Mohon tunggu...
KOMENTAR
Filsafat Artikel Utama

Jalan Salib Mahawu: Seni Tak Beragama

19 April 2013   07:55 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:58 1843 25

Dalam sebuah perjalanan di Manado, saya mendapat kesempatan mengunjungi sebuah tempat yang menarik. Tempat itu terletak di sebuah bukit. Bukit Doa Mahawu namanya. Sebuah tempat yang sejuk dan eksotik. Bukit Doa Mahawu tampak menyatu dan berharmoni dengan alam. Situasi dan kondisi ini sangat mendukung keberadaan tempat ini sebagai sebuah tempat untuk mengolah rasa dan semakin mendekat dengan Sang Empunya Kehidupan.

Di tempat ini, saya sangat tertarik dengan patung-patung jalan salib yang ada. Pertama kali melihatnya, saya merasakan ada sebuah pancaran energi yang sangat kuat dari pembuatnya. Selidik punya selidik, sang pembuat patung-patung jalan salib itu adalah Teguh Ostenrik. Dia adalah salah satu seniman besar di negeri ini. Teguh lahir di Jakarta, pada tahun 1950. Tak tanggung-tanggung, seniman besar ini mengenyam pendidikan seni di Jerman. Ia menyelesaikan pendidikan di Akademi Grafis Lette Schüle (1972) dan Hochschule der Künste (1974).

“Teguh adalah seorang Muslim” demikian penjelasan Pak Tri yang setia menemani perjalanan kami selama di Manado. Semakin terperanjatlah saya mendengar penuturannya. Bagaimana mungkin seorang Muslim bisa membuat sebuah karya seni yang demikian hidup dan memiliki kedalaman refleksi yang luar biasa? Itulah pertanyaan yang demikian menyeruak pikiran saya.

Dalam Gereja Katolik, dikenal sebuah devosi jalan salib. Dalam devosi ini hendak dikenang kembali peristiwa penyaliban Yesus. Untuk lebih membantu penghayatan umat, pengenangan dan penghadiran kembali peristiwa yang sudah terjadi ribuan tahun lalu itu dibantu dengan keberadaan gambar atau patung yang memberikan gambaran peristiwanya. Gambar atau patung yang terdiri dari 14 perhentian itu merupakan alat bantu saja bagi umat sehingga mampu masuk dalam misteri yang dirayakan. Oleh karenanya, gambar atau patung yang ada saat ini tidak pernah sama satu sama lain. Perhentiannya sama: 14. Tetapi ada banyak seniman yang memberi kekayaan dengan menciptakan gambar atau patung atas keempat belas peristiwa tersebut.

Keberadaan 14 peristiwa jalan salib itu bukanlah sebuah peristiwa sekali jadi, melainkan sebuah proses sejarah kekatolikan itu sendiri. Puncak kepopuleran devosi jalan salib terjadi pada abad XIV. Adalah Fransiskus Asisi yang mempopulerkan devosi ini. Devosi ini kemudian merebak ke setiap gereja. Dibuatlah pemberhentian-pemberhentian/stasi kecil di dalam gereja.  Para Rahib Fransiskan juga menciptakan lirik Stabat Mater yang sampai kini selalu dinyanyikan untuk mengiringi devosi jalan salib ini. Lirik ini telah tersebar dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Devosi ini ditetapkan secara resmi sebagai devosi Gereja oleh Paus Clement XII (1730-1740). Dan ke-14 pemberhentian inilah yang sampai kini diterapkan oleh Umat Katolik.

Sungguh luar biasa. Di tangan seorang seniman besar, setiap peristiwa dalam devosi jalan salib itu diberi roh rohani yang berangkat dari kedalaman batinnya. Dari sudut pandang keyakinannya, Teguh memberikan perspektif lain atas sebuah karya seni yang telah mengakar dalam diri setiap orang katolik. Melalui karya luar biasa itu, Teguh mengajak siapa pun yang berdoa melalui kisah jalan salib untuk masuk dalam setiap misteri yang terkandung dalam setiap perhentian.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun