Mohon tunggu...
KOMENTAR
Inovasi

BlankOn Banyumas dan Banyumas Goes Open Source

16 Agustus 2012   06:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:41 203 1
Banyumas memasuki babak baru dalam dunia teknologi informasi. Sebagai pusat satelit kota-kota bekas Karisidenan Banyumas, Purwokerto juga menjadi barometer kreativitas anak bangsa, tak terkecuali dunia piranti lunak.

Pemanfaatan komputer di daerah Banyumas telah merambah dunia perdesaan. Semua kantor desa menggunakan komputer untuk dukungan kerja administrasi dan layanan publik. Umumnya, warga menggunakan personal komputer (PC) dan komputer jinjing. Namun, sebagian besar komputer masih diperlakukan sebagai pengganti mesin ketik (kantoran) dan penyimpan data.

Agar piranti keras komputer bekerja dengan baik diperlukan sistem operasi dan program aplikasi. Program aplikasi dibutuhkan untuk melakukan kerja komputansi, seperti pengolah kata, gambar, suara, video, maupun menjalankan perhitungan.

Di banyak negara, pembelian piranti lunak biasanya dilakukan secara terpisah dengan piranti keras. Namun, sebagian besar pengguna komputer di Indonesia membelinya secara bersamaan, baik piranti lunak bersifat legal maupun ilegal.

Setali tiga uang dengan pengguna komputer di Indonesia, sebagian besar pengguna komputer di Banyumas menggunakan piranti lunak ilegal. Pada 2005, Business Software Alliance (BSA) dan International Data Corporation (IDC) memasukan Indonesia dalam daftar hitam negara pembajak ranking dua di dunia. Prosentasi pembajakan di Indonesia sangat mencengangkan; pada 2004 (87%), 2005 (87%), 2006 (85%), 2007 (84%), 2008 (85%), dan 2009 (86%). Jadi, dari 100 orang pengguna komputer di Indonesianya ada 86 pengguna menggunakan piranti lunak bajakan.

Modus operandi pembajakan bisa sangat beragam, mulai dari perorangan, pengecer, maupun toko komputer. Modus pertama, pembajakan dilakukan oleh pengguna akhir perusahaan (corporate end user piracy). Modus kedua, pembajakan dilakukan oleh pedagang secara eceran (retail piracy). Modus ketiga, pembajakan dilaukan oleh toko komputer yan g mengisi produk komputernya dengan piranti lunak bajakan (hard disk loading piracy).

Apakah Indonesia tidak ada piranti hukum untuk mengatasi praktik pembajakan? Jauh sebelum BSA dan IDC merilis laporan di atas, Indonesia memiliki Undang-Undang No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Pada undang-undang itu disebutkan jika seseorang atau perusahaan terbukti melakukan tindak pembajakan, maka perusahaan yang bersangkutan dan manajemen senior perusahaan tersebut dapat dihukum maksimal tujuh tahun dan denda sebesar 5 milyar rupiah.

Tingginya angka pembajakan disumbang oleh tiga sebab utama. Pertama, ketidaktahuan pengguna. Sebagian besar pengguna komputer akan bereaksi keras bila dituduh sebagai pencuri. Sebagian besar pengguna komputer tidak tahu piranti lunak yang dipakainya ilegal sehingga mereka dianggap melakukan tindak pencurian yang berakibat pidana.

Mereka membayar lembaga jasa atau toko komputer 100-200 ribu rupiah untuk mendapatkan piranti lunak lengkap, mulai kantoran, multimedia player, hingga pengolah grafis. Pada 2007, saat marak terjadi razia piranti lunak di warung internet, toko komputer, dan pengguna akhir mengaku tidak tahu piranti lunak yang digunakannya ilegal.

Kedua, kemampuan daya beli masyarakat pada piranti lunak berbayar (propertary) sangat rendah. Harga piranti lunak bisa melebihi harga piranti keras. Piranti keras komputer jinjing sekitar 4 juta rupiah. Untuk mendapatkan sistem operasi propertary butuh 1-2 juta, aplikasi kantoran butuh 3,5 juta, pemutar musik dan video butuh 300-500 ribu, aplikasi antivirus 500 ribu, dan pengolah grafis butuh 7-9 juta.

Untuk sekadar mendapatkan paket komputer untuk keperluan kantoran dan hiburan, warga bisa mengeluarkan dana sekitar 8-10 juta rupiah. Angka itu sulit dijangkau oleh pengguna komputer umum. Dalam situasi kinerja penegakan hukum relatif rendah, maka praktik pembajakan seringkali menjadi pilihan utama.

Ketiga, tidak ada kemauan politik untuk beralih ke piranti lunak sumber terbuka (open source software atau OSS). Sebenarnya pada 30 Juni 2004, ada lima kementerian yang mendeklarasikan gerakan Indonesia Go Open Source (IGOS), yaitu Kementerian Riset dan Teknologi, Kementerian Komunikasi dan Informasi, Kementerian Kehakiman, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negera, dan Kementerian Pendidikan Nasional. Namun, gerakan itu terlihat lambat, jalan di tempat, bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran.

Tanpa mengecilkan usaha sejumlah kalangan dalam menyukseskan IGOS, gerakan itu sulit dilakukan karena di kalangan pelopornya sendiri melakukan khianat. Masih ada proyek teknologi informasi (TI) yang mengabaikan kemungkinan migrasi OSS. Konyolnya, proyek tersebut mengharuskan perusahaan pelaksananya menggunakan piranti lunak berbayar. Penggunaan OSS tidak diperbolehkan meskipun fungsinya tidak istimewa, seperti database server biasa. Ironisnya, kasus itu terjadi di Kominfo, kementerian yang dikenal paling gencar mempelopori IGOS.

Hal itu menyebabkan publik meragukan iktikad atau kemauan politik (political will) pemerintah untuk memutus ketergantungan pada piranti lunak berbayar. Untuk urusan konsistensi politik, Indonesia perlu mencontoh Brazil. Menurut Rahman (2010) Pemerintah Brazil tidak akan lagi memboroskan jutaan dolar hanya untuk membayar lisensi piranti lunak. Mereka menerapkan OSS untuk semua kantor pemerintah, bahkan setiap tahun ada penghargaan bagi kantor pemerintah yang berprestasi dalam menerapkan OSS. Akhirnya, penerapan OSS menjadi pilihan strategi tata layanan pemerintah, membangun pondasi ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Pada 17 Agustus 2012, langkah maju ditunjukkan oleh para pegiat TI dan masyarakat perdesaan di Banyumas dengan meluncurkan sistem operasi komputer BlankOn Banyumas. BlankOn Banyumas dikembangkan dalam platform OSS sehingga dikerjakan secara gotong-royong, mulai dari praktisi IT, mahasiswa, siswa, pemerintah desa, dan warga desa. BlankOn Banyumas mempertimbangkan ragam piranti keras di Indonesia sangat beragam, dari spesifikasi tinggi hingga rendah (biasa disebut: jangkrik). Sistem operasi komputer ini juga menggunakan dukungan antarmuka pengguna (user interface) bahasa Banyumas.

Kemunculan BlankOn Banyumas seharusnya menjadi tonggak kebangkitan TI di Banyumas. BlankOn Banyumas menjadi pelopor lokalisasi teknologi komputer dengan citarasa lokal melalui bahasa dan grafis pada desain antarmuka (interface) komputer.

Sistem operasi ini telah diterapkan di 23 desa anggota Gerakan Desa Membangun (GDM) di Kabupaten Banyumas. Ada dua desa, Desa Melung (Kedungbanteng) dan Desa Dermaji (Lumbir), yang menyatakan diri sebagai meja bantuan (helpdesk) bagi desa lain yang akan menggunakan BlankOn Banyumas.

Situasi itu menyadarkan publik bahwa kemandirian teknologi bukan hal yang mustahil. Bila desa dengan sumber daya terbatas mampu menerapkan OSS, seharusnya pemerintah supradesa (kecamatan, dinas, kabupaten) bisa lebih cepat menyerap inisiatif ini menjadi Banyumas Goes Open Source.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun