"Wi, kamu kenapa dari tadi mondar-mandir terus?"
Ibu menghampiri Dewi, melihat Dewi berjalan mondar mandir di ruang tamu.
"Dewi lagi tunggu Fahri Bu, hari ini tanggal jadian kita, Fahri selalu ngajak Dewi makan malam, meski bukan di restauran mewah"
Sesekali Dewi membuka tirai jendela, melihat ke luar jendela, tidak ada tanda-tanda Fahri datang, hujan turun dengan sangat derasnya sesekali terdengar kilatan petir menyambar.
"Dewi, Fahri tidak akan kesini, kasihan dia!"
Ibu kembali menghampiri Dewi, mengusap kepalanya.
"Fahri pasti kesini Bu, Fahri sudah janji sama Dewi, tidak akan tinggalkan Dewi!"
Ibu berjalan ke sofa berwarna marun yang berada diruang tamu, duduk terdiam.
"Bu, Nanti kalau Dewi nikah sama Fahri Dewi kepingin baju untuk akad nikah Ibu yang menjahit ya!"
Ibu Menunduk, tatapannya mulai sendu, aku melihat bulir-bulir air matanya membasahi pipinya yang sudah mengkriput.
"Bu, Kenapa sih? Kenapa Ibu selalu tidak suka tiap kali Dewi membicarakan Fahri, kenapa Ibu tidak suka tiap kali Dewi membicarakan pernikahan Dewi dengan Fahri?"
Ibu masih terdiam, terduduk lemas, menunduk dan setelah itu pasti ibu menangis.
"Selalu Ibu seperti ini, setiap kali aku tanya hal yang sama Ibu hanya bisa menangis, menangis dan menangis!"
Tidak berapa lama, terdengar suara pintu ditutup dengan sangat kerasnya. Dewi masuk kedalam kamar, terdengar suara isak tangis pecah dikamar Dewi, sementara di sofa berwarna marun, aku melihat Ibu memejamkan matanya, air matanya terus membasahi pipinya.
___________________________________
"Wi, sarapan dulu yuk!"
Aku membujuk Dewi yang masih berada dikamar, aku melihat mata Dewi sembab, pasti Dewi menangis semalaman, entah karna Fahri yang tidak kunjung datang, atau karna Dewi berfikir Ibu tidak menyukai pujaan hatinya.
"Wi, hayuk kita sarapan dulu, Mbak Wit masak nasi goreng sosis kesukaan Dewi dari kecil, plus telor mata sapi!"
Aku terus berusaha membujuk Dewi yang masih terdiam diatas kasur memeluk guling, sesekali Dewi membuang wajahnya ketika aku menatapnya.
"Dewi, kamu gak boleh seperti ini terus, kasihan Ibu jadi sedih terus lihat kamu selalu murung!"
Aku duduk dipinggir ranjang tempat tidur Dewi, aku usap pundak Dewi dengan sangat hati-hati.
"Yuk, kita sarapan dulu!"
Dewi menyingkirkan tanganku dari pundaknya.
"Dewi marah sama Ibu ya?"
Aku mencoba bertanya kepada Dewi, agar dia mau mengeluarkan perasaannya, Dewi anak yang sangat tertutup, jika ada suatu masalah dia selalu mengurung diri, butuh kesabaran yang sangat untuk mengatasi sikapnya.
"Dewi cuma kecewa sama Ibu mbak, kenapa Ibu sepertinya selalu tidak menyukai Fahri!"
Kini Dewi membalikkan badannya ke arahku, guling yang dipeluknya menutupi sebagian wajahnya.
"Ibu tidak membenci siapapun Wi, Ibu hanya terlalu mengkhawatirkan dirimu!"
Aku menatap Dewi dengan tatapan penuh Iba, setiap kali aku memberikan pengertian masalah ini ke Dewi, kerongkonganku seperti tercekik.
"Apa yang Ibu khawatirkan dari aku Mbak Wit? Selama aku berpacaran dari SMA dulu dengan Fahri, aku bisa menjaga diri, aku tidak pernah macam-macam, Fahripun selalu ijin ke Ibu atau ke Mbak Wita setiap kali Fahri mau mengajak aku jalan!"
Isak Dewi kembali terdengar lirih, matanya yang masih sembab meneteskan air mata kembali.
"Iya Mbak Wita sangat tau siapa Fahri, dia memang laki-laki yang baik!"
Aku menarik nafas sejenak, entah harus bagaimana aku kembali menjelaskan semua ini ke Dewi.
"Lalu kalau Mbak Wita tau, Fahri memang baik, kenapa Mbak Wita tidak membantu meyakinkan Ibu agar Ibu menyukai Fahri, merestui hubunganku dengan Fahri"
Nada bicara Dewi terlihat emosi kini, sementara diruang makan, aku mendengar isak tangis Ibupun pecah, ku genggam tangan Dewi.
"Dewi, Fahri sudah tidak ada, Fahri sudah meninggal, kalau kamu sayang Fahri, kamu harus mengikhlaskan!"
Aku tak kuasa mengatakan ini, aku menunduk lesu, sudah terbayang apa reaksi Dewi yang akan dilakukan.
"Mbak, kenapa sih? Kenapa Mbak selalu mengatakan Fahri sudah tidak ada? Mbak ini kenapa? Mbak gak suka sama aku? Mbak sirik sama aku? Karna Mbak Wita hingga kini masih sendiri? Tidak pernah punya kekasih sebaik Fahri, tidak pernah merasakan jatuh cinta, karna itu Mbak selalu bilang Fahri sudah meninggal, Mbak tuh memang jahat, lebih jahat dari Ibu!"
Kata-kata Dewi begitu menyakitkan, Dewi selalu beranggapan akupun tidak menyukainya, seandainya Dewi tau, aku seperti ini karena aku begitu sangat menyayanginya, aku merawat semenjak Dewi kecelakaan dengan Fahri tiga bulan yang lalu, tidak pernah aku berfikir untuk bergaul lagi dengan teman-temanku, apalagi untuk pacaran, waktuku tersita hanya untuk Dewi, akupun menitikan air mata, kata-kata Dewi selalu terngiang dalam ingatan. Tapi aku mengerti kecelakaan yang menewaskan Fahri, membuat kejiwaan Dewi tidak stabil.
"Dewi, bukan begitu maksud Mbak Wit, Mbak hanya ingin kamu sadar Wi, kamu.. "
Belum selesai aku menenangkan Dewi, Dewi membuka pintu kamarnya, dan memintaku untuk keluar.
"Maafin Mbak Wi..! "
Braaaaakkkk.. Dewi kembali membanting pintu kamar dengan sangat kerasnya, setelah itu aku mendengar suara Dewi berteriak memanggil nama Fahri, mengatakan aku jahat, Ibu jahat, sangat-sangat menyakitkan.
"Wit, Maafkan adikmu, jangan kau hiraukan kata-katanya!"
Ibu menghampiriku, aku duduk di kursi meja makan, nasi goreng yang aku hidangkan untuk Dewi membuatku seketika meneteskan air mata.
"Wita gak apa-apa Bu, Ibu yang seharusnya lebih sabar menghadapi sikap Dewi!"
Aku menghapus air mata, tak ingin Ibu mengetahui aku meneteskan air mata, Ibu sudah terlalu tua, sudah terlalu banyak berkorban buat Dewi, aku tidak ingin membebani Ibu.
"Bu, sepertinya Dewi harus kita bawa ke rumah sakit jiwa Bu, Dewi sudah sepatutnya mendapatkan perawatan serius!"
Aku berkata dengan sangat hati-hati kepada Ibu, karna aku tahu Ibu akan menjawab tidak, sementara dikamar Dewi, aku masih mendengar suara Dewi berteriak memanggil nama Fahri.
"Tapi Wit, Dewi tidak gila, dia hanya mengalami trauma, belum bisa mengikhlaskan kepergian Fahri!"
Seperti dugaanku, Ibu akan mengatakan hal yang sama setiap kali aku meminta agar Dewi dibawa ke rumah sakit jiwa.
"Tapi Bu, kalau kita tidak segera membawa Dewi ke dokter kejiwaan, Wita kawatir lama kelamaan Dewi akan melukai dirinya sendiri!"
Baru saja aku berkata seperti itu ke Ibu, tiba-tiba dari arah kamar Dewi terdengar suara pecahan kaca.
"Praaanggg..."
Aku dan Ibu saling menatap, lalu aku berlari ke arah kamar Dewi, mendobrak pintu kamar yang di kunci dari dalam oleh Dewi, sekuat tenaga aku terus mendobrak pintu tapi sepertinya sia-sia, Ibu menangis panik
"Wi, buka pintunya Nak, buka pintunya!"
Aku terus berusaha mendobrak pintu kamar, tapi apa daya tenagaku sudah habis terlebih dahulu
"Biar saya bantu Bu!"
Terdengar suara seorang laki-laki menawarkan bantuan untuk mendobrak kamar Dewi. Laki-laki itu bernama Rifki, anak dari Pak Ridwan tetangga sebelah rumah, rupanya Rifki mendengar jeritan Ibu yang panik, dan dia langsung datang kerumah, entahlah apa jadinya jika Rifki tidak ada, semenjak Bapak meninggal, aku, Ibu dan Dewi hanya bertiga dirumah.
"Braaakkkk..."
Seketika pintu kamar Dewi terbuka, aku dan Ibu langsung masuk ke kamar Dewi, Rifki merapihkan pintu yang hampir rubuh.
"Dewi..."
Aku menjerit, melihat tangan Dewi yang berlumuran darah, Dewi terkulai lemas dilantai, wajahnya pucat. Ibu terus menangis, suasana rumah seketika berubah menjadi menegangkan.
"Wit tolong jangan panik, biar aku obati luka Dewi, aku butuh batu es untuk menghentikan pendarahannya, juga kain steril atau perban untuk menutup lukanya!"
Rifki mengangkat tubuh Dewi yang mungil, dia merebahkan Dewi diatas kasur, aku segera mengambil yang Rifki minta tadi. Ibu terus menangis, membuat suasana semakin kacau, entah apa jadinya jika Rifki tidak ada.
"Ibu, sudah tidak usah menangis terus, Dewi tidak apa-apa Bu, hanya luka sedikit karna Dewi memecahkan kaca meja riasnya, sudah saya tangani, kini biarkan Dewi istirahat, alangkah baiknya jika Ibu juga ikut istirahat!"
Rifki mendekat ke Ibu yang masih menangis disebelah Dewi, mengusap kepala Dewi dengan penuh kasih sayang, lalu Ibu merebahkan badannya disisi Dewi, aku berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air putih, Rifki pasti haus.
"Rif silahkan diminum, maaf hanya air putih!"
Aku menghampiri Rifki yang kini duduk diruang tamu, Rifki menatapku
"Terima kasih"
Rifki tersenyum ke arahku, aku sedikit terlihat grogi, tatapan Rifki seketika membuatku salah tingkah.
"Kok bengong? Kamu gak mau temanin aku ngobrol sebentar?"
Rifki terlihat menggodaku, pipiku memerah, dulu ketika aku masih SMA, aku pernah satu kelas dengan Rifki, beberapa teman-teman kelasku pernah mengatakan jika Rifki menyukaiku semenjak kelas satu SMA, tapi aku tidak pernah menghiraukan, karna bagiku sikap Rifki ke aku terlihat biasa aja!"
"Wit, kamu gak usah sungkan, kalau ada apa-apa dengan Dewi, panggil aku saja, kamu masih simpan nomer akukan?"
Rifki kembali menatapku, aku menunduk malu, aku merasa pasti Rifki melihatku seperti seorang wanita tidak terurus.
"Masih, tapi aku kemarin-kemarin masih bisa mengatasi Dewi!"
Aku terus menunduk, tidak berani menatap Rifki, entah kenapa hari itu Rifki terlihat sangat beda, kaos hitam bergambar sablonan salah satu pahlawan super hero membuat wajahnya terlihat lebih bersih, atau mungkin karna Rifki saat ini sudah bekerja, sudah bisa memperbaiki penampilannya, padahal dulu sewaktu SMA dia selalu terlihat berantakan dan kucel.
"Wit, malam minggu besok nonton yuk? Kamu ada acara gak?"
Rifki berbicara seperti orang berbisik ke arahku, aku terus menunduk, jantungku berdegub, aku menarik nafas, entah aku harus menjawab apa.
"Maaf Ki, aku tidak bisa meninggalkan Ibu dan Dewi dirumah berdua saja!"
Kali ini aku memberanikan diri menatap Rifki, Rifki tersenyum.
"Kalau begitu malam minggu besok, aku boleh menemani kamu disini?"
Rifki kembali menggoda ku, tatapan matanya kali ini tepat menuju ke kelopak mataku. Tak kusadari akupun menatap mata Rifki. Aku tersenyum dan mengagukkan kepala.
______________________________
Hari sabtu ini cuaca terlihat cerah, aku yang masih cuti kerja merapihkan rumah, meski ada Bi Ijah yang membantu, tetap saja aku tidak betah kalau tidak ngapa-ngapain dirumah.
"Bi, Dewi sudah bangun?"
Aku menemui Bi Ijah yang sedang menjemur pakaian dihalaman depan rumah.
"Neng Dewi lagi di dapur dari pagi, Bibi mau masak katanya biar neng Dewi saja!"
Mendengar jawaban Bi Ijah, aku segera berjalan ke dapur, tidak seperti biasanya Dewi masak? Aku kawatir Dewi melukai dirinya dengan benda tajam yang ada di dapur.
"Wi, lagi apa..? "
Aku bertanya dengan sangat hati-hati, Dewi terlihat begitu bersemangat, dia sudah mandi dan dandan rapih, memakai baju terusan berwarna biru dongker dengan rambut dijepit, jepitan rambut senada dengan warna bajunya.
"Lagi masak Mbak, hari ini Dewi mau masak ayam kecap, capcay bakso, sama goreng tahu!"
Dewi tersenyum kearahku, matanya tak lagi sembab
"Mbak Wita bantu ya?"
Aku berjalan ke arah kompor, untuk membalik tahu goreng yang sudah digoreng oleh Dewi.
"Udah Mbak, gak usah Mbak Wita hari ini santai saja, nikmati cutinya, santai-santai nonton TV atau mungkin Mbak perlu kesalon?"
Dewi kembali tersenyum kearahku.
"Tapi Mbak khawatir kamu.. "
Aku mendekati Dewi, yang sedang menuangkan tahu goreng ke piring
"Kenapa? Mbak Wita takut Dewi bunuh diri gitu? Nusuk tangan Dewi dengan pisau dapur?"
Dewi memandangku sinis.
"Bukan begitu Wi.. "
Lalu Dewi meninggalkanku di dapur, berjalan ke ruang meja makan dan menyiapkan semua masakan di meja makan.
"Masak apa Wi?"
Aku melihat Ibu menghampiri Dewi, Ibu duduk dikursi meja makan.
"Wah sepertinya enak Wi, Ibu jadi laper!"
Ibu mengambil tahu goreng yang masih terlihat panas diatas piring yang sudah ditata rapih oleh Dewi.
"Malam ini Dewi mau ngajak Fahri makan malam dirumah Bu, makanya sengaja Dewi masak hari ini!"
Ibu yang sedang mengunyah tahu goreng seketika berhenti, ditaronya tahu goreng diatas piring, raut wajah Ibupun berubah
"Fahri.. Selalu Fahri.. "
Bisikku dalam hati, Aku menghampiri Ibu yang kini kembali duduk terdiam dikursi meja makan.
"Makan yuk Bu, sepertinya masakan Dewi enak!"
Aku menuangkan nasi ke piring Ibu.
"Wi, Mbak sama Ibu makan duluan ya, kamu juga makan bareng yuk!"
Aku berteriak ke Dewi, selesai masak Dewi langsung masuk kamar.
"Makan saja duluan Mbak, Dewi tunggu Fahri saja, sebentar lagi Fahri datang!"
Aku dan Ibu saling terdiam, kemudian saling menatap, aku genggam tangan Ibu.
"Biarkan saja Bu, sekarang kita makan ya Bu!"
Aku melihat ibu seperti enggan memasukan suapan nasi kedalam mulutnya. Tidak berapa lama, air mata Ibu menetes, sepertinya Ibu sudah kehilangan selera makan.
"Bu sudah jangan nangis , Ibu harus makan, jaga kesehatan Ibu, nanti kalau Ibu sakit, apa Ibu tega sama Wita? Wita harus kerja juga, harus ngurus Dewi juga, ngurus Ibu juga? Terus yang ngurus Wita siapa?
Aku tersenyum kearah Ibu, mencoba menguatkan Ibu, meski hati aku sendiri menjerit, aku harus kuat di depan Ibu, aku tidak boleh terlihat sedih, cukup Ibu bersedih dengan kondisi Dewi saat ini.
"Iya Wit, akhir-akhir ini Ibu sepertinya tidak berselera makan, badan Ibu juga gak enak!"
Ibu mengambil gelas berisi teh panas, sebelum makan aku membuatkan teh tawar panas untuk Ibu.
"Tapi Ibu harus tetap paksakan, sedikit saja. Nanti habis makan Wita pijitin Ibu, minum obat terus Ibu istirahat tidur siang!"
Aku merapihkan piring sisa aku makan, aku bawa kedapur dan langsung mencuci piring, sebenarnya aku sendiri tidak berselera makan, tapi aku paksain, aku tidak ingin sakit. Setelah selesai cuci piring, aku mengajak Ibu ke kamar untuk aku pijitin badannya, setelah itu Ibu tertidur pulas.
"Sehat terus Bu.. "
Bisikku dalam hati, dan menutup rapat pintu kamar Ibu.
_________________________________
Di sabtu malam, aku melihat Dewi bernyanyi-nyanyi, mengenakan baju terusan berwarna jingga dengan rambut digerai, Dewi terlihat sangat cantik saat itu.
"Mau kemana Wi? Rapih bener?
Aku menghampiri Dewi dikamarnya, Dewi menyisir rambutnya dengan bersenandung riang.
"Mbak Wit gimana sih? Kan tadi siang Dewi sudah bilang, malam ini Fahri mau datang, kita mau makan malam bareng disini!"
Dewi meletakkan sisirnya dimeja rias berwarna putih.
"Ting tong ting tong.. "
Suara Bel berbunyi, aku teringat pasti itu Rifki, diakan janji mau main kesini malam minggu ini, aku berjalan keluar untuk membuka pintu.
"Udah mbak gak usah, biar Dewi saja yang buka pintu, pasti Fahri yang datang!"
Dewi berlari kecil menuju ruang tamu, membuka pintu, dan..
"Fahri, kamu kemana saja?"
Aku melihat Dewi memeluk Rifki, erat dan lama sekali, Rifki terlihat bingung
"Tapi aku bukan.. "
Dewi langsung menarik tangan Rifki masuk kedalam, Rifki duduk diruang tamu, disofa berwarna marun.
"Kamu kemana aja Ri? Aku kangen!"
Dewi duduk disebelah Rifki, terus menggenggam tangan Rifki, Rifki terlihat tidak nyaman, aku mengagukkan kepala agar Rifki mau berpura-pura menjadi Fahri, Dewi terlihat sangat bahagia saat itu.
"Wi, mending Rifkinya dibuatin minum dulu!"
Aku menghampiri Dewi dan Rifki diruang tamu.
"Rifki? Siapa Rifki Mbak?"
Dewi menatapku aneh, seketika raut wajahnya berubah.
"Maksud Mbak, kamu buatin Fahri minum dulu!"
Aku mencoba mencairkan suasana, tidak ingin Dewi marah, Dewi terlihat begitu bahagia malam ini, aku tidak ingin merusak suasana hatinya.
"Mbak Wita temani Fahri dulu ya, Dewi sekalian mau siapin makan malam dulu buat Fahri!"
Dewi berlari kecil menuju dapur, dia terus bersenandung, rasanya aku belum pernah melihat Dewi sebahagia ini, aku duduk disebelah Fikri.
"Wit, aku kesini mau ketemu sama kamu, mau ngobrol sama kamu, kenapa jadi..?"
Fikri berbisik kearahku.
"Maaf Fik, sepertinya malam ini kamu harus berpura-pura menjadi Fahri, Dewi sangat terlihat bahagia, kamu dengan Fahri memang hampir mirip dari postur badan kalian, Dewi belum bisa menerima kalau Fahri sebenarnya sudah meninggal dunia pas kecelakaan itu!"
Aku mencoba menjelaskan ke Fikri, dan meminta Fikri untuk membuat Dewi senang.
"Tapi aku kesini mau bilang sesuatu ke kamu!"
Fikri menggeser tempat duduknya dan mendekatiku.
"Aku suka kamu, dari kita masih di SMA Wit, hingga sekarang aku belum pernah pacaran, karna aku ingin mengatakan ini dari dulu sama kamu, tapi aku belum ada keberanian!"
Fikri mengambil tanganku, menggenggam erat, jantungku berdegub kencang, sejujurnya aku merasakan hal yang sama, hingga saat ini aku tidak mau pacaran, aku berharap Fikri menyatakan rasa cintanya padaku.
"Kamu maukan Wit jadi pacar aku? Jadi calon istri aku?"
Genggaman tangan Fikri semakin erat. Aku mengagukkan kepala dan tersipu malu, Fikri mengusap kepalaku.
"Tetapi untuk malam ini, aku ingin kamu berpura-pura menjadi Fahri, agar Dewi senang, bagiku kebahagian Dewi segalanya!"
Aku menatap Fikri, Fikri tersenyum dan mengagukkan kepalanya. Dan..
"Sayang, makan malam kita sudah siap, aku masak siang tadi buat kamu, kita makan dulu yuk!"
Dewi menghampiri aku dan Fikri yang sedang duduk diruang tamu, aku langsung menjauh dari Fikri, agar Dewi tidak curiga. Dan memberikan isyarat agar Fikri mau memenuhi permintaan Dewi.
"Duduk disini sayang, aku mau duduk dekat kamu!"
Dewi menarik kursi meja makan untuk Fikri, dan dalam sekejap aku melihat Dewi makan dengan lahapnya, belum pernah aku melihat Dewi sebahagia itu, selesai makan malam, Dewi dan Fikri kembali ke ruang tamu, mereka bercanda, tertawa riang dan aku melihat kebahagiaan Dewi dari ruang TV
"Wit, kenapa kamu melakukan ini?"
Ibu menghampiri aku, duduk disebelahku.
"Ibu sudah mendengar percakapan kamu dengan Fikri, kamu meminta Fikri untuk berpura-pura menjadi Fahri? Mengapa kamu melakukan ini Nak?
Ibu mengusap kepalaku, penuh rasa sayang atau mungkin kasihan, entahlah..
"Gak apa-apa Bu, Wita hanya ingin Dewi bahagia!"
Aku mengganti chanel TV, aku melihat ke ruang tamu, Dewi dan Fikri semakin terlihat akrab, terlebih Dewi terus tertawa sangat bahagia.
"Mbak Wita mana Wi? Suruh kesini dong, biar kita ngobrol bareng-bareng!"
Aku mendengar suara Fikri berkata pada Dewi, Dewi memanggilku.
"Mbak Wit, Mbak Wit!"
"Iya Wi.. "
Aku berjalan ke ruang tamu, Dewi tersenyum manis kearahku.
"Mbak Wit, Fahri minta Mbak Wit ngobrol bareng-bareng sama kita!"
Dewi memintaku untuk duduk, lalu Dewi berdiri dan menghampiriku.
"Mbak Wit temani Fahri sebentar ya, aku mau kebelakang, lupa kalau tadi aku buat puding sepertinya enak kalau kita makan puding dan aku buat es buah!"
Dewi berjalan ke dapur, meninggalkan aku dengan Fikri berdua diruang tamu.
"Wit, kalau aku terus menerus menjadi Fahri, bagaimana aku bisa ngobrol denganmu?"
Fikri kembali menatapku, menggenggam tanganku.
"Fik, aku mohon selama Dewi merasa nyaman dan bahagia dengan kamu, tetaplah kamu menjadi Fahri, aku tidak pernah melihat Dewi sebahagia malam ini, bahkan tadi dia makan dengan sangat lahapnya!"
Aku menatap Fikri penuh harap, berharap Fikri bisa memenuhi permintaanku.
"Tapi Wit, kita baru saja jadian, aku ingin banyak ngobrol dengamu!"
Fikri semakin mendekat ke arahku, aku menjauhkan duduk ku dari Fikri, aku tidak ingin Dewi mengetahui bahwa Fikri bukanlah Fahri.
"Nanti ada waktunya Fik, kali ini aku mohon padamu, buatlah Dewi bahagia!"
Aku tersenyum ke arah Fikri, Fikri menatapku seakan dia tidak menyukai ide gilaku ini. Hal terpenting Dewi bahagia, bisikku dalam hati.
"Sayang, ini aku buat puding cobain ya!"
Dewi datang dengan membawa piring berisi puding coklat dengan fla vanilla, dan memberikannya kepada Fikri.
"Maaf, tapi aku masih kenyang!"
Fikri menolak puding pemberian Dewi, seketika wajah Dewi terlihat sedih, aku diam-diam melirik ke arah Fikri, dan mengaggukkan kepala, memberi tanda agar Fikri mau menerimanya dan mencicipi puding buatin Dewi meski hanya sedikit.
"Tapi bolehlah, kelihatannya enak Wi, aku cobain ya!"
Fikri segera mengambil puding yang sudah Dewi taro di atas meja.
"Gitu dong sayang, gimana puding buatan aku? Enakkan?"
Dewi mendekat ke arah Fikri, menatap Fikri dengan manja, aku melihat Dewi sangat bahagia, dan Dewi berhak untuk bahagia.
"Kalian ngobrol lagi ya, aku ke kamar sebentar, sepertinya mata mulai ngantuk!"
Aku Tersenyum pada Fikri dan Dewi, Fikri menatapku kembali, seakan dia tidak ingin aku pergi, aku memang tidak ingin pergi, tapi aku tidak ingin merusak suasana kebahagiaan Dewi, aku bisa merasakan malam ini Dewi terlihat sangat bahagia, sangat. Aku berjalan menuju kamarku.
"Tuhan, jika memang Fikri sungguh dapat membuat Dewi bahagia, dekatkanlah hati mereka, meski aku sangat mencintai Fikri, tetapi aku lebih mencintai adik kandungku sendiri, kebahagiaan Dewi adalah segalanya!"
Aku memeluk guling kesayanganku, ada tetesan air mata membasahi pipiku, entah karena aku sungguh bahagia melihat Dewi bahagia, atau karena aku..? Ah, ku coba pejamkan mata, dan akupun tertidur pulas.
_______________________________
Sepertinya doa'ku terkabul, Dewi dan Fikri, semakin terlihat sering berkomunikasi, kadang aku melihat Dewi senyum-senyum sendiri buka pesan singkat, pasti dari Fikri. Bisikku dalam hati.
Drrttt.. Drttt..
Telepon genggamku bergetar, kulihat layar Hpku, satu panggilan masuk "FIKRI"
Drttt.. Drttt..
Aku segera mengambil telepon genggamku, yang aku letakkan di meja ruang TV, aku tidak ingin Dewi mengetahui kalau Fikri menelfonku, ku lihat Dewi sedang asik berbincang dengan Ibu di teras belakang rumah, aku segera masuk ke kamar, ku kunci pintu kamar, agar Dewi tidak tiba-tiba masuk ke kamarku.
"Hallo.. "
Aku menyapa terlebih dahulu.
"Wit, aku mau ke rumah sekarang!"
Suara Fikri terdengar jengkel
"Ada apa Fik?"
Aku bertanya heran, mendengar suara Fikri sepertinya sangat jengkel.
"Aku akan jelaskan ke Dewi, kalau aku bukan Fahri, hentikan ini semua Wit!"
Suara Fikri kali ini terdengar seperti membentakku.
"Jangan Fik, aku mohon tetaplah seperti ini!"
Aku menghiba kepada Fikri, agar Fikri tidak melakukan ini semua, aku baru saja melihat Dewi sangat bahagia.
"Tapi aku gak mau seperti ini Wit, aku mencintai kamu, bukan mencintai Dewi, kamu tau, semenjak kejadian malam minggu itu aku menjadi Fahri, setiap hari Dewi WA aku, panggil aku Fahri, panggil aku sayang, apa-apaan ini?"
Suara Fikri terdengar jelas semakin jengkel, sangat jengkel. Seandainya saja dia bicara itu langsung ke aku, aku sudah bisa membayangkan raut wajah Fikri seperti apa.
"Tapi apa kamu tau juga Fik? Semenjak Dewi menganggap kamu Fahri, perubahan Dewi sangat drastis, Dewi terlihat lebih ceria, lebih semangat, dan yang pasti Dewi tidak pernah murung lagi!"
Aku berkata dengan sangat hati-hati, agar Fikri tidak tersinggung, awalnya aku hanya ingin Fikri berpura-pura mencintai Dewi, tetapi setelah aku melihat perubahan yang sangat drastis pada diri Dewi, aku menginginkan Fikri tulus mencintai Dewi.
"Aku mohon sama kamu Fik, jika kamu sungguh-sungguh mencintai aku, maka berikanlah cintaku kepada Dewi!"
Aku berkata lirih, ada buliran air mata kembali membasahi pipiku, suaraku tersendat.
"Tapi Wit kamu tau, aku dari dulu mencintai kamu, dari pertama kita bertemu di bangku SMA kelas satu, dan aku belum pernah lagi jatuh cinta selain denganmu Wit!"
Tiba-tiba suara Fikripun seakan sayup-sayup terdengar, terdengar lirih dan begitu menghiba.
"Aku tau Fik, begitupun aku, aku sangat mencintai kamu, hingga saat ini!"
Aku tak kuasa menahan tangis, ku basuh air mataku yang membasahi pipi, ku pejamkan mataku, nyatanya air mata itu semakin banyak menetes.
"Lalu kalau kita saling mencinta, mengapa kamu melakukan ini semua Wit? Kita bisa pelan-pelan kasih pengertian ke Dewi kalau kita sebenarnya saling mencin.. "
"Fik, kalau kamu berada di posisi aku, apakah kamu akan melakukan hal yang sama? Apakah kamu tega melihat adikmu sendiri bersedih?"
Aku memotong pembicaraan Fikri, berharap Fikri mengerti, mengapa aku melakukan ini semua.
"Percaya sama aku Fik, kelak kamu akan mencintai Dewi, seperti kamu mencintai aku, Dewi tidak gila, dia anak yang manis, aku mohon jaga Dewi untuk aku!"
Tuuutttttttt...
Ku tekan tombol "Akhiri" di telepon genggamku, ku jatuhkan tubuhku dikasur, aku menangis, terus menangis
"Mbak Wit ini kenapa sih? Seperti gak suka aku menjalin hubungan dengan Fahri, selalu mengatakan Fahri sudah tidak ada, Mbak Wit iri sama aku? Karna hingga saat ini Mbak Wit belum pernah pacaran?"
Kembali aku mengingat kata-kata Dewi yang sangat menyakitkan hati, seandainya saja Dewi tahu, bagaimana aku menyayanginya, mungkin Dewi tak akan berkata seperti itu.
Isak tangisku semakin menjadi, ada sesak yang kurasakan, ku peluk kembali guling kesayanganku, yang setia meredam tangisku, aku tidak ingin Dewi Tahu aku menangis, apalagi Ibu, karena kedua orang itu adalah segalanya dalam hidupku.
"Tok..tok.. Tok.. "
Terdengar suara pintu kamarku diketuk, aku segera menghapus air mataku, berlari ke meja rias, memastikan apakah wajahku terlihat seperti habis menangis? Aku berkaca di cermin meja rias kamar.
"Mbak Wit, Mbak Wit.. "
Benar saja suara Dewi memanggil namaku, mataku terlihat sembab, bagaimana aku harus menjelaskan ke Dewi jika dia bertanya?
"Iya sebentar Wi, Mbak lagi ganti baju!"
Aku berbohong, berharap aku bisa menghilangkan sembab pada mataku.
"Ibu ngajak makan siang bareng Mbak!"
Dewi masih mengetuk-ngetuk pintu kamarku, mungkin Dewi berfikir lama sekali aku berganti baju.
"Iya Wi, nanti Mbak nyusul Dewi sama Ibu makan saja duluan, Mbak masih kenyang!"
Aku terus mencari alasanku, aku akan keluar kamar jika mataku sudah tidak sembab.
"Loh, Mbak Wit gimana sih? Mbak kan tadi pagi gak sarapan apa-apa, kok bisa kenyang? Buka dong Mbak pintunya, ganti baju kok lama banget?"
Ah, Dewi memperhatikan saja kalau aku memang tidak sarapan tadi pagi. Dewi juga sepertinya mulai curiga aku tidak segera membuka pintu kamar.
"Iya hayuk makan.. "
Aku membuka pintu kamar, dan terus berjalan ke ruang makan, aku melihat Ibu sudah duduk menunggu di kursi meja makan.
"Mbak hari ini kita jalan yuk? Udah lama kita gak jalan berdua!"
Sambil menuang nasi ke dalam piring, Dewi berkata ke arahku. Aku menundukkan pandanganku, agar Dewi tidak melihat mataku yang masih sembab.
"Boleh, udah lama banget memang, kita nonton yuk Wi, ada film bagus di bioskop!"
Aku terus berusaha menghindarkan kontak mata pada Dewi, aku tidak ingin Dewi bertanya macam-macam padaku.
"Mbak Wit, Mbak Wit habis nangis ya?"
Dewi menghampiriku, mendongakkan kepalaku yang memang aku tundukan sedari duduk di kursi makan.
"Enggak kok, Mbak Wit tadi.. "
Aku bingung harus bilang apa ke Dewi.
"Mbak Wita kalau sudah seperti itu, hanya kangen sama almarhum Bapak Wi, Ibu sudah hafal betul!"
Tiba-tiba ibu berkata dengan sangat lembut, sepertinya Ibu tahu apa yang sedang aku hadapi terhadap perasaanku sendiri.
"Bener Mbak Wit kangen sama Bapak?"
Dewi terus menatapku, berdiri di sebelahku, tatapannya seakan penuh tanya.
"Iya bener, belum lama ini Mbak Wit, ngimpiin Bapak, terus jadi kangen aja!"
Lagi dan lagi aku berbohong pada Dewi, Dewi tersenyum dan kembali duduk di kursi meja makan tepat di depanku.
"Gimana kalau sebelum nonton, kita ziarah dulu ke makam Bapak? Dewi juga kangen sama Bapak!"
Suasana siang itu di meja makan hening sesaat, aku melihat ke arah Ibu yang duduk tepat di sebelahku, Ibu menundukkan wajahnya, aku melihat Dewi yang makan dengan sangat lahapnya, Dewi terlihat semakin cantik, senyumnya terus mengembang, raut wajahnya terpancar kebahagiaan, semenjak Dewi berfikir Fikri adalah Fahri, Dewi Jatuh cinta pada Fikri, dan aku bisa merasakan.
__________________________________
Sudah hampir enam bulan terakhir ini, aku memperhatikan Dewi semakin membaik, bahkan kini Dewi punya kesibukan baru jualan On line, dan aku melihat Dewi sangat menikmati kesibukan barunya.
"Gimana Wi penjualan On line kamu? Ramaikan?"
Aku menghampiri Dewi yang sedang menyiapkan beberapa barang yang akan di kirim, ada tas, dompet, baju anak-anak dan masih banyak lagi.
"Alhamdulillah Mbak, ini ada yang Dewi mau kirim ke Jawa tengah!"
Dewi menunjuk satu paket yang sudah terbungkus rapih.
"Syukurlah Mbak seneng dengernya!"
Aku tersenyum pada Dewi, aku berjalan ke kamarku, tiba-tiba Dewi memanggilku.
"Mbak Wit, boleh kita bicara sebentar?"
Dewi berdiri menghampiriku, memegang tanganku, aku menatap Dewi penuh tanya, tidak seperti biasanya Dewi seperti ini.
"Ada apa Wi? Tumben serius banget?"
Aku tertawa kecil, melihat wajah Dewi yang serius, tidak seperti biasanya Dewi seperti ini, bisikku dalam hati.
"Ya sudah begini saja, Mbak Wita kan baru pulang kerja, pasti capek ya? Gimana kalau Mbak Wit mandi dulu, habis itu Dewi buatin Mbak Wit susu coklat hangat, sama kudapan kesukaan Mbak Wit, pisang goreng!"
Kali ini Dewi semakin aneh, tiba-tiba mendadak manis sekali sikapnya terhadapku, tidak seperti biasanya, ada apa sih? Aku jadi semakin penasaran saja.
"Boleh, sekarang Mbak mandi dulu ya, nanti kalau susu coklatnya sudah siap dengan pisang gorengnya kamu panggil Mbak dikamar!"
Aku mengusap kepala Dewi, Dewi semakin cantik, usianya yang masih 23 tahun terlihat seperti anak 19 tahun, Dewi memang selalu manja meski terkadang sifatnya menyebalkan, tapi itu yang membuatku sangat menyayanginya.
Aku berjalan ke kamarku, ku kunci pintu kamar, aku rebahkan badanku sebentar di atas kasur, aku memandang langit-langit kamar, tiba-tiba teringat pada Fikri, sejak terakhir telefonan saat aku meminta Fikri untuk mencoba mencintai Dewi, Fikri tidak lagi menghubungiku, apakah ini ada kaitannya dengan apa yang akan Dewi sampaikan nanti? Kenapa tiba-tiba aku berfikir seperti itu? Ah, sudahlah lebih baik aku segera mandi, jangan sampai Dewi selesai menyiapkan susu coklat hangat dan pisang goreng, aku masih rebah-rebahan dikasur, aku bergegas ke kamar mandi.
"Mbak kita ngobrolnya di teras belakang yuk, susu coklatnya sama pisang goreng sudah ada di sana!"
Dewi menghampiriku seusai aku mandi sore, hari ini aku memang pulang lebih cepat, biasanya jam 7 malam aku sudah sampai dirumah, tapi hari ini jam 5 aku sudah rapih mandi, dan Dewi tidak seperti biasanya mengajak aku ngobrol berdua.
"Iya, nanti Mbak nyusul ya, Mbak keringin rambut sebentar, hari ini jalanan berdebu rasanya, rambut Mbak lengket semua!"
Aku menyalakan hair dryer untuk mengeringkan rambut.
"Ya lama dong, nanti keburu dingin loh susu coklatnya!"
Dewi berdiri di depan pintu, seakan keberatan untuk aku mengeringkan rambut terlebih dahulu.
"Ok, yuk Mbak jadi gak sabar kepingin minum dan cicipi pisang goreng buatan kamu!"
Aku mematikan hair dryer, aku urungkan niatku untuk mengeringkan rambut terlebih dahulu, aku tidak ingin melihat Dewi kecewa, selain itu aku juga tidak sabar kepingin tahu apa yang akan Dewi bicarakan. Aku dan Dewi berjalan ke teras belakang, di teras belakang ada kursi tua dari kayu jati peninggalan Bapak dulu, Dua kursi dan satu meja berbentuk bundar, di atas meja sudah tersedia segelas susu coklat hangat, pisang goreng, dan puding coklat dengan fla vanilla seperti biasa.
"Buat Puding lagi Wi?"
Aku mengambil gelas susu dan meminumnya sedikit demi sedikit karena masih terlihat panas.
"Iya, Buat Mas Fikri, dia jadi suka puding coklat buatan aku!"
Aku kaget mendengar jawaban Dewi, dia menyebut Fikri? Kenapa tidak Fahri? Aku mencoba untuk tidak menunjukkan rasa terkejutku kepada Dewi, Dewi duduk di sebelahku, dia membuat teh manis hangat, dan meminumnya.
"Mbak, aku gak tau harus mulai dari mana, yang pasti aku sekarang mengerti mengapa Mbak Wita melakukan ini semua!"
Dewi memulai percakapan, aku sedikit merasa tidak nyaman, aku ambil pisang goreng buatan Dewi dan memakannya.
"Melakukan apa Wi!?"
Tanyaku sambil mengunyah pisang goreng yang manisnya pas sekali.
"Mas Fikri sudah memberitahu aku semuanya, apa yang sudah Mbak Wita lakukan untuk aku, Mbak Wita mengorbankan perasaan Mbak demi aku, padahal Mbak Wita sangat mencintai Mas Fikri!"
Dewi menundukkan pandangannya, masih ada yang ingin Dewi sampaikan, aku menunggu saja sampai Dewi selesai berbicara.
"Mas Fikri juga yang memberi tahu aku, kalau Mas Fikri bukanlah Fahri, Fahri sudah meninggal semenjak kecelakaan waktu anter aku pulang setelah kita malam mingguaan!"
Kali ini aku melihat mata Dewi berkaca-kaca, dan tidak berapa lama air mata Dewi terjatuh, menetes membasahi pipinya.
"Maafin aku Mbak, padahal Mbak dan Ibu sering memberi tahu aku kalau Fahri sudah meninggal, tapi entah kenapa aku seakan tidak mempercayai semuanya, aku masih belum bisa terima akan kepergian Fahri!"
Isak tangis Dewi mulai terdengar jelas, aku kembali mengambil gelas susu coklat, entah apa yang harus aku katakan, nanti..
"Waktu malam minggu Mas Fikri datang untuk menemui Mbak, sejujurnya aku memang melihat Mas Fikri itu seperti Fahri, gaya berpakaiannya, postur tubuhnya, aku melihat sosok Fahri dalam diri mas Fikri!"
Kali ini Dewi menatapku, aku menundukkan pandanganku, aku tidak ingin Dewi mengetahui perasaanku saat ini, hancur mendengar kata-kata itu, tapi aku bahagia karena itulah awal kebahagiaan Dewi.
"Dan waktu Mbak lama dikamar ketika aku mengetuk kamar Mbak Wit, untuk mengajak makan siang, Mas Fikri cerita bahwa Mas Fikri sedang telefon Mbak Wit, meminta agar Mbak Wit tidak melanjutkan sandiwara ini, tapi Mbak Wit yang malah memohon kepada Mas Fikri, agar Mas Fikri mau mencintaiku dengan tulus!"
Suara Dewi terdengar semakin terisak-isak, tak terasa akupun ikut meneteskan air mata. Entah apa lagi yang akan Dewi katakan, rasanya aku hancur terlebih dahulu.
"Hingga akhirnya, Mas Fikri berusaha untuk mencintaiku, menyayangiku, dan aku merasakan ketulusan dalam diri Mas Fikri, kini kita berdua saling jatuh cinta, bahkan Mas Fikri yang memberikan aku modal agar aku bisa berjualan On line, dan mas Fikri juga yang membuat aku untuk menerima bahwa Fikri bukanlah Fahri!"
Dewi menarik kursi jati berwarna coklat tua itu untuk berada lebih dekat ke araku, lalu Dewi menatapku, memegang erat tanganku, kali ini aku tak kuasa menahan air mataku, ku tatap Dewi penuh kasih sayang.
"Mengapa Mbak Wita melakukan ini?"
Dewi menangis terisak, terus menggenggam tanganku dengan erat. Ingin aku berkata sesuatu tetapi rasanya tenggorokanku tercekik, aku dan Dewi kini hanya sama-sama meneteskan air mata.
"Karena Mbak sangat menyayangimu Wi, sangat, melebihi dari apapun!"
Aku dan Dewi berpelukan, kami menangis sore itu, ada rasa yang sulit untuk aku ungkapkan, aku hanya ingin melihat Dewi bahagia, itu saja.
"Mbak seneng Wi, Fikri memang orang baik, dan dia layak untuk mencintaimu, karena kamu juga baik!"
Aku mengusap air mata Dewi, Dewipun mengusap air mataku, sore itu menjadi moment terindah dalam hidupku.
"Tuhan jaga Dewi dan Ibu untukku"
Bisikku dalam hati.
_____________________