Kisah-kisah seputar kelahiran Kristus adalah sebuah drama kehidupan, akumulasi kisah tragis hidup manusia. Jauh berjalan dari Nazaret yang nyaman, lalu terlunta-lunta di Betlehem tanpa tumpangan. Proses kelahiran Kristus sudah mengalami penolakan dan penyingkiran sejak semula. Adakah tempat bagiNya? Rupanya tak ada lagi tempat. Jadilah Kristus Anak Allah lahir di tempat paling hina : kandang ternak dengan semua keburukannya.Terbaring di palungan dengan balutan kain lampin, di malam sunyi yang dingin. Situasi itulah yang bisa menerima kehadiranNya.
Apa yang dapat kita tangkap dari setting kelahiran Kristus saat malam Natal di Betlehem? Inilah lambang kemiskinan dan kelemahan yang nyata. Inilah lambang ketidakberdayaan yang sangat telak memukul sanubari kita. Mengapa Sang Raja tidak memilih lahir di istana? Mengapa Yang maha kuasa tidak memilih hadir lewat keluarga kaya raya? Dan mengapa pula warta keselamatan mula-mula justru diterima oleh gembala-gembala sederhana?
Dengan hati jernih kita mencoba merabanya : Allah sungguh berpihak pada yang miskin papa. Lewat segala kelemahan manusiawi itu Allah mau menyapa umatNya. Warta keselamatan menggambarkan dengan jelas betapa Allah ingin menjadi dan melayani manusia yang paling rendah. Allah tahu bahwa dalam kondisi yang paling lemah, miskin dan tak berdaya manusia menjeritkan kerinduan yang paling murni untuk berjumpa dengan penciptanya. Dalam kondisi seperti itu, manusia hanya mampu bersandar pada Allah, bukan lagi pada kekuatan dan hitung-hitungannya sendiri. Kandang hina menjadi tempat bertemunya kasih Allah dengan kerinduan manusia yang lemah.
Kini kita kembali ke pertanyaan reflektif semula : dimanakah kandang kelahiran Kristus itu kini berada? Ada banyak cara untuk membawa kisah 2000an tahun silam itu dalam konteks kekinian. Refleksi kekinian itu menempatkan kelahiran Yesus dalam sebuah tenda kecil di bawah kolong jembatan layang nan angkuh. Ya, di sebuah kota kecil Magelang refleksi kekinian itu menyeruak di balik carut marutnya bangsa ini.