Pada tingkat lanjut, membaca adalah "dasar" dari menulis. Dari membaca, kadang muncul inspirasi, yang sekaligus memperkaya sudut pandang tulisan.
Tapi, tidak semua orang tahan membaca nonstop sampai tuntas. Zoning Out sendiri merupakan satu efek samping yang bisa timbul, jika seseorang sudah "lelah" saat membaca, tapi masih memaksakan diri untuk terus membaca.
Sebenarnya, masalah ini wajar, karena pada prosesnya, aktivitas membaca kadang mendapat interupsi. Mulai dari "panggilan alam" yang tak bisa ditawar, lapar atau haus, sampai ganti "playlist" musik, membaca secara fokus sampai tuntas memang tidak selalu bisa dengan mulus.
Sekalipun menggunakan teknik membaca cepat sambil "mengalir" mengikuti alur bacaan, bahkan "membaca" pola alur bacaan, daya fokus tetap punya batas. Jadi, tidak perlu memaksakan. Kecuali, jika aktivitas membaca itu dilakukan karena FOMO mengikuti tren pengembangan diri.
Seperti diketahui, membaca belakangan menjadi satu tren pengembangan diri di media sosial. Ada yang memasang target jumlah buku tertentu dalam setahun, dan ada juga yang memamerkan "capaian" setelah tuntas membaca buku "berat".
Di satu sisi, tren ini memang bisa memacu semangat membaca. Tapi, ketika kuantitas mengorbankan kualitas, masalah seperti Zoning Out akan muncul dan merusak kesenangan saat membaca.
Akibatnya, bukan rasa lega yang muncul saat halaman terakhir dicapai, tapi rasa kesal dan jengkel, karena pada saat seharusnya "jeda sebentar" masih memaksakan diri. Jadi, meski sekilas terlihat keren, membaca nonstop dengan kecepatan tinggi bukan satu hal untuk dibiasakan.
Bagian terpenting dalam membaca bukan soal "seberapa cepat" atau "seberapa banyak", tapi soal "seberapa baik" isi bacaan itu dapat dipahami. Karena itulah, ketika ada interupsi dalam aktivitas membaca, itu bukan hal tabu.
Malah, dengan adanya interupsi saat membaca, itu bisa dimanfaatkan sebagai kesempatan mengatur napas sejenak. Ketika sudah siap, barulah kita bisa kembali fokus.
Jadi, daripada melihat interupsi sebagai satu gangguan, ada baiknya kita melihatnya sebagai momen mengatur napas dan tenaga, untuk mencegah Zoning Out terjadi.
Seperti halnya menulis, membaca adalah satu proses menemukan diri. Dalam artian, dari membaca, kita bisa mengenali sejauh mana batas kemampuan fokus dan strategi yang perlu diterapkan, berdasarkan "batas" kemampuan fokus tersebut.
Semakin tebal dan kompleks isi sebuah buku, semakin banyak energi fokus yang dibutuhkan. Sekalipun pendek dan harus sering diisi ulang, periode fokus ini akan sangat berguna, karena dapat membimbing kita mencapai garis finis dengan selamat.
Otomatis, ketika kesempatan membaca lagi datang di kesempatan lain, rasa senang itu selalu sama, bukan malah berkurang.
Membaca satu buku sampai tuntas dan paham selalu jauh lebih baik, daripada membaca banyak buku tanpa ada yang dipahami sama sekali.