Menginjakkan kaki di tanah Sumatra membawa ingatan saya pada budaya Batak. Teringat budaya Batak, saya membayangkan pulau Samosir dan danau Tobanya. Sebuah impian bisa menginjakkan kaki di sana. Dan ketika impian itu menjadi kenyataan, betapa membahagiakannya. Mimpi itu menjadi nyata ketika saya sampai di kota Parapat. Inilah salah satu pintu masuk menuju ke pulau Samosir yang memiliki luas 2069,05 km2. Di Parapat ini, hawa dingin cukup menusuk tulang. Danau Toba seluas 624,80 km2 terlihat indah. Keduanya terbentuk karena letusan Gunung Toba ribuan tahun silam.
Saya datang terlambat sampai ke kota Parapat. Kapal ferry yang akan membawa sampai ke Ambarita telah berangkat pukul 11.30. Kapal berikutnya berangkat pukul 14.30. Untuk menghabiskan waktu, saya berkeliling melihat-lihat situasi pelabuhan kecil ini. Dari pelabuhan ini, kita bisa sampai ke pulau Samosir melalui Ambarita, Tomok, Tuk Tuk, atau Onan Runggu.
Melihat pelabuhan kecil yang strategis ini menimbulkan rasa miris. Tampaknya kesadaran masyarakat belumlah memadai mengingat pentingnya kota ini untuk mengakses pulau Samosir. Kota terlihat kumuh dengan bau amis yang cukup menyengat. Sampah banyak bertebaran menandakan kesadaran masyarakat untuk membuang sampah masih kurang. Akses jalan pun terlihat banyak berlubang dan air tampak menggenang. Alangkah indahnya ketika kota ini tertata. Tentu akan menjadi daya tarik tersendiri.