Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Artikel Utama

Ganasnya Kehidupan Penakluk Lautan

10 Juni 2010   23:00 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:37 713 0

Hidup adalah sebuah perjuangan. Tak pernah berhenti. Satu kisah perjuangan berakhir, segera menyusul kisah perjuangan berikutnya. Dalam perjuangan itu selalu ada tantangan yang harus ditaklukkan. Adalah para nelayan, sang penakluk lautan yang ganas. Tangan-tangan kekar dan kulit yang terbakar adalah saksi perjuangan mereka. Dalam deburan ombak, mereka melihat masa depan.

Dari Jogja, kami berlima menuju Pantai Siung. Sebuah pantai yang indah di sebelah timur kabupaten Gunung Kidul. Pinginnya sich menikmati pantai Gunung Kidul yang terkenal dengan pasir putihnya. Sembari melepas lelah setelah menempuh perjalan cukup panjang, kami duduk-duduk di bawah rimbunan pohon sambil bersenda gurau. Angin pantai yang lembut disertai uap air laut menghalau panasnya terik matahari.

Ketika sedang berbincang-bincang, kami melihat tiga nelayan yang sedang menghela perahu mereka menuju pantai. Saya dan beberapa teman langsung berlari dan mengambil tempat masing-masing untuk mengabadikan moment itu: perjuangan ketiga nelayan menuju tengah lautan. Deburan ombak laut selatan membelah batu karang. Riaknya menyisir tepian pantai berpasir putih. Ketiga nelayan pantai Siung bersiap-siap menerjang ganasnya ombak pantai selatan dengan perahu mesin tempel. Dengan sabar mereka menunggu ombak yang cukup kuat untuk mengantar mereka menuju tengah lautan. Formasi mereka bentuk. Masing-masing berdiri di tepi perahu. Satu di depan, satu di tengah, dan yang satunya lagi di bagian belakang kapal. Ketika ombak yang dinantikan itu datang, nelayan yang di tengah dan di depan naik ke atas perahu dengan sigapnya. Tidak ada rasa takut dan gentar. Nelayan yang dibelakang masih menahan perahu. Pada saat yang tepat, nelayan paling belakang naik ke atas perahu sambil menyalakan mesin tempelnya. Pada saat yang bersamaan, nelayan yang ada di depan menjaga kesimbangan perahu dengan mengatur posisi duduknya.

Ombak yang besar menghantam kapal kecil itu hingga terangkat ke atas. Lalu terhempas. Kami hanya bisa melongo menyaksikan adegan itu. Luar biasa perjuangan mereka. Pengalaman memudahkan mereka untuk menaklukkan ombak. Ombak besar itu menjadi kawan bagi mereka. Ombak itulah yang mengantar mereka menuju ke tengah lautan. Hingga makin lama, kapal mereka semakin mengecil dan semakin tak terlihat. Ingin rasanya saya bertepuk tangan untuk kegigihan para nelayan itu.

Sambil melihat gambar-gambar hasil jepretan, saya mendekati sekelompok nelayan yang sedang memperbaiki jala.

“Hasilnya banyak, Mas?” tanyaku sambil berharap ada respon dari mereka.

“Lumayan, Mas. Tapi kalau dibandingkan kemarin-kemarin, tangkapan hari ini kurang bagus,” jelas seorang nelayan sambil tetap asyik menyulam jaringnya yang rusak.

“Untuk hidup sehari-hari cukup ya, Mas?” tanyaku lagi.

Sambil menerawang jauh, nelayan itu berbisik, “Ya dicukup-cukupin, Mas?”

Lalu kami ngobrol banyak hal tentang kehidupan mereka. Kehidupan pantai adalah kehidupan yang keras. Sebagian besar dari nelayan pantai Siung terjerat utang. Hal ini bisa dimaklumi karana sebagai nelayan mereka sangat tergantung pada alam dan hasil tangkapan. Padahal, hasil tangkapan tak selalu menjanjikan. Ada kalanya tangkapan ikan demikian melimpah. Namun, terkadang mereka pulang tanpa membawa hasil apapun. Jika sudah demikian, hutang ke warung adalah pilihan utama supaya istri dan anak-anak mereka bisa makan.

Sementara para nelayan sangat tergantung pada hasil tangkapan, mereka pun masih harus mengeluarkan biaya produksi yang tidak sedikit untuk sekali melaut. Mereka harus mengeluarkan biaya sewa kapal. Para nelayan masih harus mengeluarkan biaya untuk bahan bakar. Biaya bahan bakar ini pun tidak sedikit. Belum lagi biaya untuk bahan bakar ini semakin meningkat seiring naiknya harga BBM. Ketika hasil tangkapan hanya pas untuk menutup biaya produksi, apa yang bisa mereka bawa pulang? Pilihan mudahnya ya ngutang di warung atau kepada para pemilik kapal.

Karena mereka sangat tergantung pada alam, maka mereka pun berusaha mensiasatinya. Jika laut lagi tidak bersahabat atau mereka merasa hasil tangkapan tidak maksimal, mereka memilih untuk tidak melaut. Mereka memilih untuk tinggal di rumah sembari memperbaiki peralatan mereka. Nah, jika mereka tidak melaut, dari mana mereka akan hidup? Jika tidak melaut, mereka memancing atau menjala ikan. Dengan cara ini, mereka mencoba menghidupi keluarganya. Tak seberapa hasilnya, namun itu sudah cukup untuk menyambung hidup.

Tak banyak orang yang mau peduli dengan kehidupan para nelayan. Yang mereka tahu bahwa tersedia kebutuhan ikan terpenuhi. Padahal ketika kita mencoba masuk dalam kehidupan mereka, betapa mengenaskan. Rasa iba tak cukup. Tapi apa yang bisa saya buat? Adalah tugas pemerintah untuk melakukan sesuatu untuk mereka. Kemudahan sarana dan prasana harus disediakan. Sebab di tangan merekalah komoditas kelautan akan digarap. Ingat, dua pertiga negeri ini adalah air. Siapa yang akan mengelolanya? Nelayan adalah pasukan terdepan dalam mengelola lautan. Jika pemerintah tidak peduli, jangan menyesal jika kekayaan laut dirampok oleh nelayan-nelayan dari negara tetangga yang memiliki peralatan lebih canggih.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun