Nurhasanah dan Dewi (2019) menyebut, Di era modern, budaya minum kopi sudah menjadi bagian gaya hidup di kalangan masyarakat, termasuk generasi muda, baik di negara maju maupun berkembang.
Di Indonesia, budaya "ngopi" sudah menjadi tren di kalangan generasi muda. Dimana, secangkir kopi biasa digunakan sebagai instrumen penting saat bertemu teman, keluarga. Secangkir kopi juga biasa menjadi "teman seperjuangan" saat mengerjakan pekerjaan rumah dan tugas studi.
Dari perspektif bisnis, berkembangnya budaya minum kopi di Indonesia, turut menjadi salah satu faktor penggerak negara maju seperti Amerika Serikat, untuk mendirikan waralaba kedai kopi di negara berkembang seperti Indonesia. Kedai kopi seperti ini biasanya menyajikan beragam jenis minuman (khususnya kopi dan teh), cemilan, roti, donat, dan pasta.
Tak cukup sampai disitu, Hashim et.al (2017) menyebut, warung kopi ala Amerika biasanya dilengkapi juga dengan fasilitas pendukung seperti AC, ruangan yang nyaman dan (yang paling penting) akses WiFi gratis. Fasilitas WiFi gratis inilah yang biasanya membuat konsumen usia muda betah berlama-lama di warung kopi.
Dalam perjalanannya, kopi berkembang menjadi satu instrumen yang mendorong terciptanya satu gaya hidup baru, dalam hal ini minum kopi ala orang Amerika, dengan waralaba warung kopi seperti Starbucks sebagai mediumnya. Ini sejalan dengan paparan Du Gray et.al (1997).
Dalam konteks sosial budaya di Indonesia, khususnya saat Starbucks masih di puncak kejayaan, Nurhasanah dan Dewi (2019) menyebut, orang datang ke Starbucks bukan hanya untuk minum kopi, terapi juga untuk mendapatkan pengakuan sebagai orang yang keren dan gaul, khususnya di lingkar pertemanan mereka.
Sebelum Starbucks datang, budaya minum kopi sudah ada sejak lama di Indonesia. Secara khusus, dari "warung kopi" jugalah, grup lawak legendaris Warkop DKI mendapat namanya, dan berkembang menjadi satu produk budaya populer di Indonesia.