Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik

Politik: Menjual dan Membeli

14 Juni 2010   03:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:33 1437 0

Mengamati perilaku dan tingkah polah pedagang dan pembeli di tengah keramaian pasar menjadi keasyikan tersendiri. Menarik dan menggelitik. Seorang pedagang dengan gaya khasnya mempertahankan harga yang sejak semula telah ia tetapkan. Sementara pembeli pun ngotot untuk mendapatkan harga semurah-murahnya. Siapa yang kuat bertahan, dialah yang menjadi pemenangnya. Bargaining yang terjadi di pasar bukan karena mempunyai power lebih lalu menang, tetapi yang tetap bertahan pada pilihanlah yang menang.

“Yang penting untung, mas! Sedikit tidak apa-apa,” kata-kata salah seorang pedagang ini bisa menjadi gambaran betapa nilai transaksi bukan karena mempunyai kekuatan lebih, namun lebih karena perhitungan ekonomis. Sebaliknya, jika seorang pembeli sudah senang dengan suatu barang, ia akan rela mengikuti keinginan pedagang.Tidak jadi masalah meski ia harus membayar mahal asal barang yang ia inginkan berada dalam genggaman.

Melihat peristiwa itu, pikiran saya dibawa pada tingkah polah para pejabat negeri ini. Para pejabat takubahnya para pedagang dan pembeli. Bedanya, dalam kehidupan pasar demikian jelas siapa pedagang dan siapa pembeli, sementara dalam politik negeri ini demikian sulit membedakan siapa yang menjadi pedagang dan siapa menjadi pembeli. Pada satu saat, ada pejabat yang menjadi pedagang yang menawarkan dagangannya berkeliling. Cara menawarkannya pun melebihi gadis-gadis sales. Seringkali, para pejabat menawarkan dagangannya dengan tanpa tedeng aling-aling, tanpa ditutup-tutupi.Kalau perlu, untuk menjual barang dagangannya para pejabat mengundang para wartawan. Bayar dikit tidak apa-apalah asal dagangannya laku. Perilaku ini bisa berubah demikian cepat, sejurus kemudian ia berganti peran menjadi pembeli.

Yang paling mengerikan adalah ketika para pejabat membentuk sebuah kongsi dagang. Namun orientasi dagangnya tidak klop karena berpijak pada kepentingannya masing-masing. Jadilah sikut sana sikut sini. Akan terlihat unik lagi ketika barang dagangan yang ditawarkan tidak laku atau malah diprotes oleh calon pembeli. Buru-buru mereka akan menampilkan ketidak jelasan. Yang bingung malah para calon pembeli. Contoh paling konkret dan masih anget adalah dagangan dana aspirasi. Dana aspirasi sebesar 15 miliar coba dijual ke publik. Ternyata malah menuai polemik di publik. Pasar bergolak. Lalu? Normalnya, kongsi akan tetap berjuang untuk memasarkan barang dagangannya. Tapi? Golkar mengklaim hal tersebut telah dibicarakan di Setgab, kantor kongsi. Entah apa yang terjadi di Setgab, namun akhirnya Golkar merasa memperjuangkan dana aspirasi tersebut sendirian sebab banyak partai yang tergabung dalam Setgab tidak menyetujuinya. Katanya sudah dirembug bersama dalam satu kongsi dagang, tapi kok ... Katanya kongsi, tapi kok saling menjatuhkan.

Selalu begitu dan terus terulang. Tampaknya hewan Bunglon bisa menjadi gambaran yang tepat untuk menggambarkan tingkah polah para pejabat negeri ini. Banyak orang yang mengartikan bahwa bunglon mengubah warna kulitnya sebagai kamuflase atau respon terhadap musuh dan bahaya. Kamuflase sangat luar biasa dan sangat tergantung pada situasi dan kondisi di mana ia berada. Dalam suasana hijau, Bunglon bisa dengan cepat menyesuaikan diri dan berkamuflase menjadi hijau. Ketika ia berada dalam lingkungan coklat, dengan cepat pun bunglon menjadi coklat. Luar biasa...

Jual-beli tampaknya telah menjadi sebuah kebiasaan yang telah dimengerti oleh semua orang. Ada yang menjual dan ada yang membeli. Semuanya itu dilakukan untuk mendapatkan keuntungan. Keuntungannya jelas: untuk keluarga. Ketika para pedagang mendapatkan keuntungan, maka keuntungan itu dipakai untuk menghidupi keluarganya. Ketika pembeli mendapatkan harga murah pun, ia memiliki keuntungan untuk membeli kebutuhan lain. Lagi-lagi, keuntungan demi keluarga. Nah... bagaimana dengan para pejabat negeri ini? Keuntungannya untuk siapa? Jika ditanya ini, tentu jawabnya adalah demi rakyat atau demi masyarakat Indonesia.

Setiap kali mendengar jawaban seperti ini, rasanya pingin ngakak sekeras-kerasnya. Kalau memang untuk negeri ini, kenapa lalu ada praktek-praktek korupsi? Kalau memang untuk kepentingan rakyat, kenapa harus satu suara dalam satu partai, sementara suara berbeda dalam satu partai malah dianggap sebagai dosa? Menjadi jelas bahwa politik santun berarti satu suara bulat, tidak ada perbedaan.

Mengapa harus satu suara? Dalam kehidupan pasar, terjadilah apa yang dinamakan transaksi. Dalam transaksi ini terjadilah tawar-menawar. Ketika terjadi kesepakatan, pedagang mendapatkan uang, pembeli pulang dengan barang yang telah dibayarnya. Semua menjadi gembira.. Pedagang mendapatkan untung, pembeli pun demikian. Bagaimana dengan para pejabat negeri ini, yang kadang menjadi pedagang dan pembeli, serta rakyat Indonesia yang hanya bisa menjadi pembeli atau bahkan penonton? Rasa-rasanya rakyat selalu menjadi sebuah alasan masuk akal untuk meraih keuntungan. Tapi, apakah rakyat pun bahagia dan senang ketika ada sebuah dagangan yang dilempar ke pasaran? Bisa ya dan bisa tidak. Semuanya itu tergantung pada sudut pandang dan kaca mata yang kita pakai.

Salam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun