Mohon tunggu...
KOMENTAR
Fiksiana

Bukan Mantan, Tapi Istri yang Ditunda...

25 Januari 2014   23:04 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:28 127 0
Karya : Andi Sudarsono

DENDAM BERKESINAMBUNGAN

“santrihomo”

Terdengar suara keras yang benar-benar ditujukan kepadaku. Ku hentikan sejenak aktivitasku, yang saat ini sedang membaca buku-buku tentang islam di pelataran masjid. Lalu kuangkat kepala, menuju sumber suara yang sudah mengganggu. Oohhh, dan ternyata, anton, si bocah tengik sok menjadi geng pondok dengan 3 orang bodigatnya.

“diam kau pengecut, beraninya cuma bergerombol, kalo berani ku tunggu kau dibelakang halaman pondok” kataku yang saat ini benar-benar sudah letih dengan kesabaran.

Cacian yang terlalu sering muncul dari mulut anton, membuatku tak hanya pasrah dan diam. Harus ada perlawanan, ya, perlawanan. Untuk menunjukkan wabha aku bukan orang lemah yang mudah dioelk-olok. Padahal anton adalah salah satu teman sekelasku, sikapnya tak menunjukkan sahabat, kami bagaikan musuh dalam selimut yang tak mau diajak akur. Dia dulu orangnya pemalu, ya, bisa dikatakan culunlah, bahkan kemana-mana dia selalu sendirian. Tapi semenjak kudengar orang tuanya bercerai, dia semakin buas, mudah tersinggung dan gampang emosi. Sebenarnya sangat sepele timbulnya percekcokan ini, bahkan aku tak menganggap hal itu adalah akar permasalahan. Kebetulan, aku menjadi ketua kelas, mendengar bahwa orang tuanya bercerai, kuberanikan diri maju kedepan kelas dan hendak mengucapkan bela sungkawa atas musibah yang menimpanya. Kuceritakan semua, lalu kuminta para siswa memanjatkan do’a untuk kebaikan anton. Namun hal ini bukan suatu motivasi bagi anton, melainkan tekanan yang menjadikan harga dirinya jatuh. Saat itu hanya aku yang tahu perkara perceraian orang tua anton.

Disaat semua hening memanjatan doa, anton menggebrak meja dan keluar kelas. Aku yang saat itu memimpin panjatan doa, ku hentikan, lalu berlari mengejar anton. Ku coba raih tangannya, tapi tanganku dilempar. Aku juga mencoba untuk membujuknya, namun dia tetap tidak mau menghentikan langkahnya. Dan hari-hari biasa dikelas, dia selalu membuang muka jika aku melihatnya. Sejak saat itu, perubahan sikap anton begitu terlihat jelas. Pakaian yang tak rapi, rambut acak-acakan dan mulai bertingkah layaknya kepala geng. Yang biasa sendiri, diapun akirnya memiliki 2 teman yang selalu mendampinginya. Dan di tempat ini, di pondokpun, dia masih punya cadangan 3 pasukan. Teman yang ku tahu bahwa dia bukan orang yang bisa membawa kebaikan. Dan akan menjerumuskan dia pada keburukan. Aku serba salah sebenarnya, namun permintaan maafku hanya dikesampingkan olehnya. Kini sebegitu bencinya dia melihatku.

Seputar olok-olokan “homo” itu terjadi karena aku yang tidak pernah dekat dengan cewek. Bahkan ketika aku hendak didampingi, aku lebih suka pergi. Dan tau hal itu, anton menjadikannya icon untuk melemahkan mentalku. Sebelum-sebelumnya aku tak mengapa, tapi lama kelamaan kuping ini terasa panas juga.

“ngapain harus ke belakang pondok tukang homo! disini saja lebih luas kan? Jawab anton dengan ketawa ejekan dibarengi tawa’an-tawa’an para kawulanya.

“ini sudah keterlaluan”. Buku ku lempar, tangan mengeras hendak ku hantamkan ke mukanya. Tapi 3 orang yang ada disampinya menghadang dan balik memukuliku. Pantas saja aku kalah, memang kondisiku saat ini hanya seorang diri, sedang anton dibantu oleh 3 cecunguknya. Akirnya aku terkapar diteras pelataran masjid, dengan darah yang mengalir di bibirku. Kemudian mereka berlalu, sambil mengejek disertai ludah penghinaan.

“sialan kau anton, liat nanti”. Rasa kekesalanku benar-benar sudah tak terbendung lagi.

Kondisiku yang saat ini tergeletak, berusaha bangkit walaupun agak sedikit merangkak. Berjalan tertatih, seraya memungut buku-buku yang tadi ku lemparkan ke tanah.

“astagfirulloh”. Ayat al qur’an yang ada pada buku, robek dan ternodai oleh pasir. Sungguh menyesal diriku, sangat bersalah, kenapa harus mementingkan emosi dari pada merawat ayat ini? Tapi apalah daya, nasi sudah menjadi bubur, dan mungkin rasa sakitini adalah peringatan dari tuhan atas kelalaianku.

***

Komplek pondok modern nduri sawo adalah salah satu pondok yang sangat ternama di kota ponorogo. Banyak para orang tua yang tidak segan-segan menitipkan anaknya untuk menuntut ilmu ditempat ini. Gedungnya terdesain dengan sebegitu menarik. Taman-taman yang sebegitu cantiknya menghiasi pesona pondok. Banyak juga ustadz-ustadz yang didatangkan dari syiria sebagai pemandu hafalan al qur’an. Namun yang paling menonjol dari pondok ini adalah nama besar kyai agung yang begitu mashur di mata masyarakat. Beliau terkenal dengan sosok yang alim, cerdas dan bijaksana. Dari tangan beliaulah lahir-lahir para pejabat tinggi negara setelah lulus dari pondok ini. kepopulerannya juga tidak membuat besar kepala. Malah beliau setiap kali bepergian hanya mengenakan sepeda ontel dan berpakaian ala kadarnya.Rasa zuhudnya kepada tuhan sungguh tiada keraguan lagi.

Pondok yang dipimpinya hanya diperuntukkan bagi kalangan mahasiswa dan anak-anak SMA. Dan hanya diperuntukkan bagi kalangan laki-laki, Itupun tidak ada sekolah umum didalamnya. Jadi untuk sekolah reguler semua santri harus mencari sendiri. Ya bisa dibilang pondok yang bersifat kos-kosanlah, tapi selalu dididik agama didalamnya. Kegiatan yang selalu tersaji, penuh dengan nuansa islam. Sekolah umum biasanya memulangkan para siswa jam 1 siang. Pondok memulai pelajaran rutin setiap ba’da asyar sampai menjelang magrib. Jadi setiap santri yang baru pulang sekolah ada kesempatan sekitar 2 jam untuk istirahat. Ba’da magrib sampai isya’ masih ada kajian rutin masjid yang wajib dihadiri oleh semua santri. Jika ketahuan tidak ikut, bisa-bisa rambut musnah dari kepala. Ketat memang, dan penuh dengan kedisiplinan. Ba’da isya’ diberikan waktu sampai jam 8 untuk makan. Setelah itu lanjut lagi pelajaran agama. Jam 10 malam baru bisa istirahat. Kemudian jam 3 pagi semua harus bangun, kalo bel sudah berbunyi belum juga beranjak bangun, maka air se ember melayang ke muka. Selepas itu semua menuju ke masjid untuk shalat tahajud berjamaan, hingga menjelang shubuh. Ba’da subuh dilanjutkan dengan olah raga pagi, sampai tiba waktunya berangkat ke sekolah umum.

***

Aku yang saat itu sudah lepas dari masa SMP, oleh ayah langsung dipindah tempatkan pada salah satu SMA terfaforit di Ponorogo bagian kota.Tak banyak membantah, semua harus selalu “sendiko dawuh”. Karena jauh dari pantau, ayah tidak mengizinkanku untuk nge-kos, melainkan akan ditempatkan di pondok. Dan pondok itu adalah ponpes nduri sawo. Awalnya aku menentang dengan keputusan ayah. Karena aku tak ada yang bisa ku banggakan tentang ilmu agama. Dari TK, SD bahkan SMP selalu berada pada komplek negri. Jadi sedikit sekali pelajaran yang aku dapatkantentang agama hanta 1 pendidikan agama islam. Itupun pasti hanya seputar cerita, peragaan shalat dan lainnya. Dan yang aku tahu, dipondok itu harus mahir membaca al qur’an dan ayat-ayat yang kata orang-orang gondul-gundul apalah gitu. Pokoknya aku ndak ngerti sama sekali. Ditambah lagi kata teman-teman SMP ku bahwa pondok itu horor dan banyak yang gila setelah masuk didalamnya.

Tapi apalah daya, aku tiada kuasa dari apapun yang telah ayah putuskan. Semua harus terjalani.

***

Satu bulan setelah masukku dilingkungan pondok, benar-benar horor rasanya. Serba kekangan dan aturan. Sampai-sampai ada niatan untuk lari. Tapi kuurungkan niatku, karena jika itu terjadi, ayah pasti akan menghajarku habis-habisan.

Barulah kutemukan suatu ketentraman saat salah satu ustadz mengucapkan kata yang saat ini tidak bisa aku lupakan “tuhan meletakkan iman, dan disinilah tempat memupuk”. Iman, aku masih belum sadar akan makna itu. Makanankah atau minumankah, bagaimana rasanya? Segarkah atau manis?. Inilah yang hendak aku cari nantinya. Saat itu aku mulai bersemangat pada setiap kegiatan yang diadakan pondok.

Sekolah umum yang kebetulan sudah direncanakan ayah adalah SMA negri 2, itupun jika aku lolos seleksi masuk. Dan akirnya akupun masuk dalam jajaran murid negri. Ayah dan ibu begitu bangga padaku, sampai-sampai setiap minggu pagi selalu menengokku dipondok dan memberikan berbagai perlengkapan yang hendak aku butuhkan.

Dan situpulalah aku mengenal sosok anton. Dia juga satu SMA denganku, bahkan satu kelas. Namun untuk kamar tidur dipondok kita berbeda ruang.

Aku kenal betul sosok antonketika baru pertama kali masuk sekolah. Yang itu belum aku kenal disekitaran pondok. Diam, benar-benar pendiam dan tak banyak bicara. Perubahan yang sangat drastis itu terlihat ketika sudah duduk dikelas 2 dan pada saat itu aku hendak mengucapkan do’a untuk kebaikkannya atas perceraian orang tua. Disitulah timbul konflik antara aku dan anton.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun