Mohon tunggu...
KOMENTAR
Pendidikan

Mendidik, Mendoktrin, dan Mengontrol

26 Agustus 2013   03:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:49 2403 0
Ketika anda sebagai guru dihadapkan dengan anak baru masuk sekolah yang masih bloon-bloon, apa gerangan yang ada dalam fikiran anda?

Anak-anak tersebut bagaikan kertas putih yang kosong, dan tugas guru untuk menorehkan pena diatasnya. Jika anda salah menulis diatasnya, maka akan berakibat panjang yang terus dibawa oleh anak-anak hingga mereka dewasa. Bagi guru-guru tingkat dasar, torehan pena itu bukan hanya salinan dari torehan kapur pada papan tulis, akan tetapi contoh perilaku dan perkataan. Semua akan terekam dalam benak siswa-siswa kecil itu. Inilah yang disebut tugas mendidik, yang bukan hanya mengandalkan nalar, akan tetapi memberikan pula benih-benih sikap dan perilaku yang baik kepada mereka.

Mendidik adalah kata mulia yang membangun peradaban manusia. Mendidik adalah pekerjaan membukakan fikiran anak didik, sehinga kelak mereka bisa memutuskan sendiri mana yang baik dan mana yang buruk. Pendidik akan membuat  anak didik mengerti dan mampu mengambil kesimpulan sendiri. Mendidik adalah menyadarkan bahwa mereka adalah manusia yang memiliki akal fikiran yang harus digunakan untuk kebaikan manusia. Mendidik adalah memanusiakan anak-anak manusia. Jika ada kebenaran yang universal, maka melalui pendidikan, anak-anak manusia tersebut akan menemukannya. Karena mereka adalah manusia.

Pendidik tidak boleh mematikan satu pun potensi fikiran dan logika anak didik. Tidak boleh pula mematikan kemampuan anak didik. Sebagai manusia kita harus menyadari bahwa setiap manusia memiliki kemungkinan untuk berbuat salah, menyimpang, atau hilaf. Kenyataan ini seharusnya dimengerti sebagai sifat yang azasi, mendasar, dan ada pada semua orang. Kenyataan yang harus ditangani dengan bijak. Harus disadari bahwa perbuatan salah dari anak didik juga termasuk dalam proses pendidikan, jika guru dapat menyadarkan bahwa perbuatannya salah. Pendidik dapat mengarahkan agar potensi-potensi yang dimiliki, positif ataupun negatif, tersalur dengan baik.

Ketika pendidikan menjadi ajang pemaksaan satu sistem kebenaran tertentu, pada saat itu mendidik berubah menjadi mendoktrin. Jika anak didik dilarang mengetahui atau mempelajari sistem kebenaran lain, logika mereka dibiarkan mati. Mereka akan menjadi manusia yang berfikiran sempit dan tidak terbuka. Mereka akan hanya menerima kebenaran yang diajarkan, dan tidak menerima pemikiran lain dari luar lingkungannya.

Doktrinasi menghasilkan keseragaman berfikir, yang berpotensi menimbulkan konflik dengan kelompok lain yang memiliki gagasan lain. Terutama jika kelompok lain juga memiliki doktrin. Kelompok lain bisa berupa anak sekolah lain, suku lain, atau bahkan bangsa dan negara lain. Dengan doktrin dan logika yang mati, akan memberikan peluang pemanfaatan anak-anak kita oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Karena doktrin dan sistem kebenaran sefihak, sangat mudah untuk disalah artikan. Proses ini akan menghasilkan generasi militan, akan tetapi dengan logika mati, mereka tidak tahu kemana arah dan apa guna miltansi tersebut. Mendoktrin berarti memaksa manusia untuk berfikiran sama dan seragam.

Ketika doktrinasi tidak berhasil, atau sulit diterima anak didik, ada kecenderungan pendidikan berubah menjadi ajang pengontrolan. Dalam kondisi ini sekolah pun berubah fungsi menjadi penjara, dilengkapi dengan aturan-aturan ketat, sanksi dan hukuman, bahkan beberapa dilengkapi pula dengan jeruji besi. Anak didik akan taat dengan cara terpaksa ataupun sukarela. Ini adalah bentuk kegagalan dalam sistem pendidikan, dan kehabisfikiran para pelaksana pendidikan dalam menghadapi kenyataan bahwa manusia memiliki potensi positif dan negatif secara bersamaan. Mengontrol berarti melarang anak untuk memiliki gagasan lain.

Kita harus menyadari dengan mengekang potensi-potensi yang ada (melalui doktrin atau pengontrolan), akan menjadikan energi dalam yang besar (lihat hukum Dalton). Beberapa orang dapat menahan energi dalam ini dan mengendalikannya. Beberapa, karena salah penanganan, akan mengalami ledakan dari energi ini di kemudian hari. Kebanyakan energi dalam akibat kekangan ini keluar ketika mereka telah menjadi manusia mandiri, ketika mereka merasa kekangan tersebut sudah hilang. Ini bisa juga menjadi jawaban, mengapa kita banyak menemukan pribadi-pribadi menyeleweng di negeri ini, koruptor, penipu, manipulator, geng motor, dll. (Baca: salah didik).

Semua kegiatan diatas mendidik, mendoktrin, dan mengontrol, dapat mengadopsi nama yang sama, yakni mendidik. Sebenarnya kita tinggal memilih yang mana yang ingin kita berikan pada anak-anak kita. Masa depan yang bagaimana yang akan kita berikan pada mereka (juga masa depan kita). Pendidikan yang benar akan menjadikan kita bangsa yang terhormat, mampu bergaul dengan bangsa lain (disertai dengan keuntungan turunan lain: berkurang inflasi, bertambah investasi,  makmur, sejahtera, dll). Dengan mendoktrin akan menjadikan mereka orang-orang yang siap berperang, fundamentalis dan keras (lihatlah kenyataan saat ini). Dengan mengontrol akan menjadikan mereka pembangkang-pembangkang sempurna, dan akan teratur hanya ketika alat kontrol ada.

Jadi marilah kita mendidik mereka dengan etika dan nilai-nilai kebaikan yang universal. Biarkanlah otak mereka berfungsi sebagaimana otak manusia, disertai logika, sistem kebenaran (conscience), serta ilmu pengetahuan, dan bisa beresonansi dengan otak manusia lain. Jangan biarkan mereka menjadi penganut sistem kebenaran semu, dan siap berkonfrontasi dengan manusia yang berbeda fikirannya. Biar mereka berfikir logis dan azasi. Karena mereka adalah manusia.

Doktrinasi akan menghasilkan orang berfikiran sempit. Ketika doktrin terbukti salah, akan timbul kebencian dan bahkan peperangan. Bagaikan anak harimau yang dipelihara oleh kerbau, ketika suatu saat dia sadar bahwa dia adalah seekor harimau.

Pengontrolan akan menghasilkan pelanggar dan pembangkang. Ketika kontrol hilang, akan timbul kekacauan dan chaos, karena mereka tidak siap untuk mengatur diri sendiri. Bagaikan binatang ternak yang dilepas di hutan belantara.

Pendidikan menjadikan manusia taat aturan dan rambu-rambu. Ketika aturan hilang, mereka akan mampu membuat dan membangunnya kembali. Karena fikiran dan logika mereka berjalan, dan sadar bahwa mereka adalah manusia yang berada ditengah manusia lain.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun