Sebagai seorang warga gereja, saya juga melihat Natal sebagai satu momen spesial, karena disinilah saya bisa "merayakan" nya, dalam sebuah sikap. Bukan dengan euforia atau semacamnya.
Meski tanpa kata, sikap ini menjadi sebuah paradoks yang mewakili rasa tidak nyaman, setiap kali Natal tiba. Rasa tidak nyaman ini datang, karena Natal (bersama Paskah) selalu menjadi momen anomali. Setidaknya dari segi perilaku di sekelilingnya.
Inilah satu momen rutin, ketika gereja selalu kekurangan tempat duduk, dan orang-orang rela datang 2 jam (atau lebih) sebelum dari jadwal ibadah.
Di hari minggu biasa, antusiasme sehebat ini tak pernah kelihatan. Bisa terisi separuh lebih saja sudah menyenangkan.
Sebagai orang yang terbiasa ke gereja sendirian, sebenarnya situasi ini bukan masalah besar buat saya. Dengan postur tubuh relatif kecil dan kondisi fisik yang "kurang" jika dibandingkan yang lain, saya cukup "nyempil" saja untuk bisa duduk di kursi.
Tapi, anomali ini kadang membawa serta juga perilaku ganjil, yang semakin dinormalisasi di era kekinian, yakni penggunaan ibadah Natal sebagai tempat aktualisasi diri, yang pada situasi tertentu "tidak pada tempatnya".
Ada yang membawa anak-cucu lengkap dengan kerabat yang lain, dan ada juga yang rela repot-repot berpenampilan "wah". Secara kasat mata, fenomena ini merupakan satu bentuk antusiasme khas hari raya. Ada semacam "keharusan" untuk menjadi istimewa di momen istimewa.
Masalahnya, antusiasme ini kadang seperti mobil yang remnya blong. Jika tidak hati-hati, ini bisa jadi ajang perbandingan, dan menciptakan situasi inferior dan superior. Mulai dari pekerjaan, pasangan, studi anak, sampai hal paling remeh sekalipun, kalau bisa semuanya jadi objek perbandingan, dan dipamerkan semaksimal mungkin di media sosial.
Kalau ini kontes "festival adu nasib" atau semacamnya, mungkin bisa dimengerti. Tapi, karena ini momen ibadah Natal di gereja, rasanya jadi aneh.
Ibadah yang seharusnya jadi momen privat dan menempatkan semua orang yang terlibat dalam posisi setara, malah menghadirkan sekat, hanya karena perilaku ganjil akibat antusiasme lepas kendali. Padahal, Natal adalah momen ketika Tuhan "mengosongkan diri" menjadi manusia.
Perilaku ganjil lain, yang muncul di hari Natal adalah, normalisasi pada kebiasaan datang beribadah di gereja, hanya di hari raya, dalam hal ini Natal dan Paskah.
Sebenarnya, perilaku seperti ini sudah lama ada. Di kalangan warga gereja, sampai muncul anekdot, yang menyamakan mereka dengan agen intelijen atau kapal selam, yang memang jarang terdeteksi.
Bisa jadi, mereka memang supersibuk, jadi hanya sempat datang di kesempatan tertentu. Tapi, soal frekuensi seperti ini belakangan bersifat relatif, karena sejak pandemi, sudah ada banyak gereja yang menyediakan medium ibadah live streaming.
Jadi, memang ada ruang bagi mereka yang tidak sempat datang langsung ke gereja. Inilah satu sisi adaptif, yang akhirnya dapat diterapkan di gereja secara lancar. Di sini, teknologi internet telah menghadirkan ruang publik yang dapat bebas diakses secara personal.
Di sisi lain, anomali dan perilaku ganjil khas hari Natal di gereja ini, menjadi satu situasi yang asing dan cukup rawan bagi kesehatan mental, baik dalam jangka panjang maupun pendek. Karena itulah, saya tidak pernah berangkat ke gereja di hari Natal, kecuali jika hari Natal itu jatuh di hari minggu.
Ketika Natal di gereja malah menghadirkan suasana asing, ini adalah suatu situasi yang, jujur saja, sangat tidak nyaman, khususnya bagi mereka, yang memang hanya ingin datang beribadah, terlepas dari apapun profesi, status dan kondisinya.
Jika suasana nyaman dan sifat inklusif itu bisa rutin hadir dengan kalem dan nyaman di gereja pada hari minggu biasa, kenapa tidak (atau mungkin masih belum) demikian juga hari Natal?
Selamat Natal.