Anak-anak SMP Kanisius Pakem memainkan lagu-lagu perjuangan di tengah lapangan yang akan digunakan untuk memperingati detik-detik proklamasi. Dengan seragam nuansa Jawa, hendak dipadukan konteks budaya (baca: kesukuan) yang turut menyumbang kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lagu-lagu yang dimainkan oleh anak-anak remaja itu seolah membangkitkan kembali semangat dan jiwa patriotisme para pahlawan kemerdekaan.
Bergetar rasanya mendengarkan lagu-lagu yang dimainkan marching band SMPK Pakem itu. Tangan-tangan kecil nanlincah itu seperti menggugah kembali semangat kebangsaan. Semangat para pahlawan kemerdekaan kembali dimunculkan untuk kemudian direnungkan. Mereka berjuang demi harga diri Indonesia. Mereka berjuang demi satu kata MERDEKA.
Kini, semangat kebangsaan itu telah terumuskan dengan baik oleh para pemangku negeri ini: PANCASILA, UUD 45, NKRI, dan BHINNEKA TUNGGAL IKA. 4 pilar kebangsaan itu saling terkait satu sama lain. Dengan kata lain, 4 pilar itu tidak berdiri sendiri. Sebuah pertanyaan menggelitik: apakah 4 pilar kebangsaan yang telah dirumuskan oleh para pemangku bangsa ini telah dihidupi?
Pertanyaan itu semakin menguat ketika mengikuti upacara pengibaran bendera memperingati detik-detik proklamasi kemerdekaan yang ke enam puluh tujuh. Saya mengikuti upacara pengibaran bendera itu di lapangan Kecamatan Pakem, Sleman, Yogyakarta. Saya sengaja memilih kata upacara pengibaran bendera sebab upacara yang saya ikuti tadi pagi memang menjadi upacara seremonial pengibaran bendera oleh pasukan pengibar bendera.
Bagi saya, upacara bendera peringatan detik-detik proklamasi selalu identik dengan pembacaan teks proklamasi, pembacaan UUD 45, pembacaan Pancasila, adanya amanat dari Inspektur Upacara, dan doa. Betapa mengagetkan apa yang saya alami tadi pagi. Upacara yang disebut sebagai upacara peringatan detik-detik proklamasi itu hanya menjadi sebuah acara seremonial pengibaran bendera. Dalam acara seremonial itu, hanya ada pembacaan naskah proklamasi, pengibaran bendera dan doa. Artinya pembacaan UUD 45, Pancasila, dan amanat dari Inspektur upacara sama sekali tidak ada jejaknya.
Sudah digembar-gemborkan bahwa UUD 45 dan Pancasila adalah pilar pertama dan kedua dari 4 pilar kebangsaan. Mengapa yang disebut sebagai pilar kebangsaan itu justru dibacakan pada sebuah peristiwa yang memiliki makna besar bagi kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia itu? Sungguh takmasuk dalam nalar saya. Khasak-khusuk terdengar bahwa itu terjadi karena upacara kali ini terjadi dalam masa puasa. Mohon maaf, bukan maksud saya mengecilkan arti puasa bagi saudara-saudara Muslim. Berapa lama sih membacakan UUD 45 dan Pancasila?
Ketika secara tekstual, keempat pilar kebangsaan taklagi mendapat tempat, bagaimana ke empat pilar kebangsaan itu hendak ditempatkan dan dihidupi? Semoga upacara peringatan detik-detik kemerdekaan bangsa Indonesia yan gke enam puluh tujuh ini tidak menjadi pertanda koyaknya pilar-pilar kebangsaan yang telah diperjuangkan oleh para pahlawan dengan bersimbah darah. MERDEKA ATAU MATI!