Secara umum, minum kopi di Indonesia telah menjadi satu hal yang membudaya. Fenomena ini tak lepas dari fakta bahwa Indonesia merupakan salah satu negara produsen kopi terbesar di dunia, bersama Vietnam, Brasil dan Kolombia (Marsilani & Sukartiko, 2020).
Uniknya, Wahyudi & Jati (2012) menjelaskan, meski tumbuh di sejumlah daerah, dan sudah ada sejak dulu, kopi sejatinya bukan tanaman asli Indonesia. Secara historis, kedatangan kopi ke Nusantara tak lepas dari ambisi bisnis kompeni Belanda (VOC) untuk mengembangkan kopi di Nusantara, yang belakangan menjadi komoditas andalan.
Alhasil, bibit kopi dari wilayah Kananur, Malabar (India) pun didatangkan ke Jawa pada tahun 1696, atas bantuan Andrian van Ommen (Gubernur Jenderal Belanda di Malabar). Di India sendiri, kopi mulai dibudidayakan sejak tahun 1600 di Chikmaglur, area dataran tinggi di Mysore, Â India Selatan.
Ide ini pertama kali dicetuskan Nicolaas
Witsen, selaku Gubernur Jenderal VOC, dengan pulau Jawa, yang dinilai subur, sebagai lokasi awal. Kelak, dari sinilah  kopi dibudidayakan ke berbagai wilayah di Indonesia, dan menjadi seperti yang kita ketahui sekarang.
Pada prosesnya, Panggabean (2011) memaparkan, selama hampir 2 abad sejak tahun 1696, kopi Arabika menjadi satu-satunya varietas kopi yang dibudidayakan dan diperdagangkan di Nusantara. Namun, wabah penyakit karat daun (hemileia vastatrix) pada tahun 1876, membuat produksi kopi Arabika turun drastis, bahkan nyaris ludes.
Hal ini memaksa pemerintah kolonial Belanda melakukan diversifikasi, dengan membudidayakan varietas kopi Liberica (kopi dengan "hint" rasa buah nangka, antara lain masih dapat dijumpai di wilayah Banyuwangi, Jawa Timur) dan Robusta (yang belakangan menjadi komoditas kopi terbesar di Indonesia).
Jika melihat sejarahnya, boleh dibilang dibilang, kopi merupakan satu komoditas "warisan" era kolonial, yang berkembang menjadi satu potensi komoditas unggulan di era modern, sekaligus bagian dari budaya populer di Indonesia, yang sudah "ditempa" melalui proses panjang selama 3 abad lebih.
Berkat proses panjang ini juga, daerah penghasil kopi di Indonesia tersebar dari Aceh sampai Papua. Dari beragam jenis kopi yang tumbuh di Indonesia, data dari Kementerian Pertanian (2019) mencatat, Robusta menjadi varietas kopi dengan persentase terbesar, yakni 68,95%, disusul Arabika dengan 27.98%.
Persentase ini sejalan dengan paparan Bhran (2010) yang menjelaskan, Arabika dan Robusta merupakan jenis kopi yang paling populer di pasar global.
Kopi Arabika tumbuh di wilayah beriklim tropis, dengan ketinggian 1.000 meter di atas permukaan laut atau lebih. Pohon kopi varietas ini membutuhkan waktu 3-5 tahun untuk mencapai kedewasaan alias siap berproduksi.
Dari segi karakteristik, Kopi Arabika cenderung lebih asam dan rendah kafein (dibandingkan Robusta). Itu sebabnya, rasa masam pada kopi Arabika lebih kuat dibandingkan rasa pahitnya.
Dari segi aroma dan rasa, kopi Arabika punya aroma khas dan rasa "fruity" yang kuat, tapi varietas kopi satu ini membutuhkan perhatian ekstra, karena tergolong rentan terhadap penyakit, hama, juga gangguan cuaca dan iklim.
Berbeda dengan Arabika, kopi Robusta cenderung lebih "tahan banting" dari masalah serupa. Ia juga bisa tumbuh di dataran rendah, dalam waktu relatif lebih cepat. Rasa pahit dari jenis kopi ini cukup pekat, dengan kandungan kafein lebih kuat.
Itulah kenapa, harga kopi Robusta cenderung lebih murah ketimbang Arabika, dan cukup banyak digunakan sebagai bahan baku kopi kekinian dan kopi instan di Indonesia.
Untuk daerah penghasil kopi di Indonesia, Wahyudi & Jati (2012) menyebutkan, Pulau Sumatera menjadi wilayah produsen kopi terbesar di Indonesia, dengan 74.2% produksi kopi nasional berasal dari sini. Di Sumatera sendiri, wilayah produsen kopi terbesar berada di bagian selatan, tepatnya Provinsi Bengkulu, Lampung dan Sumatera Selatan, yang dikenal sebagai area "Segitiga Emas Robusta".
Di luar Sumatera, daerah produsen kopi tersebar di Sulawesi (9.0%), Jawa (8.3%), Bali dan Kepulauan Nusa Tenggara (5.8%), Kalimantan (2.0%), plus wilayah Maluku dan Papua (0.6%).
Di tingkat nasional, dominasi Pulau Andalas sebagai produsen kopi juga terlihat dari sebaran wilayah produsen kopi terbesar di Indonesia.
Wahyudi dan Jati (2012) merinci, lebih dari setengah produsen kopi nasional Indonesia (57,3%), berasal dari 5 provinsi, dengan 4 diantaranya berasal dari Sumatera, yakni Sumatera Selatan (21.4%), Lampung (12.6%), Nanggroe Aceh Darussalam (8.7%), dan Bengkulu (7.4%).
Dari kelimanya, hanya Jawa Timur (7.2%) produsen kopi terbesar di Indonesia, yang bukan berasal dari Sumatera. Maka, tidak mengherankan kalau beberapa jenis kopi populer di pasar Indonesia muncul dari lima wilayah ini, misal Kopi Gayo (Aceh), Semendo (Sumatera Selatan), Dampit (Jawa Timur), Lampung dan Bengkulu.
Dengan jejak sejarah sedemikian panjang, wajar jika minum kopi menjadi satu hal yang cukup melekat dengan keseharian, karena ada budaya yang terbentuk di sana. Bisa jadi, Anda termasuk salah satu penikmat kopi tersebut.
Sudahkah Anda ngopi hari ini?
Referensi:
 - Marsilani, O. N., & Sukartiko, A. C. (2020). Chemical profiling of western Indonesian single origin robusta coffee. In IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (Vol. 425, No. 1, p. 012041). IOP Publishing.
 - Bhran, H. S. (2010). Coffee, Culture and Intellectual Property: Lessons for Africa from the Ethiopian Fine Coffee
Inotiative. Boston University Creative Services.
 - Wahyudi, T., & Jati, M. (2012). Challenges of sustainable coffee certification in Indonesia. International Coffee Council 109th Session,(September), 1-14.
 - Ditjenbun, Statistik Perkebunan Indonesia 2018-2020: Kopi, 77 (Kementan, Jakarta, 2019)
 - Panggabean I E 2011 Buku Pintar Kopi (Jakarta: Agromedia Pustaka)