TERATAP.
Layaknya surga yang terbentang dihamparan luas. Biru, bening, memanjakan mata para pengunjung- berduyun.Pasir-pasir putih bertebaran, memberikan banyak imajinasi bagi para si kecil yang terlepas dari kekangan orang tua. Ya, dan yang kumaksud adalah pantai, pantai teleng ria, pacitan, jawa timur.
Tempat yang telah memberikan banyak pesan kepadaku, tentang aku, dia dan mereka. Kini tubuhku hanya menyendiri diatas batu, bergelumut pasir diketepian pantai. Ku mainkan kenanganku, sekan mereka muncul dihadapanku. Wajah-wajah SMA yang kaku, memandang kesejukan pantai ini. Berlarian membawa pasir, menaburkannya ke baju-baju putih yang hendak mereka kenakan. Teringat pula olehku waktu, dimana setiap selesai ujian, tempat ini adalah tempat penentram pikiran sengit.
Aku, yanto, yulia, dan sinta. 4 orang yang selalu bergerombol kemanapun tempat yang hendak dituju. Yanto yang selalu memberikan keceriaan disetiap pembicaraannya. Wajah lugu yang memiliki jiwa kepemimpinan terpendam. Kalaupun dulu di SMA dia mau, pasti jabatan ketua osis sudah dipegangnya. Namun sayang, dia memilih untuk menjalin pertemanan dari pada harus sibuk berpolitik.
Yulia terlalu cantik untuk dipandang. Perawakan putih, hidung mancung, tinggi dan langsing kata anak-anak kelas. Dialah yang selalu memonitor kami bertiga saat ada ujian atau tes-tes harian. Terlalu perfeck bagiku untuk mengalahkan prestasinya. Otaknya seakan tidak mau membiarkan air keluar dari bendungan fikiran. Selalu ditampung dan dikeluarkan disaat dia membutuhkan. Tidak seperti anak yang kutu buku, tapi setiap jawaban yang ditulisnya, tidak luput dari angka 100.
Sedang, aku dan sinta hanyalah pendamping mereka. Tak ada yang menonjol dari kami. Kami bagaikan backgroun dihadapan mereka. Pelengkap dan sisa-sisa dari apa yang mereka punyai. Tapi yang aku herankan, mereka tak mau lepas dari kami. Seakan ini adalah takdir tuhan untuk kami bersatu.
Teringat waktu dulu aku menemukan satu persatu dari kami. Hingga akirnya bisa menjadi 4 kesatuan utuh. Awal masuk SMA, aku hanyalah seorang diri. Tak ada yang mau menemaniku hanya sekedar berucap kata sedikit. MOS yang berjalan hampir 4 hari masih belum cukup bagiku untuk menentramkan diri kepada siapa aku berteman. Terlihat siswa-siswa lain sibuk memamerkan apa yang dia punya supaya mempercepat relasi. Aku melihat mereka seakan-akan tak habis kata-kata untuk membuat lawan bicaranya nyambung dengan omongan yang mereka buat.