi jalan raya di depan sekolah atau warung-warung dekat sekolah adalah lokasi yang biasa digunakan untuk penitipan sepeda motor mereka.
Saat ini, alternatif bersepeda ke sekolah tak ada salahnya kembali dibangkitkan. Memang tidak mudah untuk memulai dan mengubah kebiasaan. Namun seperti halnya gerakan Bike to Work, menggunakan sepeda untuk berangkat ke tempat kerja.
Kegiatan yang berawal dari hobi tersebut, telah menjelma menjadi sebuah kebutuhan bagi para pekerja yang tinggal di kota besar. Kebutuhan untuk menuju lokasi kerja tanpa terkendala kemacetan dan lebih menghemat waktu.
Gencarnya pemberitaan media massa, baik cetak maupun elektronik telah mengubah gaya hidup sebagian masyarakat di kota-kota besar untuk menggunakan sepeda ke tempat kerja.
Berkaca pada hal tersebut, tak ada salahnya kegiatan Bike to School juga perlu dirintis dan disosialisasikan ke sekolah-sekolah.