Hasilnya, Blaugrana menemukan lagi sentuhan mematikan mereka dalam menyerang, dan menjadikan serangan sebagai satu cara bertahan. Persis seperti teorema klasik sepak bola menyerang: pertahanan terbaik adalah menyerang.
Maka, bukan kejutan kalau Lamine Yamal dkk mampu menampilkan "mode bantai" saat mengalahkan Bayern Munich 4-1 di Liga Champions dan Real Madrid 4-0 di Liga Spanyol, bulan Oktober lalu.
Inilah buah pembaruan Hansi Flick di Catalan, karena mampu mengalahkan dua tim yang belakangan kerap jadi momok buat Barca dengan mulus.
Kemenangan di El Clasico bahkan menjadi pertunjukan paket lengkap. Selain karena didapat di Santiago Bernabeu, The Catalans tampil seperti tank panzer dengan serangan kilat mematikan saat menyerang, dan melengkapinya dengan sistem jebakan offside yang sangat rapi di lini belakang.
Tapi, seperti kata pepatah, tak ada gading yang tak retak. Barca versi futuristik ini ternyata masih membawa serta kelemahan sekaligus penyakit klasik tim dengan gaya main menyerang. Kelemahan itu  berupa pertahanan yang terlihat rapuh, saat menghadapi lawan yang bermain efektif.
Di La Liga, kelemahan ini sudah terlihat, saat kalah 2-4 dari Osasuna bulan September 2024 silam. Belakangan, kelemahan itu kembali terekspos di tiga partai terakhir, dengan menghasilkan 2 kekalahan (0-1 atas Real Sociedad dan 1-2 dari Las Palmas) plus satu hasil imbang (2-2 melawan Celta Vigo).
Meski masih duduk di puncak klasemen sementara Liga Spanyol, rentetan hasil negatif ini adalah satu alarm peringatan. Lawan sudah mampu mempelajari dengan cepat kelemahan Barcelona era Hansi Flick, dengan partai El Clasico sebagai rujukan informasinya.
Di sisi lain tren negatif Azulgrana di liga domestik juga menampilkan satu kelemahan klasik mereka, yakni adanya ketergantungan pada satu pemain dengan kualitas istimewa. Setelah era Ronaldinho dan Lionel Messi, mereka kini punya sosok Lamine Yamal, yang belakangan mulai banyak diandalkan.
Soal kualitas dan talenta, pemain kelahiran tahun 2007 ini memang istimewa. Terbukti, penghargaan Pemain Muda Terbaik Euro 2024 dan Pemain Muda Terbaik Dunia 2024 mampu diraih, dalam usia masih 17 tahun.
Dengan kualitas sebagus itu, dan kemampuan yang masih bisa berkembang lebih jauh, tidak salah kalau Hansi Flick mengandalkannya. Pelatih asal Jerman ini juga pernah sukses saat melakukan pendekatan serupa pada Jamal Musiala, saat melatih Bayern Munich di tahun 2020 silam.
Masalahnya, talenta istimewa seperti ini kerap menghadirkan satu ketergantungan di tim. Di Barcelona, ini pernah menciptakan satu paradoks, saat Lionel Messi jadi pemain andalan.
Saat La Pulga fit dan dalam performa terbaik, Los Cules adalah tim yang berbahaya, tapi menjadi tim yang "dalam bahaya" jika sang Argentino sedang tidak fit atau tampil melempem.
Situasi serupa belakangan kembali terlihat, khususnya saat Lamine Yamal absen atau kurang fit. Kekalahan dari Real Sociedad dan hasil imbang dari Celta Vigo menjadi indikasi awal.
Saat Barcelona takluk 1-2 di kandang sendiri, Sabtu (30/11) lalu, Yamal memang bermain di babak kedua. Tapi, kondisi dan performanya tampak belum optimal, karena baru saja sembuh dari cedera engkel.
Meski sebenarnya masih punya Raphina dan Robert Lewandowski yang rajin mencetak gol, keberadaan Yamal terbukti krusial, karena darinyalah "faktor X" khas seorang "fantasista" muncul, dan membuat serangan Barca lebih berwarna.
Sebenarnya, ini adalah satu pertanda baik buat Tim Catalan, karena mereka sudah menemukan talenta hebat berikutnya. Hebatnya, talenta istimewa itu ditemukan juga dari akademi La Masia, seperti Messi dulu.
Tapi, selain berusaha memastikan sang pemain tetap fit, ada satu tantangan lain yang sudah menunggu, yakni bagaimana mengembangkan talentanya, tanpa harus menghadirkan satu ketergantungan.
Jika tidak, situasi sulit akan jadi hal biasa. Setiap kali pemain Timnas Spanyol ini absen atau kurang fit, Barca akan kehilangan sebagian kekuatannya, dan terjebak dalam tren negatif.