Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Obor Paskah di Lereng Merapi

31 Maret 2013   22:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   15:56 283 5

Mendung menggayut di lereng Gunung Merapi. Sesekali halilintar menyambar. Semakin sore, gerimis mulai turun. Kondisi alam yang tidak bersahabat ini tidak menghalangi umat Katolik di Wilayah St Ignatius Ponggol Paroki St Maria Assumpta Pakem untuk menghadiri perayaan Ekaristi Malam Kebangkitan Kristus. Dalam situasi gerimis, umat demikian antusias untuk datang ke kapel St Ignatius yang terletak di pinggir jalan itu.

Saat yang dinantikan semakin mendekat. Lamat-lamat terdengar suara musik terbangan. Semakin lama, suara harmoni tetabuhan semakin jelas mengiringi masuknya seorang penari ke pelataran. Seorang penari dengan membawa obor menyala di tangan. Dengan gemulai, penari utama ini mengikuti alunan musik. Gerakan-gerakan gemulai menggambarkan keindahan dan harmoni kehidupan. Sebuah pemaknaan betapa Allah telah menciptakan semesta ini baik adanya.

Tak lama berselang. 4 penari pengiring muncul dari ke empat penjuru mata angin. Ke empat penari membawa obor yang belum menyala. Masing-masing menari dengan gerakannya masing-masing menuju ke arah penari utama. Semakin mendekat, semakin tarian mereka berirama dengan penari utama. Puncaknya, tarian mereka menjadi satu bagian yang saling melengkapi. Sebuah tarian yang demikian harmoni satu sama lain. Inilah cerminan kehidupan manusia sebagai ciptaan yang dikaruniai kebebasan.

Dengan kebebasannya, manusia mampu bergerak dan menari sesuai dengan kebebasannya. Tetapi, ada satu yang harus senantiasa disadari. Setiap manusia dipanggil untuk tetap bersatu dengan Allah, Sang Pencipta. Semakin dekat dengan Sang Pencipta, manusia dituntut untuk semakin seperasaan dengan Penciptanya. Dengan kebebasannya, manusia diajak untuk semakin berirama dengan tarian Sang Empunya Kehidupan. Harmoni ini semakin nyata ketika Sang Pencipta menganugerahi manusia sebuah nyala api. Hal ini digambarkan dengan gerakan penari utama yang berputar dan berkeliling menyalakan obor yang dibawa para penari pengiring. Sebuah simbol penyemangat telah dinyalakan dan menggerakkan manusia untuk terus menerus mengikuti tarian Sang Pencipta.

Di sisi lain, kuasa kegelapan tak pernah tinggal diam. Tiba-tiba musik berubah menjadi beringas mengiringi masuknya para raksasa simbol kegelapan. Para raksasa ini segera mengelilingi para penari yang terus menari dalam sebuah keharmonisan. Semakin lama, para raksasa ini masuk dalam lingkaran para penari. Sedikit demi sedikit, para raksasa memisahkan para penari dari lingkaran. Terjadilah pertempuran. Para raksasa berusaha untuk mengambil dan mematikan api yang telah menyala dalam setiap diri. Hanya ketegaran dan keteguhan pada komitmenlah yang memampukan setiap penari mempertahankan api itu. Tanpa akar yang demikan dalam dan tangguh, api itu pun akan padam dan manusia terbawa dalam arus kegelapan.

Dengan api yang masih bertahan itulah, perayaan kebangkitan Kristus dimulai dengan upacara cahaya. Romo Wito membuka perayaan Ekaristi dengan menyalakan dan memberkati api unggun dengan nyala obor yang tetap bertahan hingga akhir. Dengan nyala api unggun itulah, lilin Paskah dinyalakan dan diarak menuju ke dalam kapel. Kegelapan dosa tersingkap terang berkat Lilin Paskah, yakni Kristus yang telah bangkit.

Ekaristi yang diadakan dalam suasana hujan berjalan khidmat. Umat tampak antusias mengikuti setiap ritus. Kehadiran para penari yang menawarkan buah-buah permenungan semakin menambah kemeriahan dan keanggunan liturgi malam Paskah.

Tarian anak-anak itu masih dilanjutkan sebelum Romo Wito memberikan kotbahnya. Para penari menari mengikuti gerakan para raksasa. Gambaran manusia yang menari mengikuti kuasa kegelapan dosa. hingga akhirnya, Sang Terang mampu mengalahkan kuasa kegelapan itu. Terjadilah sebuah pertobatan. Buahnya, manusia diajak untuk membawa yang lain dan menularkan pertobatan itu kepada semakin banyak orang. Sebuah ajakan dimulai: kebangkitan adalah menari bersama Kristus. “Beranikah kita menari bersama Kristus yang telah bangkit?” demikian tantangan yang disampaikan romo Wito. Menari bersama Kristus artinya sebuah ajakan untuk mengikuti setiap gerakanNya, utamanya solidaritas dengan sesama yang miskin, lemah, dan tersingkir.

“Luar biasa. Malam Paskah kali ini terasa istimewa. Anak-anak yang menari tadi demikian luar biasa. Meski gerimis, mereka tetap menari dengan serius dan luar biasa. Kami belajar banyak atasnya. Benar-benar meriah dan menyentuh hati,” ungkap salah satu umat yang mengikuti perayaan Malam Paskah dengan berapi-api. “Semoga perayaan ini semakin menggerakkan kami untuk berani menari bersama Kristus yang telah bangkit seperti yang tadi dikotbahkan Romo Wito. Semoga api paskah semakin menggerakkan kami untuk berbela rasa dan solider dengan sesama” imbuhnya.

Suasana perayaan malam Paskah di Kapel Ponggol, 30 Maret 2013, memang terasa beda. Kolaborasi budaya yang ditampilkan komunitas Aburing Kupu Kuning Pakem turut menyumbang pemaknaan sehingga liturgi malam Paskah semakin mengakar. Melalui budaya, umat lebih merasa tersentuh dan menemukan apa yang hendak disampaikan. Tak mengherankan, dalam suasana hujan deras pun umat tetap antusias. Untunglah, panitia cukup sigap untuk menampung membludaknya umat yang mengikuti perayaan Ekaristi Malam Paskah itu.

“Luar biasa. Semua berjalan lancar. Panitia bekerja dengan baik. Umat pun tampak menikmati dan terbantu untuk mengikuti perayaan Ekaristi. Semoga menjadi berkat bagi umat,” ungkap Bapak Bella, salah satu panitia yng cukup sibuk menyiapkan segala sesuatunya.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun