Turnamen yang sebelumnya bernama Piala AFF ini berlangsung antara 8 Desember 2024 hingga 5 Januari 2025 mendatang. Di edisi kali ini, Indonesia bergabung di grup B, bersama Vietnam, Filipina, Myanmar, dan Laos.
Biasanya, PSSI memperlakukan turnamen tingkat ASEAN ini bak Piala Dunia. Ada ekspektasi tinggi, mengikuti euforia publik sepak bola nasional, berupa target juara. Biasanya, situasi ini diikuti juga dengan bergabungnya pemain-pemain top, kebanyakan dari liga Indonesia.
Tapi, pada edisi 2024, PSSI memilih bersikap lebih realistis, dengan menjadikan turnamen dua tahunan ini sebagai ajang eksperimen pemain-pemain muda. Penyebabnya, Piala ASEAN tidak masuk dalam kalender resmi FIFA.
Otomatis, tidak ada pemain-pemain senior dari liga-liga Eropa seperti Jay Idzes (Venezia, Italia), Ragnar Oratmangoen (FCV Dender, Belgia) atau Calvin Verdonk (NEC Nijmengen, Belanda) karena kecil kemungkinan klub akan melepas.
Kalaupun ada yang bisa bergabung, peluangnya justru terbuka pada pemain-pemain level akademi atau tim muda, seperti Justin Hubner (Wolves, Inggris), Ivar Jenner (Jong Utrecht, Belanda), atau Marselino Ferdinan (Oxford, Inggris).
Bisa juga, pemain-pemain yang klubnya sudah masuk masa libur kompetisi seperti Maarten Paes (FC Dallas, AS) bergabung. Itupun masih dengan catatan, jika klubnya mengizinkan.
Maka, bukan kejutan kalau pemain-pemain "abroad" yang bergabung kebanyakan main di liga-liga Asia. Dari beragam pemberitaan di media, sudah muncul nama Asnawi Mangkualam (Port FC, Thailand), Pratama Arhan (Suwon FC, Korea Selatan), dan Ronaldo Kwateh (Muangthong United, Thailand). Praktis, hanya Marselino Ferdinan (Oxford United, Inggris) yang main di Eropa.
Menariknya, kalau dilihat dari umur sebagian besar pemain yang bergabung, ini terlihat seperti tim SEA Games, karena kebanyakan berusia 23 tahun ke bawah. Jelas, nuansa eksperimen sangat terasa, karena pada akhir tahun 2025 akan digelar SEA Games di Thailand.
Dengan pergeseran prioritas seperti ini, menjadi juara bukan lagi target utama, kalau tidak boleh dibilang obsesi. Ini hanya  bonus, karena tujuan utamanya adalah untuk menambah pengalaman bermain sebagian besar anggota tim.
Secara kasat mata, keputusan PSSI dan pelatih Shin Tae-yong bisa menjadi bahan tertawaan Thailand, Malaysia, atau Vietnam. Setelah enam kali kalah di final, Tim Garuda seperti sudah enggan bermimpi lagi.
Tapi, dengan posisi Indonesia yang masih bertarung di Kualifikasi Piala Dunia 2026 sebagai wakil tunggal Asia Tenggara, ini adalah cara paling elegan, untuk memperlihatkan, seberapa jauh progres sepak bola nasional mengubah cara berpikir PSSI dan publik sepak bola nasional.
Sekalipun nanti kembali gagal juara, seharusnya itu bukan jadi masalah besar. Toh bobot pertandingan Piala ASEAN (pada dasarnya) setara dengan laga uji coba tak resmi, karena tidak ada dalam kalender resmi FIFA.
Karena posisi "tak resmi" ini jugalah, tim Johor Darul Takzim leluasa menarik para pemainnya dari Timnas Malaysia. Tim yang juga diperkuat Jordi Amat ini masih bersaing di Liga Champions Asia, yang agendanya berdekatan dengan Piala ASEAN.
Prestise turnamen yang dulunya bernama Piala Tiger ini juga terancam pudar di masa depan, karena AFC berencana mengadakan AFC Nations League pada tahun 2025, seperti di zona UEFA dan Amerika Utara alias CONCACAF, yang sudah terintegrasi dengan kalender resmi FIFA. Jika jadi bergulir, maka Piala ASEAN akan semakin tidak relevan.
Kebetulan, pendekatan "kalem" PSSI ini juga sedang dalam momentum yang pas, karena Indonesia baru saja menjadi tim ASEAN dengan perolehan poin terbanyak (6 poin) di putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia zona Asia. Indonesia juga menjadi tim Asia Tenggara pertama, yang mampu mengalahkan Arab Saudi, salah satu tim raksasa Asia, di Kualifikasi Piala Dunia.
Alih-alih mendapat piala di Piala ASEAN, akan lebih berharga buat Tim Merah Putih, jika dapat menemukan talenta baru dari tim Piala ASEAN 2024. Jadi, akan ada tambahan kekuatan yang bisa membuat peluang lolos ke babak lanjut, bahkan lolos otomatis ke Piala Dunia 2026 lebih terbuka.