Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Fenomena Merokok dari Sudut Pandang Perokok

15 Juni 2010   01:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:32 864 0

Pagi yang cerah. Mentari pagi menerobos sela-sela pepohonan yang masih berembun. Sebuah panorama yang indah. Sembari menikmati segarnya pagi, secangkir kopi hangat tersaji di atas meja. Dan tak lupa, sebatang rokok terselib di antara jemari. Asap mengepul dan menebarkan aroma kas. Lelaki tua itu tampak menikmati. Di usianya yang menginjak 75 tahun, lelaki itu masih tampak segar dan sehat. Lelaki perokok yang beruntung.

“Belum ke sawah, Mbah? Kok masih santai?” sapaku kepada lelaki tua bernama Mbah Sentot itu.

“Belum, Nak. Sebentar lagi. Ini masih menikmati hidup. Hidup itu kan cuma sekali, mari kita nikmati. Mari lho, Nak. Rokok?” sahutnya sambil menawari sebatang rokok. Saya segera duduk di depannya. Rokok gratis di pagi hari pemberian Mbah Sentot segara kunyalakan. Terasa nikmat. Maklum saja, tanggal tua dapat rokok gratisan. Bener-bener terasa ganda nikmatnya.

“Merokok itu uenak ya, Mbah?” tanyaku kepada Mbah Sentot.

“Tidak hanya enak, Nak. Merokok itu bikin sueger.. Lihat Mbah! Mbah jadi kelihatan muda gini karena merokok. Pikiran selalu jernih.” Dengan semangat mbah Sentot memberikan penjelasan. Saya hanya bisa manggut-manggut. Kebiasaan merokok telah menumbuhkan sugesti di kalangan penikmatnya. Ketika merokok, mereka merasa lebih seger dan akan timbul ide-ide atau aspirasi. Sebaliknya, ketika tidak merokok, badan terasa lemes, susah konsentrasi dan mudah gelisah. Kok bisa? Ini semua karena kadar nikotin yang terdapat dalam sebatang rokok. Selain menyebabkan ketagihan merokok, nikotin juga merangsang pelepasan adrenalin, meningkatkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah, kebutuhan oksigen jantung, serta menyebabkan gangguan irama jantung. Nikotin juga mengganggu kerja saraf, otak, dan banyak bagian tubuh lainnya.

Sembari menikmati rokok gratis pemberian mbah Sentot, saya jadi teringat pelajaran mengenai sejarah rokok. Manusia yang merokok untuk pertama kalinya adalah suku bangsa Indian di Amerika. Tujuan merokok bagi suku Indian untuk keperluan ritual seperti memuja dewa atau roh. Pada abad 16, Ketika bangsa Eropa menemukan benua Amerika, sebagian dari para penjelajah Eropa itu ikut mencoba-coba menghisap rokok. Karena tertarik, mereka membawa tembakau ke Eropa. Kemudian kebiasaan merokok mulai muncul di kalangan bangsawan Eropa. Tapi berbeda dengan bangsa Indian yang merokok untuk keperluan ritual, di Eropa orang merokok hanya untuk kesenangan semata-mata. Kini, kebiasaan itu telah menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Lamunan saya pudar ketika mbah Sentot nyeletuk, “Nak, ternyata biaya pendidikan itu mahal ya?”

“Lha bagaimana tho, Mbah? Jono sudah diterima di SMA?” saya balik bertanya.

“Kemarin itu sudah diumumkan. Jono diterima. Tapi pihak sekolah minta uang masuk yang tinggi. Lha duwit dari mana coba?” terang mbah Sentot. Matanya menerawang jauh. Dari sorot matanya tampak sebuah kekecewaan. Kecewa jika Jono, cucunya, tidak bisa sekolah gara-gara tidak bisa membayar uang sekolah.

Dengan rasa iba, saya pandangi wajah mbah Sentot yang keriput itu. Ketika mataku tertuju pada sebatang rokok yang terselib di antara bibirnya, saya terhenyak. Sebuah hitungan matematis segera terlintas dalam benak saya.

“10.000 x 30 = 300.000,” batinku.

Dalam sebulan, uang Rp. 300. 000,- telah dibakar tanpa sadar. Bukankah uang sebanyak itu sudah cukup untuk membiayai pendidikan Jono? Mengeluarkan uang untuk membeli rokok demikian mudah. Rokok habis langsung beli. Bahkan, ngutang rokok di warung pun akan dilakoni ketika sudah tidak punya uang lagi. Sayangnya, situasi ini akan berubah drastis ketika anak membutuhkan uang untuk biaya sekolah.

Hmmm.. Saya tidak berani bilang apa yang sedang terpikirkan kepada Mbah Sentot. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Dan obrolan pagi itu berakhir ketika saya minta pamit. Dengan langkah gontai saya pulang ke rumah dengan aneka pikiran yang menggelisahkan. Pernyataan Mbah Sentot menggelitik pikiran. Kenikmatan kadang membutakan. Akibatnya jelas: kurang (tidak) bisa membedakan mana yang penting dan mana yang tidak. Demi kenikmatan pribadi, yang penting malah disingkirkan. Sementara yang sama sekali tidak penting justru diutamakan. Demi kenikmatan sendiri, orang lain menjadi kurban.

Salam

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun