Itulah jargon yang lekat dengan Arsenal, khususnya sejak Mikel Arteta mulai bertugas di akhir tahun 2019. Jargon ini lalu berkembang menjadi sebuah "mantra", yang mengiringi progres demi progres tim.
Hasilnya, selain meraih gelar Piala FA dan Community Shield, Tim London Merah mulai terbiasa finis di papan atas Liga Inggris. Mereka bahkan mulai mampu bersaing di pacuan juara liga, khususnya dalam dua musim terakhir.
Boleh dibilang, jargon "Percaya Proses" di era pelatih asal Spanyol ini ikut andil mengembalikan posisi Arsenal sebagai anggota "Big Six" Liga Inggris. Bonusnya, mereka punya talenta muda jebolan akademi klub macam  Bukayo Saka dan Ethan Nwaneri.
Dengan performa relatif stabil, The Gunners juga mulai rutin tampil di Liga Champions. Ini menjadi nilai plus yang membantu klub dapat mendatangkan pemain berprofil lumayan seperti Martin Odegaard dan Kai Havertz.
Dengan progres dan kembalinya stabilitas klub, sepintas tak ada masalah di Emirates Stadium. Tapi, ketika memasuki fase krusial kompetisi, mereka malah sering kehabisan bensin.
Gejala ini sudah terlihat, saat tim yang sempat menguasai pucuk klasemen sementara Liga Inggris, mampu disalip Manchester City. Ini sudah terjadi dalam dua musim terakhir.
Di musim 2024-2025, gejala itu kembali terlihat, saat takluk 0-2 dari Newcastle United, pada leg pertama semifinal Carabao Cup, Rabu (8/1, dinihari WIB). Gol-gol Alexander Isak dan Anthony Gordon memaksa tim kesayangan Gooners tumbang di kandang sendiri.
Di sini, proses Arsenal era Arteta memang sudah menghasilkan progres, tapi cukup sampai disitu. Mereka belum cukup siap menghadapi tekanan berat khas babak akhir kompetisi.
Ironisnya, karena jargon "Percaya Proses" juga, tim ini jadi terlihat kehilangan identitas. Tak ada visi atau target prestasi yang jelas, selain quote viral "enjoy the moment", lengkap dengan gambar meme gajah duduk di atas batang pohon.
Di lapangan, William Saliba dkk cenderung bermain terlalu taktis. Dari mengandalkan situasi bola mati sebagai sumber gol, sampai memakai strategi tak biasa, seperti mengaburkan info waktu pasti pemulihan cedera pemain.
Di sepak bola modern, taktik memang menjadi aspek yang sangat dinamis, karena bisa juga digunakan sebagai strategi provokasi atau mengalihkan perhatian.
Masalahnya, ketika sebuah tim  menjadi sangat terpaku pada taktik, yang pada titik tertentu cenderung kurang variasi, ini sinyal lampu kuning. Kalau yang dibahas (masih) proses dan progres, maka sebenarnya sudah tidak lagi relevan.
Dari proses dan progres yang berjalan, Tim Gudang Peluru terbukti sudah naik setingkat demi setingkat. Maka, ketika sudah terbiasa finis di papan atas, ada tantangan untuk naik ke level berikutnya, yakni meraih gelar juara.
Ketika level ini ternyata belum juga bisa dicapai, jelas ada kemandekan. Jika situasinya "konsisten" seperti sekarang, dan jargon "Percaya Proses" tetap jadi tameng, ini rawan menciptakan situasi tak sehat.
Proses perkembangan performa tim dalam sepak bola, adalah satu hal yang terus berjalan dalam waktu lama, tapi ada saatnya tuntutan soal hasil datang, ketika progres demi progres sudah hadir.
Tekanan yang ada sudah pasti semakin kuat. Apalagi, jika proses itu berjalan di klub yang secara finansial dan kondisi secara umum oke seperti Arsenal.
Jika sebuah proses itu masih konsisten menjadi proses yang cenderung mandek, seharusnya itu tidak pantas dipercaya lagi sebagai awal kemajuan, karena sudah berubah menjadi titik jenuh, tepat sebelum kemunduran datang.