Mohon tunggu...
KOMENTAR
Lyfe

Warisan

19 April 2023   08:59 Diperbarui: 19 April 2023   09:09 354 3
Pagi ini saya baru saja memasang kembali sprei polkadot merah muda yang barusan dicuci dan disetrika. Wanginya menguar memenuhi kamar. Wangi yang disukai ibu saya. Ini kamar beliau kalau pas menginap di rumah kami, dua hari dalam seminggu. Hari lainnya, tinggal dengan kakak saya.

Ibu saya priyayi jawa yang resik. Beliau suka dengan yang terang, bersih dan wangi. Itulah kenapa ketika hari beliau datang ke rumah, saya selalu mengganti sprei dan memastikan kamar bersih, rapi dan wangi.

Rasanya puas sekali tiap kali melihat senyumnya yang merekah sambil mengacungkan jempol. Tidak ada kata-kata, tapi hati saya berbunga-bunga.

Bahagia.

Pagi ini saya kembali memasang sprei. Kamar bersih, cantik dan wangi. Tapi saya tidak akan pernah melihat senyumnya lagi. Atau acungan jempolnya.

Enam bulan lalu, beliau jatuh di kamar mandi, patah tulang duduk dan bedrest total. Tidak lagi bisa wira wiri menginap di rumah kami. Kami yang datang bergantian merawatnya.

Dua bulan lalu, Tuhan memanggilnya kembali pulang ke pangkuanNYA.

Pagi ini saat saya memasang sprei yang wangi, beliau sudah tersenyum dari sorga.

Dan saat saya menuliskan ini, air mata saya menetes tak terhenti.

Masih berat melihat sinar matahari yang menyirami teras depan, karena ibu saya suka sekali berjemur di situ menikmati hangatnya mentari pagi sambil melatih otot kaki dan tangan. Hati saya pedih oleh rindu.

Ketika menatap sofa, kenangan pun berkelebatan mengingat saat-saat saya berbaring di sofa dan terjaga nyaris semalaman, takut ibu tiba-tiba terbangun dan berjalan ke kamar mandi sendirian. Parkinson dan dementia telah merampas kestabilan otot dan ingatannya, karena itu harus diawasi melekat.

Sofa itu juga tempat favorit ibu. Saat siang hari, beliau berbaring santai sembari mendengarkan musik keroncong atau langgam jawa, atau sembari menyimak podcast ibu Sian Hosea. Kadang sekedar ngobrol bersama.

Rasa rindu dan sesal berhimpitan, apalagi kalau ingat saya sempat mengeluh karena lelah saat merawatnya. Ingin rasanya memutar waktu kembali dan memperbaiki semuanya.

Sepeninggal ibu, kami tujuh bersaudara yang tersisa pun mulai membicarakan tentang warisan.

Bukan untuk ribut membaginya, karena warisan Ibu saya ternyata memang tidak bisa dibagi-bagi. Warisan itu hanya bisa dinikmati bersama.

Apa saja warisan beliau ?

1.  Batu karang

Ibu saya bukan orang yang pandai berkata-kata. Tapi seperti yang dituliskan oleh seseorang "Bila tidak ada kaki yang kuat untuk berdiri, masih ada lutut untuk bertelut", itulah ibu saya.

Beliau sangat setia berdoa. Dengan bahasa lugas dan sederhana. Mempercayakan setiap pergumulan hidup ditangan pencipta hidupnya. Dengan lutut bertelut, ibu melalui badai demi badai tanpa putus asa.

Saya masih ingat ketika saya masih kecil, setiap malam ibu mengumpulkan kami berdelapan dan berdoa bergiliran sesuai dengan pokok-pokok doa yang sudah ditentukan, sesuai pergumulan hidup saat itu.

Saya ingat karena saya termasuk yang nyaris bontot, saya hanya kebagian topik yang ringan. Seperti mengucap syukur. Doa saya singkat dengan bahasa seadanya dan selebihnya saya terkantuk-kantuk mendengarkan doa kakak-kakak saya yang panjang dan khusuk. Well, namanya juga anak kecil.

Tapi ternyata ketika tumbuh dewasa, saya sadar betapa kebiasaan itu bukanlah sekedar ritual petang hari. Dibawah sadar kami,  doa itu menjadi kebutuhan kami. Nafas hidup kami. Menjadi kekuatan kami ketika menjalani hidup.

Ketika kami satu per satu lulus sekolah dan pergi kuliah ke tempat lain yang jauh dari kampung halaman, beliau mendoakan kami satu per satu, setiap pagi.

Adik saya yang bungsu dan paling lama tinggal di rumah, menceritakan bagaimana ibu berdoa dari jam 4 pagi sampai jam 5 pagi, setiap hari, menyebut nama setiap anak dalam doanya.  

Dan doa itulah yang menembus kemustahilan demi kemustahilan. Kami berhasil mengenyam pendidikan yang bagus dan kehidupan yang lebih baik, bukan karena ayah ibu yang bergelimang harta atau banyak koneksinya,  tapi karena doa-doa yang membuka setiap pintu kesempatan yang tak terduga.

Ibu saya mengentaskan kami satu per satu melalui doa-doanya yang tak pernah putus. Menjaga kami dari segala pengaruh buruk saat berada diluar kota atau benua, dengan doanya. Iman yang diwariskannya, nyaris tanpa kata, tapi mengukir jiwa raga.

Ibu mewariskan batu karang itu.

Tahun-tahun hidupnya menceritakan bagaimana badai boleh datang dan pergi, gelombang tinggi boleh menerpa, tapi diatas batu karang yang teguh, kita tetap mampu kokoh berdiri.


2. Pegas

Jangan menjadi seperti telur, yang sedikit saja ditekan akan hancur. Jadilah seperti pegas, semakin ditekan semakin melenting ke atas.

Pernah dengar nasehat itu ?  Saya pernah membacanya, entah dimana.

Ibu tidak pernah mengucapkan nasehat itu, tapi sikap hidupnya benar-benar seperti pegas.

Delapan orang anak sementara usaha bapak jatuh bangun lalu terpuruk ditipu teman.

Ibu saya tidak ikut terpuruk.

Ibu menjawab semua tekanan dan tantangan dengan cara cerdas, kerja keras dan semangat yang tak mudah patah.

Tidak berhenti disitu. Ditengah-tengah pekatnya lorong kehidupan yang kami lalui, Ibu dengan caranya yang unik membuat kami cukup percaya diri untuk memiliki impian dan harapan.

Ujung lorong bahkan belum kelihatan sedikitpun saat itu. Masih gelap. Amat Pekat.

Tekanan begitu hebat, tapi ibu menolak untuk hancur. Beliau melenting ke atas sambil membawa serta kami semua.

Ia menerbangkan mimpi-mimpi kami dalam ketinggian, mengikatnya dengan doa dan kerja keras, supaya tidak lenyap terbawa deru kencang angin pencobaan.

Gaya pegas adalah gaya hidup ibu. Apa yang kami nikmati sekarang, itulah buahnya.

3. Dongeng

Saya generasi pencinta dongeng, karena semasa kecil dinina bobokkan oleh dongeng. Ibu sendiri yang mendongeng untuk kami, terutama menjelang tidur.  

Ceritanya itu-itu saja, di ulang-ulang, tapi tetap menyenangkan. Ibu memang story teller yang sangat berbakat. Cerita boleh diulang 100 kali, tetap saja menarik menyimaknya.

Bukan hanya pesan moral dalam dongeng, tapi pesan moral dibalik dongeng.

Waktu itu ibu pastilah lelah seharian mengurus rumah, memasak, membantu mencari nafkah, memikirkan banyak hal, tapi beliau selalu menyempatkan waktu untuk mengantarkan tidur kami dengan dongeng.

Ibu memiliki manajemen prioritas yang luar biasa. Cintanya pada anak-anak membuatnya tetap disiplin menyediakan quality time bagi kami,  melampaui segala lelahnya.

Tanpa keluh.

Itulah ibu.

Ibu membuat kami merasa istimewa dan dicintai dengan caranya yang unik dan out of the box.

Setidaknya itulah yang saya rasakan, kagumi dan tirukan. Saya tidak sepandai dan sefasih ibu dalam mendongeng, jadi saya menggantinya dengan membacakan buku cerita untuk putri saya sebelum tidur.  Iya, kadang-kadang juga mendongeng.

4.  Golden way

Ibu adalah motivator sejati. Jauh sebelum Mario Teguh terkenal karena golden ways-nya, ibu sudah lebih dulu mengenalkan golden way versi ibu ke anak-anaknya.

"Sing ketok moto, pasti iso"

Itulah Golden Way ala ibu, yang artinya, segala sesuatu yang kasat mata pasti bisa dipelajari.

Prinsip itu bukan hanya diucapkan, tapi juga di lakukan.

Ibu memang pembelajar sejati yang cerdas dan ulet. Ibu menjawab tantangan hidup dengan berani mencoba hal atau ketrampilan baru dan mengasahnya dengan rajin.

Ibu bisa menjahit dan membuat baju sendiri, pandai memasak sampai punya usaha kuliner, bisa berdagang, pandai berhitung,  memiliki ingatan yang tajam, bisa bertukang, bisa membaca notasi musik dan bahkan bisa mencari notasi lagu tanpa bantuan alat musik apapun.

Padahal ibu bahkan tidak tamat smp. Bukan karena tidak pandai, tapi karena agresi militer Belanda ke 2 membuat ibu yang waktu itu masih kecil harus kehilangan ayahnya dan rumahnya. Menempuh perjalan berat melintasi hutan untuk mengungsi.

Golden way itulah yang juga menjadi bekal saya saat merantau. Ketika rasanya hampir menyerah dan mengasihani diri, saya ingat prinsip ibu. Yang kasat mata pasti bisa dipelajari. Yang tidak kasat mata bagaimana? Itu sepenuhnya urusan Tuhan.

5. Bejana yang retak

Ada cerita tentang bejana atau ember yang retak yang dipakai seseorang untuk mengambil air.  Karena retak, air yang dibawa pun bocor menetes keluar. Setelah beberapa lama, disepanjang jalan yang dilintasi untuk mengambil air, tumbuh subur bunga-bunga liar yang cantik.

Ibu seperti bejana yang retak itu. Meski dalam kekurangan tak pernah berhenti memberi.

Saya ingat waktu kecil dulu sering dongkol karena ibu memberikan sebagian baju saya ke anak lain. Padahal baju itu masih  muat dan lagi baju saya juga tidak banyak. Tapi ibu menjawab santai, kamu khan masih punya baju yang lain, anak itu tidak punya baju.

Bukan hanya saya, saudara-saudara bahkan keponakan saya juga mengalami hal serupa.

Seringkali uang belanja pun di berikan, kalau ada teman atau kenalan yang membutuhkan. Meskipun itu satu-satunya yang tersisa, besok tidak tahu lagi bagaimana. Tapi ibu selalu percaya, Tuhan pasti memelihara.

Begitulah ibu. Seperti bejana yang retak yang terus mengalirkan air meski tak pernah penuh, ibu terus memberi bahkan dalam kekurangan sekalipun.

Itulah warisan ibu. 

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun