Salah satu pesona budaya Bali yang cukup ikonik adalah tari Kecak. Ternyata, meski cukup populer, bahkan sampai mancanegara, Erawati (2019) menyebut, tarian yang disebut juga Tari Cak ini merupakan satu bentuk budaya kreatif atau karya seni kreasi.
Pada dasarnya, tari Kecak memang dirancang untuk keperluan wisata. Dalam perjalanannya, tarian yang disebut juga Tari Api ini berkembang menjadi satu komoditas wisata populer di Pulau Dewata.
Tari Kecak pada mulanya berawal dari tari Sang Hyang, tarian klasik yang dinilai sakral bagi masyarakat Bali, karena biasa dipentaskan untuk mengusir wabah penyakit. Kesakralan tari Sang Hyang ini membuatnya tak bisa dipentaskan secara rutin, apalagi dijadikan sebagai alat promosi wisata, karena dianggap punya fungsi spiritual khusus.
Maka, Wayan Limbak (1897-2003) seorang seniman Bali, menciptakan tari Kecak, berkolaborasi dengan Walter Spies, seniman asal Jerman. Tari Kecak sendiri mengadopsi elemen paduan suara pria pada tari Sang Hyang. Antari (2019) menyebut, tarian kreasi ini sudah mulai dipopulerkan Wayan Limbak ke mancanegara, sejak tahun 1930 dan berlanjut lagi di tahun 1970-an.
Dengan kata lain, tarian kolosal yang mementaskan kisah epos pewayangan Ramayana (dalam versi wayang parwa Bali) ini merupakan hasil kreasi budaya, yang sepenuhnya digunakan untuk kepentingan komersial, dalam hal ini pariwisata.
Mengingat ranahnya, boleh dibilang tari Sang Hyang dan tari Kecak adalah dua jenis tarian berbeda. Tari Sang Hyang berada pada ranah keagamaan dan spiritual, sementara tari Kecak berada pada ranah pariwisata dan hiburan.
Diferensiasi ini menjadi unik, karena secara bersamaan mampu mengakomodasi potensi pariwisata yang bernilai ekonomis bagi masyarakat, tanpa perlu mengganggu urusan keagamaan. Dengan demikian, urusan beribadah dan mencari nafkah bisa seiring sejalan.
Di sisi lain, apa yang terjadi pada tari Sang Hyang dan tari Kecak ini, menjadi satu contoh studi kasus menarik, yang bisa juga diterapkan pada aneka tari tradisional lain di seluruh Nusantara. Inilah satu wujud sekaligus potensi "kekayaan" Indonesia yang masih belum digarap maksimal.
Seperti diketahui, ada begitu banyak tarian tradisional di Indonesia, yang sebetulnya punya potensi menarik, jika dijadikan komoditas pariwisata seperti tari Kecak.
Masalahnya, nilai "sakral" dalam fungsi spiritual tarian tersebut, membuatnya tak bisa sembarangan dikomersialkan. Aspek spiritual ini jugalah, yang membuat para seniman (terutama di era modern) cenderung berhati-hati, dalam menciptakan kreasi budaya.
Padahal, selain punya potensi nilai ekonomis, kreasi budaya juga bisa menjadi media pelestarian seni budaya klasik, karena kreasi budaya umumnya berakar dari budaya klasik. Lewat kreasi budaya, sebuah karya seni akan lebih adaptif, dan tetap relevan dengan dinamika perubahan zaman, sehingga bisa tetap eksis.
Karena itulah, Kementerian Pariwisata (Kemenpar) dan pihak-pihak terkait perlu mendukung berkembangnya ruang kreasi budaya secara lebih luas, supaya kekayaan budaya Indonesia yang istimewa tidak hilang ditelan kemajuan zaman.
Pelestarian budaya ini penting, karena disinilah letak jati diri orang Indonesia.
Jangan sampai, modernitas dan globalisasi di era digital ini membuat orang Indonesia sampai kehilangan "akar" nya sebagai orang Indonesia
Referensi:
Antari, L. P. S. (2018). Implementasi Nilai-Nilai Pancasila Pada Tari Kecak. Stilistika: Jurnal Pendidikan Bahasa dan Seni, 7(1), 57-74.
Erawati, N. M. P. (2019). Pariwisata Dan Budaya Kreatif: Sebuah Studi Tentang Tari Kecak Di Bali. Kalangwan: Jurnal Seni Pertunjukan, 5(1), 1-6.