Secara teknis, pelatih Didier Deschamps kebetulan juga memilih tak memanggil sang bintang, karena belum lama sembuh dari cedera.
Masalahnya, pro-kontra langsung muncul, karena eks pemain AS Monaco itu disebut hanya akan menerima panggilan tim nasional, jika Les Bleus berlaga di pertandingan penting, seperti kualifikasi Piala Dunia 2026, atau turnamen mayor antarnegara seperti Euro dan Piala Dunia.
Ditambah lagi, eks pemain PSG ini diketahui pergi berlibur ke Stockholm (Swedia) alih-alih tetap menjalani program rehabilitasi di Madrid.
Dengan posisinya sebagai kapten dan bintang Tim Ayam Jantan, situasi ini tentu kurang bisa diterima, karena ada kesan pilih-pilih. Padahal, panggilan tim nasional tetaplah tugas negara.
Tapi, jika melihat jadwal pertandingan superpadat belakangan ini, khususnya di liga-liga top Eropa, keputusan sang bomber cukup bisa dimengerti. Apalagi, ia belum lama sembuh dari cedera, dan masih beradaptasi sejak berseragam Real Madrid di musim panas 2024 lalu.
Sebagai seorang pemain profesional, tuntutan untuk tetap fit dan tampil maksimal di tiap laga adalah satu hal wajib, tapi tidak mutlak. Dalam artian, ketika jadwal pertandingan terlalu padat, memang harus ada pengaturan prioritas secara terukur dan spesifik.
Bukan karena malas atau pilih-pilih, tapi karena jadwal pertandingan superpadat rawan meningkatkan risiko cedera parah. Di Real Madrid saja, sudah ada Dani Carvajal yang harus absen lama akibat terkena cedera ligamen lutut.
Untuk level tim nasional, keputusan hanya fokus di pertandingan penting adalah satu strategi cerdas untuk bisa tetap fokus dan tampil maksimal. Pada kasus Mbappe, Si Kura-kura Ninja seolah menunjukkan, ada satu masalah klasik yang ikut membuat para pemain top melempem di turnamen mayor antarnegara.
Disadari atau tidak, terlalu banyak bermain di laga uji coba dan kualifikasi, ditambah jadwal reguler di klub sering membuat pemain kehabisan bensin saat harus bermain di turnamen mayor antarnegara.
Pemain sekelas Lionel Messi saja pernah dikritik karena gagal bersinar di Piala Dunia 2010 dan Copa America 2011, meski pada periode itu, La Pulga sedang ganas-ganasnya mencetak gol di Barcelona.
Ternyata, pengalaman seperti ini menjadi satu pembelajaran berharga buat pemain bintang generasi berikutnya, seperti Mbappe, untuk bisa lebih mengatur skala prioritas.
Meski terdengar egois, pengaturan prioritas seperti ini menjadi satu langkah logis, ditengah jadwal superpadat klub dan negara. Tidak ada yang bisa benar-benar melindungi para pemain, selain diri mereka sendiri.
Berhubung FIFA dan UEFA seperti kebal protes, para pemain harus berani ambil tindakan, dan aksi Mbappe adalah satu contoh, yang tidak menutup kemungkinan akan jadi tren di masa depan.
Untuk para pemain di level atas seperti Mbappe, langkah taktis seperti ini menjadi logis, karena mereka pasti akan lebih memilih bisa bersinar di turnamen besar ketimbang laga uji coba.
Jika keputusan bintang Real Madrid ini nantinya terbukti tepat, keputusan memprioritaskan laga penting di level antarnegara akan menjadi satu tren, yang akan bermula di kalangan pemain top Eropa.
Lebih jauh, tren ini bisa berkembang menjadi satu cara protes cerdas dan sistematis, atas satu sistem industri olahraga, yang makin kesini makin eksploitatif. Sebuah cara "demo" tanpa harus melakukan aksi demo yang elegan, tapi tetap punya pesan tegas.