Mohon tunggu...
KOMENTAR
Sosbud Pilihan

Kasus Gus Miftah: Sebuah Refleksi "Beda Server"

6 Desember 2024   23:58 Diperbarui: 7 Desember 2024   00:01 70 2
Kegaduhan menyusul blunder kata-kata Gus Miftah pada penjual es teh yang belakangan viral, menjadi satu hal yang banyak dibahas, entah di media mainstream maupun media sosial.

Dampaknya pun luar biasa. Selain membuat si penjual es teh mendadak ketiban rejeki nomplok, Gus Miftah akhirnya menyatakan undur diri dari jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden, Jumat (6/12).

Sebagai seorang warga gereja, awalnya saya hanya melihat keriuhan ini sambil lalu. Tak ada minat untuk membahas apalagi menulis, karena memang bukan ranahnya alias "beda server".

Tapi, kalau dilihat lagi, sebatas pada poin mendiskreditkan profesi, kekayaan seseorang atau semacamnya, fenomena ini sebenarnya juga terjadi di gereja, khususnya gereja aliran kontemporer, yang cenderung berpandangan materialistis, antara lain dengan memandang kekayaan melimpah atau jabatan tinggi secara sebagai satu "tujuan" bukan alat untuk berkarya dan berdampak positif di masyarakat.

Kesamaan yang ada juga semakin mirip, karena sosok pengkhotbah yang hadir, kadang belum tentu seorang pendeta, dan latar belakang pendidikannya kadang juga tidak sesuai. Ditambah lagi, penampilannya cenderung modis, dan ada yang ber "tarif undangan"  mahal, layaknya artis atau motivator papan atas.

Gambaran ini berbanding terbalik dengan pendeta di gereja aliran klasik, yang memang digaji gereja, dan berpenampilan selayaknya pendeta tiap bertugas. Latar belakangnya pun jelas, karena menempuh pendidikan teologi secara formal dan mendalam.

Pada gereja kontemporer, ragam latar belakang seperti itu rawan menciptakan salah fokus, karena titik fokusnya menjadi bergeser ke "sosok dan penampilan", bukan pesan yang ingin disampaikan. Celakanya, salah fokus ini biasa menggerus sisi kritis dan fokus untuk beribadah.

Apalagi, ketika liturgi ibadahnya terlalu menitikberatkan pada sisi "entertaintment" layaknya konser di sebagian besar durasi acara. Hasilnya, fokus saat mendengarkan khotbah menjadi hal yang sangat sulit, karena energi sudah terkuras duluan oleh liturgi ibadah yang terlalu wow.

Uniknya, masalah ini seperti "disadari" oleh pihak gereja maupun pengkhotbah, karena materi khotbah yang disampaikan biasanya cenderung "ringan", kalau bisa lucu, walaupun kadang rawan kelewat batas.

Situasi rawan kelewat batas inilah, yang kadang menyakitkan, khususnya buat mereka, yang secara ekonomi dan posisi "bukan siapa-siapa". Padahal, mereka datang untuk beribadah bukan untuk jadi "sasaran tembak".

Padahal, tidak punya kekayaan melimpah dan jabatan tinggi bukan sebuah dosa. Itu baru pandangan soal kekayaan dan jabatan, belum termasuk "omongan" lain yang tidak seharusnya diucapkan.

Kalau si pengkhotbah memposisikan diri sebagai motivator atau posisi "duniawi" lainnya, silakan bicara seperti itu sampai puas. Tapi, kalau posisinya sebagai tokoh agama, sudah seharusnya aspek spiritual dikedepankan, bukan aspek duniawi.

Jadi, ketika insiden blunder Gus Miftah belakangan viral, ini menjadi satu refleksi saya juga sebagai warga gereja, karena tipikal tokoh dan permasalahan seperti ini sebenarnya juga ada di gereja, khususnya gereja aliran kontemporer.

Karena dampaknya yang bisa langsung meluas di masyarakat, sudah saatnya pemerintah mulai menerapkan standar baku, untuk memfilter figur tokoh agama  (termasuk dari segi latar belakang pendidikan formal).

Meski terkesan remeh, standarisasi baku seperti ini diperlukan, supaya masyarakat bisa punya sosok tokoh agama yang layak jadi panutan, dan memang punya kompetensi sesuai. Jadi, perilaku dan ajaran yang dihadirkan akan lebih konstruktif.

Dengan sisi religius yang kuat di masyarakat Indonesia, dan masih belum meratanya akses pendidikan, keberadaan tokoh agama yang kompeten menjadi satu bagian penting, dalam membangun karakter masyarakat.

Kalau sosok panutannya baik, dampaknya di masyarakat pasti akan baik juga.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun