Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud

Balada Hidup Sang Nelayan

1 Oktober 2012   00:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:26 688 10

Menatap jauh ke depan sana. Lautan lepas seolah takbertepi. Pagi yang cerah di pantai Ngrenehan berbanding terbalik dengan situasi denyut kehidupannya. Sepi seolah tanpa tanda kehidupan. Mengapa bisa demikian?

“Laut sedang tidak bersahabat, Mas. Jika memaksa melaut, hasilnya tidak sebanding dengan biaya melautnya” demikian penjelasan yang aku dapatkan dari pemilik warung yang kebetulan membuka warungnya. Sembari menikmati secangkir kopi hangat, aku berusaha menikmati semilir angin yang menerpa wajahku. Pahitnya kopi yang aku nikmati seolah mengajakku untuk merasakan betapa pahitnya kehidupan para nelayan. Hidup mereka sangat tergantung pada hasil laut. Jika laut sedang tidak bersahabat, bagaimana nasib kehidupan mereka?

Deretan kapal-kapal nelayan menghiasi bibir pantai. Ketika laut sedang membagi rejeki, kapal-kapal itu menjadi alat untuk menopang hidup. Kini, kapal-kapal itu diam membisu seolah ikut merasakan kepiluan hati sang penyewanya. Betapa tidak. Kapal-kapal nelayan itu hanyalah disewa dari para pemilik kapal yang entah tinggal di mana. Melaut atau tidak melaut, mempunyai penghasilan atau tidak para nelayan itu tetap harus membayar sewa kapalnya.

“Kalau laut sedang sepi, kami mengadu nasib di Jogja. Mencari pekerjaan di sana untuk menyambung hidup. Paling banyak, ya, menjadi buruh bangunan, Mas. Kami mendatangi proyek-proyek dan mengadu nasib di sana. Kalau lagi bernasib baik, ada pemborong yang datang ke sini dan menawarkan pekerjaan.” Itulah penjelasan pemilik warung ketika aku menanyakan situasi pantai yang sepi.

Ketika tidak ada pekerjaan, membenahi peralatan melaut adalah menu harian. Merajut kembali jaring-jaring yang koyak sehingga nantinya siap ketika akan digunakan untuk melaut. Benar-benar takada kata menganggur bagi para nelayan. “Kalau diam saja di rumah malah badan ini terasa sakit, Mas” ungkap salah seorang nelayan yang sedang membenahi peralatannya. “Dari pada nganggur, lebih baik membenahi jaring-jaring ini” lanjutnya sembari menata jaringnya yang telah selesai diperbaiki. Jaring itu kemudian dimasukkan dalam karung.

Bagi para nelayan, laut adalah kehidupan. Laut telah mengajarkan kepada mereka bagaimana bertahan hidup di tengah kerasnya kehidupan. Tak ada kata menyerah. Dalam situasi sesulit apa pun, laut masih bisa memberikan kehidupan bagi mereka yang punya pengharapan. Meski pun laut sedang sepi, tapi laut masih memberikan kehidupan bagi mereka yang mau berjuang.

Tak ada kata menyerah dalam kamus hidup pak Yono, seorang nelayan Ngrenehan yang aku jumpai di tepi pantai. “Laut memang sedang tidak bersahabat, Mas. Tapi laut masih memberikan rejekinya. Ini buktinya!” Sembari tersenyum ia menunjukkan hasil tangkapannya. Puluhan udang lumut dan udang pasir menghampar di atas pasir. Dengan cekatan, pak Yono menutupi udang-udang itu dengan pasir. “Dibuat begini biar udang-udang ini lebih awet” jelasnya. Tebing-tebing pantai yang terlihat ganas itu menyimpan kehidupan. Di antara tebing-tebing itulah pak Yono berjuang untuk mendapatkan udang-udang itu.

Mungkin, balada kehidupan para nelayan akan membuat kita yang mendengarkan menjadi trenyuh dan menitikkan air mata. Bagiku, mereka mengajarkan bahwa hidup bukan untuk diratapi. Hidup harus disyukuri dengan penuh pengharapan. Nyatanya, pak Yono mampu menemukan secercah harapan di balik tebing-tebing pantai yang ganas itu. Selalu ada jalan bagi mereka yang punya pengharapan.

tulisan ini muncul gara-gara ditantang INI

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun