Mohon tunggu...
KOMENTAR
Politik Pilihan

Jokowi, Refleksi Sebuah Ironi

24 September 2024   23:27 Diperbarui: 24 September 2024   23:28 211 6
"Jokowi adalah kita"

Itulah satu jargon kampanye Pemilu 2014 yang cukup melekat di pikiran masyarakat Indonesia, dan turut mengantarkan seorang Joko Widodo ke tampuk kekuasaan selama dua periode.

Dengan latar belakangnya sebagai "orang biasa", bukan petinggi atau ketua umum partai, eks Walikota Solo ini terlihat seperti "buah" proses reformasi, yang sudah dirintis sejak 1998.

Dari sosoknya sebagai "orang biasa" dengan gaya cenderung "biasa saja", Jokowi seperti menawarkan "ketenangan" yang tak kehilangan kekuatan dan ketegasan saat dibutuhkan.

Sebuah sisi spiritual khas seorang pemimpin, yang memang terlihat sekilas dalam sosoknya, yang kebetulan juga bukan tipikal pemimpin "hobi tampil" secara berlebihan.

Dari seorang Jokowi juga, kita melihat bersama, seberapa berat bobot sisi spiritual jabatan tinggi seperti presiden. Sebagai sebuah "pulung", "karomah", atau apapun sebutannya, dibutuhkan orang yang cukup siap dan "kuat", baik secara jasmani dan rohani, untuk menerima tugas jabatan ini dengan selamat sampai akhir.

Tapi, selain kekuatannya yang istimewa, sebuah jabatan tinggi biasa membawa serta kilau godaan yang rawan menyilaukan. Sekalipun sudah punya sisi spiritual sangat kuat, godaan yang datang kadang masih lebih kuat, sehingga bisa menggoyahkan.

Jadi, tidak mengejutkan kalau setelah periode pertama yang relatif "kalem", periode kedua Jokowi terasa begitu gaduh. Di sini, kegaduhan itu sekaligus menyiratkan situasi goyah.

Diluar pandemi yang memang jadi masalah global, gaya komunikasi kebijakan publik yang kurang efektif, dan berbagai manuver politik yang dilakukan, telah membuat situasi goyah itu merembet kemana-mana.

Tidak ada lagi ketenangan dan jalan "lempeng" seperti yang sebelumnya ditampilkan, karena mata yang sudah silau  menjadi pembuka jalan datangnya kejanggalan demi kejanggalan.

Terlepas dari pro-kontra yang ada, fakta sudah membuktikan, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah di Indonesia, anak sulung dari seorang Presiden yang masih menjabat, terpilih sebagai Wakil Presiden di periode berikutnya, dan pada saat hampir bersamaan, anak bungsu sang Presiden juga diangkat menjadi ketua umum partai politik.

Rangkaian fenomena ini jadi sebuah ironi, karena sosok yang dianggap "buah reformasi" malah memakan pohonnya sendiri.

Apa boleh buat, semua kekaguman dan respek yang sudah terbangun di masyarakat, pelan-pelan berbalik menjadi rasa tidak suka yang jauh lebih pekat.

Sebuah pelajaran mahal tentang tak bergunanya fanatisme berat pada figur politisi tertentu, karena yang pasti konsisten dalam politik hanya kepentingan.

Entah kebetulan atau bukan, sisi spiritual jabatan presiden ini seperti mampu membalik tanpa ampun berbagai hal yang sudah dibangun sejak lama, segera setelah daya tahan sang pemangku goyah.

Maka, tidak mengejutkan kalau penghujung masa tugas Jokowi sebagai Presiden malah terasa gaduh. Padahal, periode menjelang pensiun seperti ini biasanya sangat rileks.

Soal bagaimana penilaian publik pada kinerja eks Gubernur DKI Jakarta itu sebagai Presiden, tentu akan menghadirkan beragam perspektif.

Tapi, eksistensi Joko Widodo dan keluarga di kancah politik nasional membuktikan secara lugas. Jabatan Presiden bukan untuk sembarang orang, karena orang yang terlihat biasa saja kadang punya kejutan tak terduga.

Berangkat dari situ, sudah seharusnya kita lebih waspada, saat ada calon pemimpin yang tampak terlalu sederhana dari luar. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di balik layar, karena itulah sikap waspada itu penting.

KEMBALI KE ARTIKEL


LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun